Ujian Nyata "One Health" untuk Mengatasi Antraks
Jatuhnya korban jiwa karena antraks di Gunung Kidul, Yogyakarta baru-baru ini menunjukkan banyaknya pekerjaan rumah dalam implementasi konsep One Health.
Antraks merupakan penyakit kuno yang berulang kali menyebabkan wabah pada ternak dan kematian pada manusia di Indonesia. Penanganan penyakit ini memerlukan sistem surveilans terpadu dan kesadaran masyarakat untuk tidak mengonsumsi ternak yang sakit dan mati. Jatuhnya korban jiwa karena antraks di Gunung Kidul, Yogyakarta baru-baru ini menunjukkan banyaknya pekerjaan rumah dalam implementasi konsep One Health.
Penyakit antraks banyak digambarkan sebagai momok menakutkan melalui catatan sejarah hingga kitab suci sejak era Mesir dan Mesopotamia kuno. Penyakit ini disebut-sebut sebagai penyebab utama kematian yang tidak terkendali pada sapi, domba, kambing, kuda dan babi, dan beberapa kali tumpah ke manusia, di seluruh dunia.
Para sarjana Yunani kuno dan Roma juga banyak menggambarkan ciri-ciri penyakit antraks, seperti Homer dalam The Iliad, yang ditulis sekitar tahun 700 Sebelum Masehi (SM) dan dalam puisi oleh Virgil, yang hidup dari tahun 70-19 SM.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat, deskripsi klinis pertama antraks kulit dilakukan oleh Maret pada 1752 dan Fournier pada 1769. Ilmuwan Prusia Robert Koch (1843–1910) menjadi orang pertama yang berhasil mengidentifikasi Bacillus anthracis sebagai bakteri penyebab antraks. Koch juga menemukan bahwa bakteri membentuk spora dan mampu bertahan untuk jangka waktu yang sangat lama dan di banyak lingkungan berbeda.
Louis Pasteur, membawa karya Koch selangkah lebih maju, mencoba membuktikan sepenuhnya bagaimana antraks menyebar dan bagaimana penyakit itu membuat manusia atau hewan sakit. Pasteur juga bekerja untuk membuat vaksin antraks pada tahun 1881, menggunakan bakteri antraks yang dilemahkan.
Kemudian pada tahun 1937, Max Sterne berhasil membuat vaksin spora hidup antraks untuk hewan dan berhasil menurunkan sebaran penyakit ini secara global pada era 1930-1980. Namun demikian, sekalipun sudah ada vaksin, penyakit ini tetap menyebar dan sesekali memicu kasus fatal di banyak negara, termasuk Indonesia.
Baca juga : Antisipasi Meluasnya Penularan Antraks
Menurut catatan Kompas, pada 1967 sebanyak 19 orang meninggal karena antraks di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mereka meninggal setelah mengonsumsi daging ternak yang terkena antraks. Pada 1977, enam orang meninggal dan 88 orang lainnya dirawat setelah terjangkit antraks di Sumbawa, NTB.
Kemudian pada tahun 2001, dua orang warga Babakan Madang, Kabupaten Bogor, meninggal setelah terpapar penyakit antraks dan 19 orang lainnya dirawat. Pada 2007, delapan orang tewas dan enam lainnya menderita sakit akibat antraks di Sumba Barat, Pulau Sumba, NTT. Para korban diketahui sebelumnya memakan daging kerbau yang mati mendadak.
"Kasus antraks pada manusia di Indonesia merupakan kejadian berulang, yang biasanya dimulai dari sapi sakit dan mati yang kemudian dagingnya dikonsumsi. Hampir selalu pemicunya itu," kata Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dia mencontohkan, kasus antraks pada manusia yang terjadi di Maros tahun 2010 yang lalu juga diawali dengan sapi-sapi yang sakit dan mati karena antraks. Satu di antara sapi itu dipotong pada waktu sakit dan dagingnya dibagikan yang memicu penularan di masyarakat.
Baca juga : Antraks Kembali Muncul di Gunungkidul, Satu Orang Meninggal dan 87 Warga Positif
Kasus antraks di Boyolali tahun 2011 juga dimulai dari seekor sapi yang sakit. Sapi tersebut kemudian dipotong untuk dikonsumsi sendiri oleh pemiliknya, dan sebagian lagi dijual ke pasar.
Kasus antraks pada manusia di Indonesia merupakan kejadian berulang, yang biasanya dimulai dari sapi sakit dan mati yang kemudian dagingnya dikonsumsi. Hampir selalu pemicunya itu.
Sebagaimana kasus-kasus sebelumnya, meninggalnya tiga orang di Gunung Kidul karena antraks juga dimulai dengan mengonsumsi ternak yang sakit karena tertular Bacillus anthracis. Tjandra mengatakan, karena antraks adalah zoonosis dan bahkan sporanya bisa tersimpan di tanah hingga puluhan tahun, penanganannya harus melalui pendekatan One Health, yang merupakan kerja bersama kesehatan manusia, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan.
Kronologi kasus
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, dalam konferensi pers, pada Kamis (6/7/2023) mengatakan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebenarnya telah menjadi daerah endemis antraks sejak 2016 dengan beberapa kali temuan kasus positif, sekalipun tidak terjadi korban jiwa pada manusia.
Di Kabupaten Gunung Kidul tercatat dalam lima tahun terakhir telah dilaporkan kasus antraks. Kasus paling tinggi terjadi pada tahun 2019 dengan 31 kasus, dan pada tahun 2022 dengan 23 kasus.
Hingga pada 18 Mei 2023 terjadi kematian sapi yang kemudian dipotong serta dibagikan kepada warga untuk dikonsumsi. "Jadi ini yang menjadi salah satu penyebab penyebaran (awal)," ujar Imran.
Bahkan, hasil Investigasi Tim Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Gunung Kidul dari warga Dusun Jati menunjukkan, kasus awal kematian sapi (satu ekor) telah terjadi sejak bulan November 2022. Sapi itu awalnya telah dikubur, tetapi oleh warga kuburan sapi digali kembali untuk dibagi-bagi dan dikonsumsi atau dikenal dengan istilah "purak". Tak lama kemudian, ada satu warga menunjukkan gejala klinis mirip antraks kulit, tetapi sembuh setelah diobati.
Pada tanggal 20 Mei 2023, warga berinisial KR kembali menyembelih ternak kambing yang sudah mati. Daging ternak tersebut kembali dibagikan dan dikonsumsi warga. Dua hari berselang, sapi warga berinisial SY mati dan dagingnya pun dibagikan. Seorang warga yang meninggal berinisial WP (72), turut membantu menyembelih sapi milik SY.
Berikutnya, pada 26 Mei 2023 anak sapi milik KR mati dan dijual. Tanggal 1 Juni 2023, WP masuk rumah sakit dengan keluhan gatal-gatal, bengkak, dan luka. Menurut Imran, tenaga kesehatan setempat kemudian melakukan pemeriksaan medis kepada korban dan mengambil sampel di lokasi tempat penyembelihan sapi yang sudah mati. "Sampelnya positif spora antraks dari tanah tempat penyembelihan sapi tadi," ucap Imran.
Baca juga : Tradisi ”Brandu” Diduga Ikut Picu Penularan Antraks di Gunungkidul
Pada 2 Juni 2023, kambing milik SY mati dan dikubur. Pada 3 Juni 2023, WP dirujuk ke Rumah Sakit Sarjito. Di rumah sakit itu, sampel darah miliknya diambil dengan diagnosis suspek antraks. Pada 4 Juni 2023, WP meninggal dunia.
"Jadi, satu dinyatakan suspek karena sudah ada hasil pemeriksaan lab. Yang dua ini belum sempat dilakukan pemeriksaan karena langsung meninggal. Kita lakukan investigasi gejala ada dan mereka punya riwayat dengan sapi yang mati karena antraks tadi," ujar Imran.
Dari kronologi yang disampaikan Imran menunjukkan bahwa kematian sapi yang kemudian dipotong telah terjadi sejak November 2022, namun baru terdeteksi atau terlaporkan ke dinas terkait, yaitu Dinas PKH dan Dinas Kesehatan Gunung Kidul pada 2 Juni 2023.
Berikutnya, pada tanggal 15 Juni 2023, Balai Besar Veteriner Wates menerima sampel-sampel tanah dari lokasi kematian ternak diduga antraks dan hasil uji laboratorium menunjukkan positif antraks pada sampel-sampel tanah yang diambil.
Masalah sosial ekonomi
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Gunungkidul Retno Widyastuti seperti dilaporkan Kompas (6/7/2023) mengatakan, penularan antraks di daerahnya diduga terkait tradisi brandu yang dilakukan masyarakat setempat saat ada hewan ternak mati atau sakit.
Brandu merupakan tradisi mengumpulkan iuran untuk diserahkan kepada pemilik ternak yang mati atau sakit, lalu daging hewan itu dibagikan kepada orang-orang yang mengumpulkan iuran. ”Itu (tradisi brandu) membuat kita enggak henti-henti ada antraks,” ujarnya.
Sebagaimana disampaikan para ahli, untuk mengatasi antraks perlu pendekatan One Health melalui survei terpadu lintas instansi yang mengurusi kesehatan ternak, hewan, dan lingkungan. Namun demikian, fenomena brandu dan purak yang terjadi di Gunung Kidul ini menunjukkan, selain masalah kesehatan ini kita juga perlu memperhitungkan faktor sosial ekonomi.
Sebagaimana diingatkan Richard Kock dan tim dalam tulisannya di jurnal Lancet Planet Health (2019), dalam banyak kasus di negara, masyarakat tidak mau melaporkan kasus antraks yang dialami ternaknya karena “keputusan untuk membuang hewan terkadang bertentangan dengan kebutuhan untuk menggunakan atau mengonsumsi sumber daya yang berharga ini, sehingga masyarakat terus berisiko terkena antraks".