Perlindungan Masyarakat dari Bahaya Rokok di UU Kesehatan Lemah
UU Kesehatan dinilai belum memberikan perlindungan kepada masyarakat dari bahaya rokok.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Lemahnya perlindungan masyarakat dari bahaya rokok dalam Undang-Undang Kesehatan menjadi sorotan. Produk legislasi yang berbentuk omnibus law tersebut seharusnya bisa memperkuat kebijakan pengendalian tembakau secara lebih menyeluruh.
”Namun, kenyataannya UU ini tidak lebih baik dari regulasi sebelumnya. Justru, ada sejumlah poin (perlindungan bahaya rokok) yang dilemahkan,” kata Manajer Program Komite Nasional Pengendalian Tembakau Nina Samidi saat ”Aksi Payung Duka” di depan Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (14/7/2023).
Dalam aksi tersebut, Nina bersama 13 organisasi yang tergabung dalam koalisi perlindungan masyarakat dari produk zat adiktif tembakau mengenakan pakaian, poster, serta payung serba hitam. Luapan duka ini berkaitan dengan pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU Kesehatan pada Selasa, 11 Juli 2023. Dalam produk legislasi terbaru tersebut, masukan untuk memperkuat kebijakan pengendalian tembakau dari sejumlah elemen masyarakat tidak diakomodasi.
Nina mengungkapkan, selama pembahasan RUU Kesehatan, pihaknya mendapat kesempatan untuk memberi masukan melalui dengar pendapat (public hearing). Dalam kesempatan tersebut, mereka mengusulkan sejumlah daftar inventarisasi masalah (DIM).
Dalam DIM yang mereka susun, ada sejumlah substansi yang menjadi masukan. Salah satunya soal larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok yang perlu masuk ke dalam UU Kesehatan. Namun, masukan tersebut tidak diterima.
Padahal, dalam berbagai riset, telah terbukti bahwa iklan, promosi, dan sponsor rokok menjadi faktor besar pendorong anak mulai merokok. Karena itu, tidak mengherankan jika prevalensi perokok remaja terus naik.
Bisa dilihat, hal-hal tentang tembakau yang diatur justru masih memerhatikan perokoknya. Padahal, ini UU Kesehatan, bukan UU tentang industri rokok.
”Kami juga memberi masukan soal aturan peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok atau Pictorial Health Warning (PHW). Indonesia memiliki PHW yang kecil dibandingkan dengan negara lain. Tetapi, ditolak juga,” katanya.
Selain itu, lanjut Nina, hal lain yang diusulkan soal penguatan regulasi kawasan tanpa rokok (KTR). Namun, dalam UU yang disahkan ketentuan KTR melemah.
Dalam Pasal 151 disebutkan, pengelola KTR wajib menyediakan tempat khusus untuk perokok. Diksi ”wajib”, menurut Nina, menunjukkan masih ada indikasi Kemenkes memfasilitasi perokok.
”Semua masukan kami tersebut tidak satu pun diterima. Jika begitu, buat apa ada public hearing kalau masukan kami ternyata tidak didengar,” ujar Nina.
Direktur Program Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani menyampaikan, substansi UU Kesehatan belum menyeluruh mengatur aspek kesehatan publik. Padahal, sebagai legislasi dengan bentuk omnibus law, regulasi tentang kesehatan seharusnya semakin diperkuat.
Bahkan, Fanani menyebut, dalam pengaturan tentang tembakau, substansi yang diatur justru cenderung berpihak pada sektor industri. ”Bisa dilihat, hal-hal tentang tembakau yang diatur justru masih memperhatikan perokoknya. Padahal, ini UU Kesehatan, bukan UU tentang industri rokok,” ucapnya.
Selain itu, Fanani juga meragukan perlindungan bahaya rokok akan dikuatkan dalam bentuk aturan turunan. Apalagi pada 2019, koalisi ini sempat mengadvokasi revisi PP No 109 Tahun 109, tetapi tidak kunjung tuntas.
Ketua Umum Indonesian Youth Council for Tactical Changes Manik Marganamahendra menuturkan, saat ini koalisi masih melihat sejumlah kemungkinan untuk advokasi penguatan aturan perlindungan rokok. Koalisi bisa saja bergabung dengan kelompok lain yang menolak UU Kesehatan untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Dihubungin terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, UU Kesehatan tetap akan memperhatikan penguatan perlindungan masyarakat dari bahaya rokok.
Sejumlah masukan dari koalisi yang tidak terakomodasi dalam UU kesehatan akan diakomodasi dalam aturan turunannya. Hal-hal yang lebih teknis akan kembali dibahas bersama dalam penyusunan aturan turunan tersebut.