Regulasi Rokok Perlu Diperketat seperti Minuman Beralkohol
Minuman beralkohol dan rokok merupakan produk dengan zat adiktif yang berdampak bahaya bagi kesehatan masyarakat. Namun, aturan pengendalian rokok lebih lemah dibandingkan minuman beralkohol.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan terkait pengendalian produk tembakau perlu diperkuat, setidaknya sama dengan aturan pengendalian minuman beralkohol. Meskipun produk tembakau, seperti rokok, memiliki dampak adiktif yang sama berbahayanya dengan minuman beralkohol, aturan pengendalian produk tembakau dinilai lebih lemah.
Lemahnya aturan pengendalian tembakau jika dibandingkan dengan aturan pengendalian minuman beralkohol diperlihatkan dalam studi yang dilakukan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI). Studi tersebut membandingkan kebijakan terkait produk tembakau dengan kebijakan terkait minuman beralkohol. Kebijakan itu antara lain mengenai izin produksi, ketentuan promosi, ketentuan pencantuman label peringatan, serta aturan peredaran.
”Setelah melakukan perbandingan pengaturan dari produk tembakau dan minuman beralkohol, ditemukan adanya kesenjangan. Aturan pada produk tembakau relatif lebih longgar, sedangkan pada minuman beralkohol aturan yang diciptakan begitu ketat,” ujar Fazal Akmal Musyarri, anggota tim peneliti PBHI, di Jakarta, Selasa (25/7/2023).
Salah satu aturan yang dikaji yakni terkait peredaran produk tembakau dan minuman beralkohol. Dari kajian itu, aturan peredaran minuman beralkohol sangat ketat dan komprehensif yang disertai dengan peraturan teknis, bahkan mengatur pula tempat penjualan, umur konsumen, distributor, syarat administratif, serta kebijakan untuk pelaporan berkala.
Setelah melakukan perbandingan pengaturan dari produk tembakau dan minuman beralkohol, ditemukan adanya kesenjangan. Aturan pada produk tembakau relatif lebih longgar.
Selain itu, rantai distribusi minuman beralkohol juga lebih ketat sehingga pengawasan dan pengendalian lebih mudah dilakukan. Sinergitas lintas kementerian/lembaga pun lebih kuat pada pengendalian peredaran minuman beralkohol.
Sementara soal peredaran produk tembakau, dari studi yang dilakukan PBHI, aturannya lebih lemah. Aturan peredaran produk tembakau saat ini baru terpusat pada tingkat peraturan pemerintah tanpa disertai peraturan teknis yang mengatur peredaran, pemasaran, dan pendistribusian.
”Belum ada peraturan oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian terkait pengendalian komoditas produk tembakau. Perbedaan yang mendasar, produk minuman beralkohol hanya dapat diedarkan dan dikonsumsi di tempat berizin, sementara produk tembakau bisa diedarkan dan dikonsumsi di mana pun selain yang dilarang, seperti kawasan tanpa rokok,” tuturnya.
Fazal menambahkan, aspek lain yang juga memperlihatkan lemahnya aturan pengendalian tembakau dibandingkan pengendalian minuman beralkohol, yakni terkait iklan dan promosi serta cukai pada kedua produk zat adiktif tersebut. Iklan produk minuman beralkohol ketat tanpa pengecualian, termasuk iklan secara daring. Sementara iklan produk tembakau diatur secara ketat, tetapi memuat berbagai pengecualian, misalnya jam pariwara dan diperbolehkannya iklan tanpa produk. Selain itu, iklan rokok elektrik juga belum diatur secara jelas.
Pada aturan cukai pun ditemukan adanya disparitas. Besaran cukai produk tembakau lebih rendah dibandingkan dengan minuman beralkohol. Perbedaan pengenaan cukai tersebut berdampak pada laju peredaran dan prevalensi pengguna minuman beralkohol dan pengguna produk tembakau.
Anggota tim peneliti dari PBHI, Gina Sabrina, menyampaikan, produk tembakau dan produk minuman beralkohol merupakan produk yang mengandung zat adiktif yang berdampak buruk bagi masyarakat. Akan tetapi, aturan untuk pengendalian kedua produk tersebut berbeda. Pengaturan produk tembakau lebih longgar dibandingkan dengan produk minuman beralkohol.
Padahal, jika aturan pengendalian tembakau bisa diperketat, setidaknya sama seperti pengendalian produk minuman beralkohol, prevalensi konsumsi produk tembakau seharusnya bisa ditekan. Rendahnya konsumsi minuman beralkohol di Indonesia terkait dengan pengendalian pemerintah yang ketat pada produk tersebut.
”Kami merekomendasikan agar pembentukan RUU (Rancangan Undang-Undang) Pengendalian Produk Tembakau bisa diinisiasi seperti halnya RUU Larangan Minuman Beralkohol, mengingat kedua produk tersebut bersifat adiktif dan memberi dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat,” tutur Gina.
Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan Benget Saragih Turnip menyampaikan, pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan, berupaya menekan prevalensi perokok pemula di Indonesia. Jumlah perokok pemula usia anak saat ini cukup tinggi dan angkanya terus meningkat. Untuk itu, upaya penguatan pengendalian produk tembakau terus dilakukan.
Ia pun menyadari, jika upaya pengendalian produk tembakau tidak diperkuat, jumlah perokok anak sulit untuk dikendalikan. Bonus demografi yang seharusnya bisa dicapai pada 2030 justru dapat berbalik menjadi bencana demografi karena penduduknya banyak yang sakit dan tidak produktif akibat konsumsi rokok di usia dini.
”Kementerian Kesehatan telah memperkuat aturan pengendalian tembakau. Di Undang-Undang Kesehatan yang baru sudah diatur mengenai rokok terkait zat adiktif. Itu akan diperkuat dengan peraturan pemerintah, antara lain dengan memperkuat aturan iklan, promosi, dan sponsor produk rokok. Edukasi ke masyarakat juga ditingkatkan mengenai bahaya rokok,” katanya.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Edy Sutopo menyampaikan, pengendalian produk tembakau untuk menekan prevalensi perokok anak bisa dilakukan dengan memperkuat edukasi mengenai bahaya merokok. Meski begitu, upaya penguatan aturan dinilai belum diperlukan.
”Dari pembahasan bersama dengan stakeholder (pemangku kepentingan) dan aspirasi dari pelaku usaha serta masyarakat pertembakauan menilai kebijakan existing yang ada sudah cukup untuk mengendalikan produk hasil tembakau. Jika dibatasi lagi, dikhawatirkan rokok ilegal justru merajalela,” ucapnya.