Kebijakan negara-negara dunia diproyeksikan masih akan menaikkan suhu bumi sekitar 3,2 derajat celsius. Usaha penurunan emisi harus dipercepat.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2050 serta temperatur rata-rata global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius, usaha yang berhubungan dengan isu iklim harus dipercepat. Upaya reforestasi, pengurangan pembangkit listrik tenaga batubara, dan penggunaan energi rendah karbon harus dipercepat.
Hal ini mengemuka dalam rangkaian diskusi acara Indonesia Net-Zero Summit 2023, sebuah konferensi iklim yang diadakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Sabtu (24/6/2023). Acara ini menyajikan berbagai panel diskusi dengan tema besar perubahan iklim. Sejumlah pemangku kepentingan, seperti tokoh masyarakat sipil, aktivis, pejabat, dan menteri, turut menghadiri acara ini.
Pendiri dan Ketua FPCI Dino Patti Djalal mengatakan, suhu udara di Bumi pada 30 tahun ke depan diprediksi akan meningkat 3-4 derajat celsius lebih panas. Kondisi tersebut tentu sangat berdampak pada kehidupan manusia, terutama negara berkembang. Indonesia yang memiliki populasi lebih dari 270 juta jiwa kemungkinan akan turut terancam.
Sebelumnya, Perjanjian Paris telah menargetkan kenaikan temperatur rata-rata global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius. Namun, kebijakan negara-negara dunia saat ini diproyeksikan masih akan membuat suhu Bumi naik sekitar 3,2 derajat celsius.
Saat ini saja suhu dunia sudah naik 1,1 derajat celsius. Sementara solusi agar temperaturnya tidak naik lebih dari 1,5 derajat celsius adalah semua orang di dunia harus ikut berpartisipasi. ”Tidak bisa negara Barat, Timur, Utara, atau Selatan saja. Semua bangsa dan negara harus bekerja sama dan berkoordinasi,” ujar Dino.
Agar tidak melebihi batas yang ditentukan, semua usaha yang berhubungan dengan isu iklim harus bergerak lebih cepat. Di antaranya, transisi ke kendaraan listrik dipercepat 22 kali lipat dan penggunaan energi rendah karbon dipercepat delapan kali lipat.
Selain itu, penghentian penggunaan batubara dipercepat lima kali lipat, reforestasi dipercepat lima kali lipat, penggunaan energi terbarukan dipercepat tiga kali lipat, serta pembersihan listrik dipercepat 1,5 kali lipat.
Sementara itu, prospek kebijakan iklim di Indonesia, menurut Dino, masih labil karena beberapa hal, antara lain, komitmen birokrasi belum merata, pemerintah daerah belum sepenuhnya berkomitmen mempercepat transisi energi, pihak swasta belum sepenuhnya terlibat, serta perhatian publik belum optimal.
”Faktor perubahan iklim juga belum menjadi risiko yang dihitung dalam visi Indonesia Emas 2045. Faktor perubahan iklim harus dimasukkan karena merupakan ancaman terbesar bagi umat manusia,” tutur Dino.
Lima sektor
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan, terdapat lima sektor yang menjadi fokus pemerintah dalam menurunkan emisi, yakni kehutanan, energi, industrial process and product use (IPPU), limbah, serta pertanian. Dari kelimanya, sektor energi dan kehutanan atau forestry and other land uses (FOLU) menjadi penyerap utama sekaligus penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Emisi terbesar berasal dari kebakaran hutan dan lahan, dekomposisi gambut, serta deforestasi.
Pengendalian di empat sektor hanya bisa dilakukan dengan penurunan emisi karbon yang dihasilkan. Sementara itu, sektor kehutanan bisa menurunkan emisi sekaligus meningkatkan penyerapan karbon.
Namun, emisi yang dihasilkan sektor kehutanan hingga saat ini masih jauh lebih besar dibandingkan karbon yang diserap. Padahal, sektor kehutanan seharusnya bisa menyerap emisi dari sektor lain.
Saat ini, sumbangsih emisi karbon Indonesia disebut masih sekitar 2,3 juta ton per kapita. Sementara negara maju sudah mencapai 14,7 juta ton.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, perlu proses yang bertahap, bertingkat, dan berlanjut untuk mencapai target nol emisi bersih. Saat ini, Indonesia secara perlahan memulai upaya untuk mengurangi penggunaan sumber energi fosil, khususnya batubara.
Butuh kolaborasi dan kerja sama dengan banyak pihak untuk membantu menurunkan emisi, terutama di bidang ketenagalistrikan yang sebagian besar masih berasal dari batubara. Luhut mengatakan, pembangkit listrik dari batubara tidak bisa dihentikan sekaligus begitu saja dalam upaya mencapai emisi nol bersih.
Luhut mengatakan, pemerintah telah menyiapkan peta jalan untuk mengurangi energi fosil. Saat ini, sumbangsih emisi karbon Indonesia sekitar 2,3 juta ton per kapita. Sementara negara maju sudah mencapai 14,7 juta ton.
”Kita memang akan melakukan itu secara bertahap (mengurangi energi fosil). Itu ada road map-nya, tetapi memang perlu bertahap,” ujar Luhut.
Pembiayaan campuran
Sementara itu, Ketua Kaukus Ekonomi Hijau sekaligus anggota Komisi VII DPR, Mercy Chriesty Barends, mengatakan, pembiayaan campuran yang diatur Kementerian Keuangan juga dapat mempercepat transisi energi bersih. Sebab, upaya untuk mencapai emisi nol bersih membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Berdasarkan perhitungan Institute for Essential Services Reform (IESR), investasi yang dibutuhkan untuk mencapai emisi nol bersih tahun 2060 di semua sektor secara kumulatif hampir mencapai Rp 20.000 triliun atau rata-rata sekitar Rp 450 triliun sampai Rp 600 triliun.
Pembiayaan campuran merupakan skema pembiayaan dengan mengombinasikan beberapa sumber, seperti anggaran pemerintah, swasta, dan donor. Mercy menilai, pembiayaan campuran yang diatur Kementerian Keuangan merupakan salah satu cara yang efisien untuk mempercepat transisi energi Indonesia tanpa harus bertumpu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Saat ini, pemerintah mempunyai tiga platform pembiayaan campuran yang tengah berjalan. Pertama, SDG Indonesia One yang dikelola PT Sarana Multi Infrastruktur guna membiayai SDGs dari berbagai sumber, seperti donor internasional, lembaga keuangan iklim, investor hijau, bank umum, serta bank pembangunan multilateral.
Selanjutnya, melalui public private partnership yang merupakan pengaturan antara pendanaan publik dan swasta untuk pembiayaan proyek infrastruktur tertentu. Dan terakhir, sukuk atau green bonds, yang merupakan instrumen pembiayaan inovatif untuk mendukung kebijakan fiskal ekspansif dan infrastruktur hijau di Indonesia.