Lingkungan Sekolah yang Baik Dukung Tumbuhnya Karakter Integritas
Indeks integritas pendidikan nasional masih rendah. Untuk itu, perlu penguatan pendidikan karakter di sekolah dengan keteladan dan lingkungan sekolah yang mendukung penguatan karakter integritas.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan pendidikan karakter generasi muda dibutuhkan untuk meningkatkan indeks integritas pendidikan nasional yang masih rendah. Dukungan ekosistem pendidikan melalui keteladanan para pendidik dan tenaga kependidikan serta lingkungan belajar yang baik punya korelasi positif untuk menumbuhkan karakter integritas para siswa dan mahasiswa. Karakter integritas yang ditumbuhkan dari dunia pendidikan diharapkan mampu membekali generasi muda antikorupsi di Indonesia.
Dari hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan Nasional 2022 yang diluncurkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk pertama kalinya di tahun ini, indeks integritas pendidikan masih di level 2 atau awal dengan skor 70,40. Dari penilaian indikator karakter peserta didik, ekosistem, dan kepatuhan dalam tata kelola, integritas di dunia pendidikan belum berkembang untuk melawan sistem yang korup.
Dari hasil SPI Pendidikan, KPK menyimpulkan adanya korelasi integritas dan ekosistem satuan pendidikan. Karena itu, perbaikan pada ekosistem pendidikan diyakini akan memengaruhi karakter peserta didik.
Masih butuh pemahaman tentang indeks ini, termasuk rekomendasinya.
Pembenahan peningkatan kualitas ekosistem pendidikan disarankankan melalui penyediaan aturan/tata tertib/kode etik perilaku integritas untuk peserta didik, tenaga kependidikan, dan pimpinan satuan pendidikan. Di samping itu, penegakan aturan dan memberikan apresiasi terhadap perilaku integritas.
Lalu, keteladanan dalam menegakkan perilaku integritas dalam pembelajaran, pelaksanaan manajerial, dan pelaksanaan tata kelola satuan pendidikan secara keseluruhan yang menjadi contoh perilaku berintegritas bagi peserta didik. Tidak kalah penting adanya sinergi sekolah dan wali murid yang dirancang secara terencana dan sistematis agar praktik integritas dilaksanakan di sekolah dan di rumah.
Kepala Pusat Kemahasiswaan, Karier, dan Alumni Universitas Yarsi Jakarta Kukuh Fadli Prasetyo, Rabu (5/7/2023), mengatakan, penguatan karakter integritas generasi muda salah satunya lewat pendidikan antikorupsi yang didukung KPK. Pelaksanaannya disisipkan di dalam mata kuliah, seperti kewarganegaraan.
”Materi khusus antikorupsi hanya untuk dua kali pertemuan karena insersi atau dimasukkan dalam mata kuliah kewarganegaraan. Ini sifatnya untuk pencegahan melalui pendidikan agar orang enggan dan takut melakukan korupsi karena ada sanksi. Namun, yang penting kesadaran menolak korupsi karena bertentangan dengan nilai moral pribadi,” ujar Kukuh yang juga dosen fakultas hukum dan terlibat dalam tim pendidikan antikorupsi di Universitas Yarsi.
Menurut Kukuh, sistem di dalam kampus juga perlu dibangun guna memperkuat kesadaran diri mahasiswa untuk menjauhi praktik koruptif, seperti mencontek, menjiplak karya orang lain, plagiasi, atau copy paste. Di Universitas Yarsi, diterapkan aturan nilai nol jika mahasiswa ketahuan mencontek saat ujian. Bahkan, saat menyusun skripsi ada pernyataan tertulis jika suatu saat terbukti melakukan plagiasi, gelar yang sudah diperoleh dapat dicabut.
Sementara itu, praktisi pendidikan Najeela Shihab mengatakan, asesmen atau pengukuran apa pun, seperti SPI Pendidikan, seharusnya tetap digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam konteks Kurikulum Merdeka, tujuannya membentuk lulusan dengan Profil Pelajar Pancasila. Hal ini akan menumbuhkan individu dengan kompetensi dan integritas dan dimensi dengan karakter, ekosistem, dan tata kelola yang menjadi faktor pendukung agar tujuan pendidikan tercapai.
”Inisiasi KPK menjadi penting karena tujuan awal untuk mengukur apa yang dilakukan KPK. Hal ini menunjukkan keteladan agar kementerian/lembaga birokrasi lain dalam menjalankan program juga terus melakukan monitoring dan evaluasi yang intensif,” kata Najeela.
Mengubah perilaku
Menurut Najeela, indeks integritas pendidikan yang di level 2 menjadi alarm bahwa kondisi dunia pendidikan agak gawat. ”Masih butuh pemahaman tentang indeks ini, termasuk rekomendasinya, sehingga butuh kapasitas pengembangan supaya memahami dan SPI Pendidikan ini berdampak dapat mengubah perilaku. Di samping itu, memengaruhi di level paling rendah, seperti guru, bagaimana mempraktikkan proses belajar-mengajar transformatif,” kata Najeela.
Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi KPK Wawan Wardiana mengatakan, dalam melakukan SPI pendidikan, KPK tidak hanya mengetahui output, seperti jumlah sekolah/perguruan tinggi yang sudah menginsersi pendidikan antikorupsi atau berapa regulasi pemerintah daerah yang mendukung pendidikan antikorupsi di jenjang pendidikan dasar-menengah.
“Justru, kami mau apa langkah selanjutnya setelah adanya hasil dari SPI pendidikan. Dengan mengukur outcome, kita jadi tahu apakah peserta didik masih menganggap mencontek sebagai hal yang wajar, atau juga dengan perilaku titip absen. Selain itu juga untuk tahu bagaimana ekosistem dan kepatuhan yang terjadi di lapangan,” kata Wawan.
Dari SPI pendidikan menunjukkan integritas pendidikan yang masih belum menjadi kebiasaan. Terlihat perilaku kecurangan akademik seperti mencontek, plagiarisme, dan sejenisnya merupakan salah satu contoh ketidakjujuran peserta didik yang bertentangan dengan perilaku integritas. Perilaku ini terjadi hampir di semua satuan pendidikan yang menjadi sampling.
Oleh karena itu, satuan pendidikan dapat merancang program-program yang dapat mendorong munculnya budaya kejujuran akademik seperti budaya anti-mencontek, budaya antiplagiarisme, sebagai salah satu indikator yang dapat mendorong perilaku integritas peserta didik secara umum. Langkah ni harus diiringi dengan penegakan reward and punishment bagi yang melanggar atau yang menjadi teladan dalam pelaksanaannya. Selain itu, masih banyak ditemukan fakta-fakta perilaku koruptif dalam aspek tata kelola pendidikan di satuan pendidikan yang menjadi sampling, seperti suap/gratifikasi/ konflik kepentingan/rekayasa dokumen dalam penerimaan mahasiswa/siswa baru, pengelolaan keuangan tidak transparan, pungli/rekayasa.
Ahli Madya Pusat Asesmen Nasional Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Mansur mengatakan hasil dari SPI pendidikan ada irisan erat yang dapat disinergikan dengan evaluasi sistem pendidikan nasional lewat Asesmen Nasioanl (AN). Penyelenggaraan AN tidak hanya mengukur kognitif (asesmen kompetensi minimum literasi dan numerasi) tetapi juga karakter dan lingkungan belajar.
Untuk asesmen karakter yang memotret Profil Pelajar Pancasila, dapat juga memberikan ruang untuk menajamkan penilaian tentang integritas. Profil Pelajar Pancasila mencakup enam karakter yakni beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; kreatif; gotong royong; mandiri; bernalar kritis; dan berkebhinekaan global.
Sementara itu, Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang mengatakan hasil SPI pendidikan ini mendukung pengawasan yang dilakukan Kemendikbudristek dengan mekanisme sistem peringatan dini untuk pencegahan, yang memiliki manfaat jauh lebih besar dibanding penindakan. "Dalam SPI pendidikan bahwa penanaman karakter pada anak juga jadi ukuran. Lewat kebijakan AN yang dilakukan Kemendikbudristek, nilai-nilai Pancasila dan Profil Pelajar Pancasila juga diukur,” kata Chatarina.
Menurut Chatarina, penting juga pendidikan pada masyarakat untuk berpihak pada integritas. Terutama dalam kasus suap/gratifikasi terkait penerimaan siswa/mahasiswa baru yang masih terjadi. Hal ini dinilai karena adanya permintaan dan persediaaan.
“Penting untuk juga menyadarkan orangtua dan masyarakat agar tidak menghalalkan segala cara demi masuk ke sekolah atau perguruan tinggi yang diinginkan. Dengan cara ini, integritas di dunia pendidikan dengan godaan suap/gratifiaksi dapat dicegah,” ujar Chatarina.