Masih Ada Rabies dan Antraks di Antara Kita
Antraks dan rabies merupakan zoonosis lama yang belum juga tuntas. Penyakit tersebut bahkan sudah ada lebih dari 100 tahun di Indonesia.
Penularan penyakit yang bersumber dari binatang atau zoonosis masih menjadi persoalan di masyarakat. Di Indonesia masih dijumpai penyakit zoonosis lama, seperti rabies dan antraks.
Kasus rabies pada hewan ditemukan di Indonesia sejak 1884, sedangkan kasus rabies pada manusia pertama kali dilaporkan pada 1894 di Jawa Barat. Itu artinya, lebih dari seratus tahun penyakit tersebut tidak kunjung tuntas.
Penyakit antraks, bahkan jauh lebih lama ada di Indonesia. Kasus antraks pertama kali dilaporkan pada 1832 di Sulawesi Tenggara. Sekalipun upaya efektif dalam pengendalian penyakit antraks sudah dilakukan melalui pengawasan dan pembatasan lalu lintas hewan ternak serta vaksinasi, penyakit ini masih saja muncul, baik di daerah endemis maupun non-endemis.
Kasus rabies pada manusia pertama kali dilaporkan pada 1894 di Jawa Barat. Itu artinya, lebih dari seratus tahun penyakit tersebut tidak kunjung tuntas.
Itu seperti yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, pada awal Juli 2023. Setidaknya ada tiga orang yang meninggal setelah mengonsumsi daging sapi yang diduga terinfeksi antraks.
Antraks merupakan penyakit (zoonosis) yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Jika terjadi kontak dengan udara, bakteri tersebut dapat bertahan di lingkungan ataupun bahan kimia. Bakteri ini juga dapat bertahan selama puluhan tahun di dalam tanah.
Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Veteriner Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rahmat Setya Adji di Jakarta, Kamis (20/7/2023), mengatakan, bakteri penyebab antraks sangat ganas dan bisa bertahan lama pada lingkungan yang ekstrem, baik di lingkungan dengan panas ekstrem maupun dingin. ”Penelitian terakhir di Afrika bahkan menunjukkan spora pembawa antraks yang ditemukan pada tulang binatang diperkirakan bertahan sampai 200 tahun,” katanya.
Umumnya, antraks ditularkan ke manusia melalui hewan ruminansia atau hewan pemamah biak, seperti sapi, kambing, dan domba. Penularan bisa terjadi akibat kontak dari cairan tubuh hewan terinfeksi. Itu sebabnya, hewan yang terinfeksi antraks tidak boleh disembelih. Satu tetes darah dari hewan tersebut mengandung satu miliar bakteri Bacillus anthracis.
Baca juga : Antraks dan Satu Kesehatan
Selain akibat kontak dari cairan hewan yang terinfeksi, penularan antraks pada manusia juga bisa terjadi lewat konsumsi daging yang tidak dimasak sempurna ataupun kontak dengan material hewan terinfeksi.
Hewan yang terinfeksi antraks dapat ditandai dengan mati mendadak, demam, kejang, serta lemas. ”Pada hewan ruminansia biasanya akut. Dalam 48-72 jam, hewan akan mati tanpa gejala. Sementara pada hewan lain, seperti kuda, biasanya lebih lambat dengan gejala panas tinggi,” kata Rahmat.
Pada manusia, penularan antraks umumnya dapat terjadi dalam tiga bentuk, yakni antraks kulit, antraks saluran pencernaan, dan antraks saluran pernapasan. Antraks kulit terjadi ketika spora antraks masuk ke dalam kulit melalui sayatan atau luka lecet. Jenis antraks ini paling banyak ditemukan di Indonesia.
Sementara antraks saluran pencernaan masuk dalam saluran pencernaan ketika seseorang mengonsumsi daging dari hewan yang terinfeksi dan tidak dimasak dengan sempurna. Bakteri antraks lebih mudah mati dengan pemanasan basah. Spora pada daging bisa mati setelah direbus dengan air mendidih setidaknya selama 30 menit. Namun, bakteri ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mati dengan pemanasan kering, seperti dibakar.
Antraks saluran pernapasan yang paling jarang ditemukan di masyarakat. Penularannya terjadi ketika spora terhirup melalui partikel pernapasan dan mencapai dinding alveoli. Penularan ini biasanya terjadi di lingkungan yang sangat kering. Baik antraks kulit, saluran pencernaan, maupun saluran pernapasan bisa menimbulkan komplikasi menjadi antraks meningitis yang memiliki tingkat keganasan tinggi.
Baca juga : Bersiaga Hadapi Ancaman Zoonosis
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi dalam seminar daring bertajuk ”PHBS (perilaku hidup bersih sehat) dalam Mencegah Antraks dan Rabies di Sekitar Kita” pada Selasa (18/7/2023) menyampaikan, komunikasi, informasi, dan edukasi terus ditingkatkan untuk mencegah adanya penularan antraks, terutama penularan pada manusia. Pencegahan antraks pada manusia bisa dilakukan, antara lain, dengan tidak menyembelih, mengolah, dan mengonsumsi hewan yang sakit atau mati mendadak. Daging dari hewan yang sehat pun harus dimasak dengan sempurna sebelum dikonsumsi.
Penanganan pada seseorang yang terinfeksi juga harus cepat. Jika muncul gejala penyakit dan ada riwayat kontak dengan hewan yang sakit, orang itu harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan. Warga juga diminta untuk selalu menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan sekitar.
Adapun gejala antraks kulit berupa gatal-gatal, adanya vesikel atau papul pada kulit, serta muncul kerak hitam kering. Gejala antraks saluran pencernaan antara lain demam, gangguan menelan, mual dan muntah, nyeri dan pembengkakan pada perut, serta diare dan BAB berdarah. Sementara pada antraks saluran napas, gejala yang timbul di antaranya demam, lemas dan batuk, sesak napas, denyut jantung cepat, serta sianosis (kuku, bibir, dan jari membiru).
Waspadai rabies
Penyakit rabies atau penyakit anjing gila juga menjadi zoonosis yang patut diwaspadai. Kasus gigitan hewan penular rabies di Indonesia dilaporkan meningkat. Sepanjang 2022, tercatat ada 104.229 kasus gigitan rabies. Angka itu meningkat hampir dua kali lipat dari 2021. Hingga April 2023 setidaknya 31.113 kasus gigitan hewan penular rabies terjadi dengan 11 kasus kematian.
Baca juga : Gigitan Anjing Gila yang Mengancam Jiwa
Kewaspadaan akan rabies masih harus ditingkatkan di Indonesia. Terdapat 25 provinsi sebagai daerah endemis rabies. Bahkan, pada 2023 dilaporkan wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, mengalami kejadian luar biasa rabies. Padahal, sebelumnya tidak pernah ditemukan kasus rabies di wilayah tersebut.
Imran menyampaikan, rabies bersifat fatal. Lebih dari 90 persen kasus terinfeksi rabies yang sudah menunjukkan gejala berakhir dengan kematian. Sebagian besar kematian akibat rabies pada manusia disebabkan oleh gigitan anjing.
Rabies merupakan penyakit menular akut yang menyerang sistem saraf pusat. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies dengan genus Lyssavirus. Rabies dapat menular pada manusia melalui gigitan, goresan, cakaran, ataupun jilatan pada kulit terbuka dari hewan terinfeksi rabies.
Gejala rabies pada manusia biasanya ditandai dengan demam, lemas, tidak nafsu makan, sakit kepala hebat, dan sakit tenggorokan. Pada gejala lanjut akan timbul gangguan neurologi, seperti gelisah, halusinasi, ketakutan, dan agresif. Pada tahap ini pasien juga akan mengalami berbagai fobia, mulai dari hidrofobia atau takut air, takut angin, dan takut cahaya. Pada kondisi ini, pasien bisa sangat menderita. Rata-rata gejala lanjut terjadi setelah lima hari terinfeksi. Tahap paralisis terjadi dengan penurunan kesadaran hingga akhirnya dapat meninggal akibat gangguan pada otot pernapasan dan jantung.
Rabies bisa dicegah agar tidak menimbulkan kematian jika pasien segera mendapatkan pertolongan. Jika seseorang mendapatkan gigitan hewan penular rabies, segeralah cuci luka tersebut dengan air mengalir dan sabun setidaknya selama 15 menit. Setelah itu, segera bawa ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut. Jika perlu, vaksin dan serum rabies bisa diberikan.
Satu kesehatan
Selain antraks dan rabies, zoonosis lain juga perlu mendapatkan perhatian di Indonesia, seperti flu burung, leptospirosis, dan pes. Upaya pengendalian zoonosis membutuhkan kerja keras lintas sektoral, terutama dari sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan.