Analisis Auriga juga menunjukkan, secara kumulatif dalam 20 tahun terakhir seluas 24.811 hektar lahan hutan dibuka karena pertambangan nikel. Deforestasi akibat pertambangan nikel ini paling besar terjadi pada 2012.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia terus berupaya mengembangkan pertambangan dan industri nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik. Namun, ekspansi besar-besaran dari pertambangan nikel ini telah memicu deforestasi hingga mencapai hampir 25.000 hektar di berbagai wilayah di Indonesia.
Peneliti Auriga Nusantara, Dedy Sukmara, mengemukakan, masifnya pengembangan kendaraan listrik yang dipandang sebagai transportasi ramah lingkungan justru berpotensi mengancam kelestarian hutan alam. Sebab, ekspansi pertambangan nikel untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik telah menyebabkan deforestasi di berbagai wilayah di Indonesia.
”Perizinan pertambangan nikel hingga tahun 2023 berada di urutan kedua setelah emas dengan luas hampir 900.000 hektar. Namun, entitas pertambangan nikel menjadi yang terbanyak dengan jumlah mencapai 319 perizinan,” ujarnya dalam diskusi daring tentang deforestasi dalam industri nikel yang diselenggarakan Auriga Nusantara, Kamis (13/7/2023).
Tidak seluruh wilayah yang memiliki sumber daya mineral tinggi mampu berkembang dan maju.
Data terakhir dari Pusat Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi (PSDMBP) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Status tahun 2023, sumber daya nikel di Indonesia sebesar 17,33 miliar ton dengan cadangan 5,03 miliar ton.
Berdasarkan pemetaan tutupan tambang 2000-2022 yang dilakukan Auriga, secara keseluruhan luas lubang pertambangan di Indonesia cenderung mengalami tren kenaikan. Luas lubang tambang untuk nikel juga mulai meningkat dengan signifikan sejak 2011.
Analisis Auriga juga menunjukkan, secara kumulatif dalam 20 tahun terakhir seluas 24.811 hektar lahan hutan dibuka karena pertambangan nikel. Deforestasi akibat pertambangan nikel ini paling besar terjadi pada tahun 2012 dengan luas hampir 4.000 hektar. Deforestasi ini terjadi di berbagai wilayah, antara lain, Maluku Utara, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
”Ekspansi ini menimbulkan kekhawatiran terkait kondisi hutan alam yang terdapat di dalam konsesi pertambangan nikel seluas 560.000 hektar. Wilayah hutan alam dalam konsesi nikel terbesar berada di Sulawesi Tengah yakni lebih dari 200.000 hektar,” kata Dedy.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno mengatakan, penurunan tutupan hutan akibat kegiatan pertambangan tidak akan terjadi bila aspek pengawasan termasuk pihak pemerintah daerah bisa bekerja dengan baik. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba terdapat konvensi bahwa membuka tambang harus disesuaikan dengan kebutuhan dan reklamasinya.
”Bila kegiatan pertambangan dijalankan dengan benar tidak akan ada masalah dengan perusakan hutan,” tuturnya.
Selain itu, lahan pascatambang di kawasan hutan juga harus dikembalikan sesuai dengan peruntukannya seperti hutan produksi atau hutan lindung. Beberapa potensi pemanfaatan lahan pascatambang di antaranya untuk pengembangan peternakan secara silvopastura, kegiatan perikanan atau cadangan air, hingga energi baru terbarukan.
Strategi pengembangan
Perencana Ahli Madya Koordinator Bidang Mineral Batubara dan Geologi Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Dody Virgo Sinaga menyatakan, Bappenas akan menyusun tahapan terkait pengembangan nikel yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 20 tahun ke depan. Namun, tahapan pengembangan nikel ini akan tetap memperhatikan aspek lingkungan.
Strategi utama pengembangan nikel yang akan dilakukan di antaranya dengan meningkatkan ketahanan cadangan dan optimalisasi produksi bijih serta efisiensi industri pengolahan-pemurnian. Kemudian akan dilakukan pengembangan industri fabrikasi, manufaktur, dan peningkatan tingkat komponen dalam negeri, serta perencanaan untuk sistem daur ulang.
”Tidak seluruh wilayah yang memiliki sumber daya mineral tinggi mampu berkembang dan maju. Jadi, dalam penyusunan perencanaan dan strategi ke depan juga perlu berpikir terkait hilirisasi atau peningkatan nilai tambah sumber daya mineral,” ucapnya.
Menurut Dody, salah satu upaya lain yang diperlukan meningkatkan nilai tambah adalah dengan menggencarkan pembangunan smelter di sejumlah titik. Dalam proyek strategis kawasan industri smelter, terdapat 31 smelter prioritas yang akan dibangun di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Halmahera.
Meski demikian, di samping peningkatan nilai tambah, Dody juga mengakui bahwa pembangunan smelter yang terintegrasi dengan tambang juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif tersebut tidak hanya dari aspek lingkungan, tetapi juga dapat memicu konflik sumber daya, ketimpangan ekonomi, dan ketergantungan pada harga komoditas.
”Proses pengolahan mineral dalam smelter dapat menghasilkan limbah beracun. Tentunya kami meminta unit-unit terkait yang memiliki kapasitas atau kewenangan terhadap hal ini bisa menjalankan fungsinya dengan lebih baik. Inilah yang perlu diperkuat ke depan agar dampak negatif bisa diminimalisasi,” katanya.