Koreografi bukan hanya tarian, melainkan juga setiap gerak tubuh manusia ketika beraktivitas. Pada dasarnya, tubuh dan kehidupan adalah seni.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Sadar atau tidak, kita semua aslinya adalah penari dan lingkungan adalah koreografernya. Dalam konteks urban, setiap langkah dan gerakan kita ditentukan oleh nyala lampu merah, kemacetan, ambulans yang hendak lewat, trotoar yang tidak rata, hingga letak halte Transjakarta.
Bayangkan kota Jakarta yang sibuk. Lalu lintas di jalanan yang macet dan klakson bersahutan. Anda lantas memilih naik Transjakarta, lalu buru-buru menyusuri trotoar, menghindari gerobak penjaja yang mengokupasi trotoar, naik tangga jembatan penyeberangan orang, sampai akhirnya tiba di halte.
Saat bus mengerem mendadak, tangan Anda refleks meraih pegangan di atas kepala, tubuh condong ke depan, dan kaki berupaya memantapkan kuda-kuda agar tidak jatuh. Dalam kacamata koreografer, semua gerakan ini adalah koreografi yang dihasilkan dari desain kota.
Hal tersebut ditangkap oleh perupa Tiara Sophie Trinita saat mempresentasikan karyanya yang berjudul Shock Arena No.4 di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Sabtu (1/7/2023) malam.
Saat presentasi, Sophie membentangkan selotip kertas di lantai panggung membentuk Koridor 4, rute Transjakarta dari Pulogadung 2 ke Dukuh Atas 2. Rute itu sehari-hari dilewati oleh Sophie.
Beberapa kali si perupa terpeleset saat membentangkan selotip sambil menunduk dan setengah jongkok. Di belakangnya ada layar besar yang menayangkan video jalan Jakarta dari kursi depan Transjakarta. Saat bus berhenti karena lampu merah, si perupa ikut diam. Saat bus melaju kembali, si perupa membentangkan selotipnya lagi.
Menurut dia, semua gerakannya adalah representasi dari hal-hal tak terduga selama naik bus, seperti rem mendadak, jalur Transjakarta yang tak steril dari kendaraan lain, hingga orang atau kendaraan yang tiba-tiba memotong jalur bus. Gerakan tak terduga ini tetap terjadi walau kota sudah mendesain jalur khusus bus.
”Aku menemukan bahwa rancangan yang sudah terencana malah menghadirkan ketidakterdugaan. Itu aku tampilkan sebagaimana yang tadi terjadi di panggung,” kata mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia ini.
Bukan cuma tari
Gagasan bahwa koreografi bukan sekadar tarian ini berkembang di lokakarya Artistic Development yang digagas Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Lokakarya berlangsung pada 26-29 Juli 2023. Selama lokakarya berlangsung, 10 perupa lintas bidang diajak menajamkan gagasan seninya melalui diskusi terbuka.
Para perupa itu adalah Al Imran Karim, Annastasya Verina, Aulia Detha Amalia, Dimas E Prasinggih, Ishvara Devati, Jacko Kaneko, Rheza Oktavia, Tiara Sophie Trinita, Yulfan Annur Guluda (Reboo), dan Zulfikar Syukur. Latar belakang mereka beragam, antara lain seni tari, filsafat, teater, dan seni visual. Adapun dramaturg Taufik Darwis menjadi fasilitator lokakarya tahun ini.
Setelah ”digodok” selama 5-7 jam per hari selama hampir seminggu, 10 perupa menampilkan karya mereka dalam Presentasi Performatif di TIM, Jakarta, pada Sabtu malam. Presentasi seninya macam-macam, ada yang bentuk tarian, teater, monolog, pertunjukan suara, hingga pertunjukan menggoreng tempe. Semuanya mempresentasikan makna koreografi secara beragam.
Rheza Oktavia, misalnya, menggambar bajunya yang putih-putih dengan beberapa titik hitam besar. Titik-titik itu ibarat sendi-sendi tubuh. Tubuh akan bergerak jika sendi-sendi diaktifkan.
Bersama rekannya di panggung, Rheza menunjukkan bahwa naik-turun tangga bisa dilakukan dengan ritmis, kadang dramatis, atau bisa juga sambil lenggak-lenggok.
Sementara itu, Ishvara Devati melihat ada juga yang namanya koreografi kata. Pemilihan diksi, intonasi, hingga cara bertutur dipandang sebagai strategi komunikasi. Biasanya, identitas penutur bisa kelihatan dari caranya berkomunikasi.
Pemikiran ini ditunjukkan melalui rekaman percakapan para transpuan yang menggunakan banyak diksi khusus. Ishvara maju ke panggung, memangku laptop, dan mengetik diksi itu beserta artinya. Ada layar besar di panggung yang menampilkan makna diksi-diksi itu, seperti begindang (begitu), deseu (dia), kenaposka (kenapa), kerajaan (pekerjaan), dan m-banking (memang).
Dialog
Presentasi 10 perupa muda ini adalah hasil dialog panjang dan saling tukar gagasan antarpeserta lokakarya serta fasilitator. Taufik Darwis mengatakan, ide semua peserta lokakarya berhak didiskusikan dan mendapat masukan sebanyak-banyaknya. Tidak ada masukan yang baik atau buruk. Namun, orang yang menyebut ide temannya buruk wajib membuat ide itu jadi bagus.
”Saya hanya membentangkan kemungkinan-kemungkinan (ide), serta realitas produksi (seninya), termasuk durasi. Keputusan artistik tetap dikembalikan ke mereka,” ucap Darwis.
Menurut Ketua Komite Tari DKJ Yola Yulfianti, pertukaran gagasan jarang terjadi di komunitas seni tari. Padahal, ini mendorong pertumbuhan dan perkembangan seniman dalam berkarya. Diskusi ini juga penting untuk mengembangkan gagasan akan koreografi. Sebab, selama ini koreografi dimaknai sebatas tarian oleh publik, bahkan sebagian perupa.
Wacana soal koreografi mesti banyak dibicarakan agar tidak terkungkung di kerangka seni saja.
Lokakarya ini diharapkan memperkaya pemahaman para seniman bahwa koreografi bukan sekadar tari. Pemahaman ini diyakini jadi modal besar untuk pengembangan karya para seniman ke depan.
Anggota Komite Tari DKJ, Josh Marcy, menambahkan, wacana soal koreografi mesti banyak dibicarakan agar tidak terkungkung di kerangka seni saja. Koreografi, menurut dia, terhubung dengan konteks lain, serta praktik seni dan laku hidup lain. ”Ini penting agar ada kesadaran bahwa tari adalah bagian penting dari hidup kita,” katanya.
Usai sudah presentasi performatif yang berlangsung selama tiga jam-an di malam Minggu. Lampu panggung yang meredup tak bisa menyembunyikan senyum lega mereka yang sudah selesai pentas. Di balik itu, Yola berharap karya mereka direalisasikan. Lebih bagus lagi kalau dapat pendanaan.