Terapi Inovatif Hemofilia Tingkatkan Kualitas Hidup Pasien
Berbagai terapi inovatif telah berkembang untuk penanganan pasien hemofilia. Terapi ini, selain untuk mencegah terjadinya perdarahan, juga meningkatkan kualitas hidup pasien.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Standar terapi untuk penanganan hemofilia kini didorong berfokus pada terapi profilaksis atau terapi pencegahan. Berbagai inovasi terus berkembang dalam terapi profilaksis guna meningkatkan efektivitas pembiayaan kesehatan serta kualitas hidup pasien.
Dokter spesialis anak subspesialis hematologi onkologi RS Cipto Mangunkusumo, Novie Amalia Chozie, menuturkan, pemberian konsentrat faktor pembekuan darah dosis rendah dengan tujuan profilaksis telah menjadi terapi standar dalam penanganan hemofilia. Hal tersebut sesuai dengan pedoman nasional pelayanan kedokteran (PNPK) tata laksana hemofilia yang terbit pada 2021.
”Terapi profilaksis diberikan untuk mencegah terjadinya perdarahan sehingga kualitas hidup pasien pun bisa lebih baik dibandingkan terapi on demand yang diberikan setelah perdarahan terjadi. Terapi profilaksis ini juga memiliki cost effective yang lebih baik,” ujarnya dalam acara bincang media yang diadakan oleh Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) di Jakarta, Kamis (20/7/2023).
Terapi profilaksis diberikan untuk mencegah terjadinya perdarahan sehingga kualitas hidup pasien pun bisa lebih baik dibandingkan terapi on demand yang diberikan setelah perdarahan terjadi.
Ia mengatakan, terapi profilaksis dilakukan melalui pemberian konsentrat faktor pembekuan darah sebanyak dua kali seminggu dengan dosis 10 unit per kilogram berat badan. Terapi ini diberikan terutama pada penyandang hemofilia berat dengan kadar faktor pembekuan darah kurang dari satu persen. Terapi profilaksis juga bisa diberikan pada pasien dengan masalah tertentu, seperti sendi yang rusak serta risiko perdarahan yang dapat mengancam jiwa.
Tata laksana hemofilia dengan terapi profilaksis ini menjadi pilihan utama dalam penanganan hemofilia. Berbagai riset menunjukkan pemberian pembekuan darah secara profilaksis dapat menekan risiko perdarahan sehingga kerusakan sendi dan otot akibat perdarahan bisa dicegah.
Akan tetapi, penerapannya belum maksimal. Akses pada terapi profilaksis masih terbatas. Pemahaman dari tenaga medis dan pasien juga masih kurang. Di RSCM baru 20-30 persen pasien yang mendapatkan terapi profilaksis.
”Sisanya masih perlu kita edukasi, baik ke orangtua maupun pasien. Kita juga masih melatih orangtua agar bisa melakukan suntik mandiri. Koordinasi dengan puskesmas setempat juga perlu dilakukan untuk membantu penyuntikan,” kata Novie.
Hemofilia merupakan kelainan pembekuan darah bawaan akibat kurangnya produksi faktor pembekuan darah. Terdapat dua jenis hemofilia, yakni hemofilia A dan hemofilia B. Hemofilia A terjadi karena kekurangan faktor pembekuan darah VIII dan hemofilia B terjadi karena kekurangan faktor IX. Sebanyak 85 persen kasus yang ditemukan merupakan pasien hemofilia A.
Terapi inovatif
Novie menyampaikan, selain terapi profilaksis dengan standar pengobatan, berbagai inovasi telah berkembang dalam pengobatan hemofilia. Itu, antara lain, pemberian terapi nonfaktor, sepertiemicizumab, by passing agent, serta terapi gen. Terapi inovatif tersebut memiliki paruh waktu pengobatan yang lebih panjang serta memberikan kenyamanan serta kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien.
Untuk terapi emicizumab, pasien cukup mendapatkan terapi sebulan sekali. Hal ini membuat kualitas hidup pasien menjadi lebih baik. Risiko perdarahan juga bisa dicegah sehingga dampak disabilitas dari perdarahan, seperti kerusakan sendi dan otot, tidak terjadi.
Terapi lain yang lebih menjanjikan adalah terapi gen. Terapi ini dilakukan dengan mengganti gen yang rusak sehingga tubuh dapat memproduksi faktor pembekuan darah dalam jumlah normal. Pasien yang sudah mendapatkan terapi ini tidak perlu lagi mendapatkan perawatan rutin.
Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia Djajadiman Gatot mengatakan, terapi gen seharusnya bisa menjadi terapi yang paling ideal. Apabila sudah mendapatkan terapi gen, kondisi pasien bisa kembali normal. ”Bahkan, pasien ini bisa disampaikan tidak lagi menyandang hemofilia,” ucapnya.
Meski demikian, penerapan terapi ini masih menjadi tantangan untuk diterapkan di Indonesia. Biaya untuk terapi gen sangat mahal. Terapi emicizumab juga cukup mahal. Di Indonesia, hanya ada tiga pasien yang mendapatkan terapi emicizumab.
Djajadiman menyampaikan, rendahnya diagnosis kasus hemofilia juga menjadi persoalan yang dihadapi di Indonesia. Diperkirakan, jumlah kasus hemofilia sesuai estimasi dari populasi penduduk berkisar 20.000-25.000 orang. Namun, hingga 2021, kasus hemofilia yang ditemukan baru 2.425 kasus.
Rendahnya kasus yang ditemukan tersebut disebabkan oleh pengetahuan tenaga kesehatan yang masih kurang, kesadaran masyarakat yang rendah, serta kurangnya komitmen dari pemangku kebijakan. ”Diagnosis hemofilia sejak dini sangat penting agar pasien bisa ditangani lebih cepat sehingga kecacatan dan kematian bisa dicegah,” tuturnya.