Transplantasi ginjal tak boleh dilakukan karena paksaan atau untuk menerima imbalan tertentu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transplantasi ginjal tidak bisa dilakukan sembarangan atau mendadak. Baik pendonor maupun penerima ginjal mesti melalui evaluasi kesehatan fisik, psikis, sosial, ekonomi, dan relasi dengan keluarga. Proses ini butuh setidaknya 1-2 bulan.
Ketua Perhimpunan Transplantasi Indonesia Maruhum Bonar Hasiholan Marbun mengatakan, ada dua fase persiapan transplantasi ginjal. Pertama, tim advokasi akan mengkaji kondisi pasien dari sisi sosial, ekonomi, relasi dengan keluarga, mental, dan kondisi keagamaannya. Jika hasil kajian baik, pasien baru bisa dievaluasi kesehatan fisiknya oleh tim medis.
”Penerima (organ) adalah yang masuk penyakit ginjal tahap akhir, baik yang sudah melakukan dialisis maupun belum. Tim dokter dan calon resipien akan berdiskusi tentang persiapan dan pemeriksaan menyeluruh untuk menentukan kesiapan, kesehatan, dan kecocokan donor,” kata Bonar pada diskusi daring, Rabu (26/7/2023).
Persiapan ini penting untuk mencegah risiko yang mungkin terjadi setelah transplantasi ginjal. Adapun pasien mesti menjaga kesehatan karena mereka rentan terhadap infeksi setidaknya di tiga bulan pertama setelah transplantasi. Pasien disarankan menghindari kerumunan, menggunakan masker, rutin mencuci tangan, dan menjaga lingkungan rumahnya bersih.
Transplantasi ginjal merupakan salah satu terapi yang dianjurkan bagi pasien penyakit ginjal tahap akhir. Menurut Bonar, dari 10 orang, ada 1-2 penderita penyakit ginjal kronis. Penyakit ini terjadi antara lain karena hipertensi, diabetes, dan gangguan autoimun.
Pasien juga mesti minum obat imunosupresan secara jangka panjang atau seumur hidup. Obat itu untuk mencegah reaksi penolakan tubuh pasien atas ginjal baru. Dosis obat akan disesuaikan dengan kondisi pasien seiring berjalannya waktu oleh dokter.
Di sisi lain, donor ginjal adalah orang berusia 18-60 tahun yang dalam kondisi sehat jasmani dan rohani. Donor juga akan diperiksa sebelum transplantasi. Pemeriksaan mencakup antara lain fungsi ginjal, fungsi hati, infeksi virus, golongan darah dan rhesus, serta penilaian kesehatan jiwa.
Tidak dengan paksaan
Adapun donor yang legal adalah mereka yang memberikan salah satu ginjalnya secara sukarela, tidak boleh dengan paksaan, dan ginjal tidak diberikan dengan imbalan tertentu. Donor juga boleh mengundurkan diri kapan saja.
”Ada Konsensus Amsterdam di mana semua pakar menyebut bahwa donor tidak boleh komersil. Artinya, donor tidak boleh memperjualbelikan organnya kepada orang lain dengan imbalan tertentu. Ini sudah disepakati sejak 2004 dan seluruh dunia sudah mengakui ini. Jika ada negara yang melanggar, asosiasi, atau badan kesehatan dunia akan memberi sanksi,” ucap Bonar.
Untuk melakukan transplantasi secara legal, masyarakat bisa mendatangi rumah sakit yang sudah terakreditasi oleh Kementerian Kesehatan untuk transplantasi. Rumah sakit itu tersebar antara lain di Semarang, Yogyakarta, Padang, Malang, Bali, dan Jakarta (RS Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo/RSCM).
Donor tidak boleh memperjualbelikan organnya kepada orang lain dengan imbalan tertentu.
Adapun hal ini sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh. Pada Pasal 5, rumah sakit yang boleh menyelenggarakan transplantasi organ antara lain sudah terakreditasi, serta memiliki tim yang terdiri dari dokter, dokter spesialis, dan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk transplantasi organ.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Moh Adib Khumaidi mengatakan, ginjal adalah salah satu organ yang paling banyak ditransplantasi di seluruh dunia. Namun, transplantasi ginjal bukan hal sederhana dan bukan untuk diperjualbelikan.
”Ini harus dipahami masyarakat. Karena ada kondisi tertentu, seperti (masalah) ekonomi, tidak serta-merta mudah dilakukan jual-beli (ginjal). Dari aspek hukum sudah jelas bahwa hal itu kriminal dan mungkin nanti terkait masalah hukum,” katanya.
Hal ini merujuk pada tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan 112 korban dari Indonesia. Mereka diperdaya sehingga masuk ke sindikat internasional yang melakukan penjualan ginjal ke Kamboja.
Praktik penjualan ginjal dipromosikan di media sosial. Calon korban lantas ditawari uang Rp 135 juta per ginjal. Latar belakang para korban beragam, tetapi mereka sama-sama memiliki masalah ekonomi.
”Ini sangat tidak menghormati harkat martabat manusia, memanfaatkan posisi yang rentan pada saat orang terjerat utang pascapandemi. Mereka yang kesulitan ekonomi ada yang mengagunkan sertifikat rumahnya ke bank, tetapi kena pandemi tidak bisa membayar. Bingung mereka seperti apa, ya, jalan pintasnya jual ginjal. Ini tidak boleh,” ucap Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Hariyadi (Kompas, 22/7/2023).