Percepatan pengakuan hak masyarakat adat diharapkan bisa memberikan perlindungan ketika terjadi konflik agraria dengan pihak lain.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wilayah hutan adat di pulau-pulau kecil di Indonesia terancam oleh sejumlah aktivitas pembangunan. Ancaman tersebut kian menggerus ruang hidup masyarakat adat yang bergantung dari alam.
Direktur Forest Watch Indonesia Mufti Fathul Barri mengatakan, kawasan hutan di pulau kecil di Indonesia dalam kondisi memprihatinkan. Hal ini dipicu orientasi kebijakan dan pembangunan yang masih berbasis darat. ”Dari sekitar 19.000 pulau di Indonesia, hanya ada 34 pulau yang dikategorikan pulau besar. Sisanya berstatus pulau kecil,” kata Mufti, di Jakarta, Rabu (5/7/2023).
Jika merujuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, kategori pulau kecil adalah memiliki luas daratan di bawah 2.000 kilometer persegi.
Peraturan mengenai kepemilikan lahan seharusnya menyesuaikan dengan keadaan di wilayah adat tertentu.
Mufti menyebut, jika dikalkulasi, luas daratan pulau-pulau kecil tersebut mencapai 7 juta hektar. Berdasarkan kajian FWI, dari 7 hektar tersebut, seluas 1,8 juta hektar yang status fungsi kawasan hutannya sebagai hutan lindung dan hutan konservasi. Sisanya merupakan, hutan produksi, areal penggunaan lain, pertambangan, dan lain sebagainya.
Mufti mencontohkan, salah satu kawasan pulau kecil yang terancam oleh berbagai ekspansi terjadi di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. FWI mencatat, dari 832 pulau di Kepulauan Aru, hanya 1 pulau yang tidak masuk dalam kategori pulau kecil. Ekspansi izin konsensi dan pembangunan memunculkan konflik agraria antara korporasi hingga lembaga negara dengan masyarakat adat setempat.
Mufti memaparkan, kondisi kawasan hutan di Kepulauan Aru dominan sebagai hutan yang dapat dikonversi, yakni sebanyak 62,49 persen. Sementara sisanya merupakan hutan produksi 23,77 persen, area penggunaan lain (9 persen), kawasan konservasi (8,22 persen), dan hutan lindung (0,77 persen).
”Sejumlah proyek ini mengancam kawasan pesisir, karena orientasi yang digunakan berbasis pembangunan wilayah daratan. Padahal negara kita merupakan negara kepulauan,” ucap Mufti.
Peneliti Papua Study Center, Ali Mahrus, mengungkapkan, berbagai proyek yang ada mengancam ekosistem di Kepulauan Aru. Proyek tersebut adalah usaha sektor kehutanan, seperti hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), dan restorasi ekosistem. Selain itu, ada pula ancaman lain, rencana proyek peternakan sapi skala besar.
Berbagai proyek tersebut mengancam kehidupan ekosistem, seperti kerusakan hutan, karst, termasuk hutan mangrove, sumber air bersih, hingga satwa endemik. Padahal kehidupan masyarakat adat sangat bergantung dari alam di wilayah pulau-pulau kecil tersebut.
Konflik dengan TNI-AL
Menurut Ali, perlu ada percepatan pengakuan hak masyarakat adat yang komprehensif untuk menjamin hak mereka tetap terlindungi. Ali mencontohkan, pada 2021 terjadi konflik agraria antara masyarakat adat Kepulauan Aru dengan TNI Angkatan Laut atas 650 hektar lahan yang dikelola TNI-AL sebagai pangkalan udara.
Saat itu, gugatan masyarakat adat ditolak di pengadilan negeri karena masyarakat adat dinggap tidak bisa membuktikan kepemilikan awal lahan tersebut. Padahal menurut dia, seharusnya pembuktian secara dokumen tidak bisa diberlakukan di semua daerah.
”Peraturan mengenai kepemilikan lahan seharusnya menyesuaikan dengan keadaan di wilayah adat tertentu,” ucapnya.
Adapun saat konflik tersebut bergulir, Komandan Pangkalan Utama TNI-AL IX Ambon Brigadir Jenderal (Mar) Said Latuconsina mengatakan, kepemilikan lahan di Desa Marafenfen, Pulau Terangan, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, sudah melalui mekanisme yang benar.
Selain itu, lahan yang digunakan sebagai pangkalan udara tersebut sangat berguna dalam operasi pengamanan wilayah perbatasan. Di sana, pesawat yang melakukan patroli singgah untuk mengisi bahan bakar dan perbekalan. Pulau Terangan berada di perbatasan Indonesia dan Australia. ”Jadi, keberadaan bandara ini untuk kepentingan pertahanan negara,” ucapnya. (Kompas.id, 18/11/2021).
Anggota DPR daerah pemilihan Maluku, Mercy Chriesty Barends, menuturkan, terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Aru 2/2022 seharusnya menjadi tonggak pengakuan kepada masyarakat adat di sana.
Dalam Pasal 2 Perda 2/2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Aru berdasarkan asas, pengakuan, keadilan, kepastian hukum, kesetaraan dan nondiskriminasi, keberlanjutan lingkungan, partisipasi, dan transparan.
Mercy juga menyebut, proses percepatan pengakuan masyarakat dan penyelesaian konflik terus dilakukan dengan berbagai pendekatan, termasuk melalui Perda 2/2022. Berbagai pendekatan tersebut, turut membawa titik terang dalam upaya penyelesaian konflik agraria dengan TNI-AL.
“Kemarin setelah melakukan pertemuan dengan TNI-AL, mereka bersedia untuk duduk bersama mencari jalan tengah. Mereka bersedia untuk sebagian lahan dikembalikan kepada masyarakat adat dan sebagian tetap digunakan sebagai kepentingan angkatan laut. Kendati demikian, pengawalan pengakuan hak masyarakat ada yang komprehensif terus didorong, untuk menjamin hak-hak lainnya,” kata Mercy.