Model Baru Pelatihan Guru Perlu Berpihak pada Kebutuhan Guru
Banyak program pelatihan guru yang sudah dijalankan pemerintah ataupun swasta. Namun, pelatihan belum menyentuh kebutuhan guru yang beragam untuk memotivasi budaya belajar. Perlu model baru pelatihan guru.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inovasi pendidikan terkait model baru pendidikan dan pelatihan guru perlu dikembangkan. Selama ini model pelatihan bagi guru bersifat perintah dari atasan ke bawahan dengan pola pengimbasan kepada guru lain yang tak ikut pelatihan belum mampu mendongkrak mutu pembelajaran.
Meski diakui bahwa guru berperan penting meningkatkan mutu pendidikan, akses guru terhadap pengembangan kapasitas pendidik profesional berkesinambungan tidak merata. Akses tersebut masih terbatas pada guru-guru tertentu yang dianggap memiliki kinerja baik.
Harapannya para guru terpilih tersebut mengimbaskan kepada guru lain di sekolah atau komunitas guru. Kenyataannya, tidak semua guru yang terpilih mampu dan percaya diri untuk membagikan kepada guru lain dengan kualitas materi sama.
Peneliti SMERU Research Institute, Sirojuddin Arif, di Jakarta, Jumat (23/6/2023), mengatakan, guru berperan penting meningkatkan mutu pendidikan. Namun, kualitas guru di Indonesia masih harus ditingkatkan. Dari uji kompetensi guru tahun 2015, sekitar 62 persen dari jumlah guru sekolah dasar (SD) tidak memenuhi standar, sedangkan di sekolah menengah sekitar 55 persen.
”Meski sudah ada pelatihan guru oleh pemerintah pusat maupun daerah serta lembaga lain, pelatihan guru tak menyentuh kebutuhan dasar mereka yang beragam. Ada guru mengatakan pihak luar mengadakan pelatihan tanpa tahu materi yang disediakan sesuai kebutuhan guru atau tidak,” papar Sirojuddin.
Dari kerja sama dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang mengembangkan model pelatihan guru mengakomodasi kebutuhan guru, 40 persen guru DKI Jakarta sulit menghadapi siswa dengan kebutuhan beragam. Sekitar 22 persen guru sulit memilih strategi pembelajaran relevan serta 17 persen guru kesulitan melakukan asesmen.
Hal tersebut mengemuka dari refleksi guru sebelum pelatihan. Dari sinilah pelatihan dilakukan berdasarkan kebutuhan agar menjawab hasil refleksi guru tentang dirinya. Setelah pelatihan, para guru diminta melakukan tindak lanjut dengan dukungan dan fasilitator dari kepala sekolah dan dinas pendidikan.
”Ada hasil positif model baru pengembangan budaya belajar guru dari kebutuhan beragam. Agar hasilnya berdampak pada performa belajar dan hasil belajar siswa, butuh faktor selain motivasi diri guru serta dukungan fasilitator dari kepala sekolah. Sayangnya ada guru menilai kepala sekolah sebagai pengontrol,” ujar Sirojuddin.
Motivasi guru
Dari sisi guru, ada empat kelompok guru, yakni guru dengan motivasi rendah disertai dengan keterampilan tinggi, motivasi rendah dan keterampilan rendah, motivasi tinggi dan keterampilan tinggi, serta motivasi tinggi dan keterampilan tinggi.
Ada hasil positif model baru pengembangan budaya belajar guru dari kebutuhan beragam.
Adanya pelatihan guru sesuai kebutuhan guru yang beragam membuat guru yang butuh pelatihan dan konten dasar dapat mengikuti. Demikian pula guru yang punya kebutuhan belajar lebih lanjut tetap bersemangat mempelajari hal-hal baru.
Untuk memacu guru dengan motivasi rendah agar mau berkembang, butuh peran kepala sekolah sebagai fasilitator. Namun, para kepala sekolah di lapangan ada yang masuk dalam kelompok kepala sekolah bagus tetapi pasif dan baru bergerak ketika diminta guru; kepala sekolah yang lemah atau tidak mengerti menjadi fasilitator; dan kepala sekolah yang mampu menjadi fasilitator.
Menurut Sirojuddin, dengan memberi ruang bagi guru untuk berefleksi, ada pengaruh positif pada kesadaran guru. Mereka merasa mendapat manfaat dari pelatihan sehingga termotivasi mengembangkan budaya belajar yang membantu peningkatan kualitas pembelajaran.
”Kepemimpinan kepala sekolah berpengaruh pada guru. Jika kepala sekolah tahu menjadi fasilitator, meski motivasi guru rendah, para guru mau ikut pelatihan dan bergerak. Sebaliknya, jika kepala sekolah memiliki kemampuan rendah dalam memfasilitasi, guru jadi tidak bergerak,” papar Sirojuddin.
Model pelatihan baru yang memfasilitasi kebutuhan beragam guru bisa meningkatkan kemampuan guru sekaligus berdampak baik bagi siswa. ”Namun, asistensi dan otonomi perlu disediakan, terutama bagi guru yang tidak punya motivasi kuat. Terlihat, motivasi guru amat penting. Ketika merekrut guru, motivasi diri seorang guru juga harus jadi variabel penting,” kata Sirojuddin.
Dalam webinar, Forum Kajian Pembangunan (FKP) SMERU 2023 Seri Ketiga: Inovasi Kolaboratif Daerah Mewujudkan Pendidikan Dasar Berkualitas, yang digelar SMERU Research Institute dan Tanto Foundation, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek Nunuk Suryani mengatakan, peningkatan mutu pendidikan butuh kolaborasi atau gotong royong berbagai pemangku kepentingan. Hal ini menjadi bagian dari paket kebijakan Merdeka Belajar.
”Kami menunggu kabar baik penelitian dari SMERU dan Tanoto Foundation agar kelak dapat diadopsi dan diimplementasikan di satuan-satuan pendidikan di Indonesia,” kata Nunuk.
Akses pelatihan bagi guru yang merata dan terstandar dilakukan dengan memanfaatkan teknologi digital. Kemendikbudristek merancang platform Merdeka Mengajar (PMM) bagi guru untuk belajar mandiri sesuai kebutuhan dan berbagi praktik baik yang menginspirasi guru lain. Para guru fleksibel menemukan kebutuhan pengembangan diri dengan belajar mandiri mengakses sumber daya pembelajaran.
Ada juga program guru penggerak untuk memperkuat kepemimpinan para guru sebagai pemimpin pembelajaran. Bahkan, kini sertifikat sebagai guru penggerak menjadi hal penting untuk pengangkatan kepala sekolah dan pengawas.
Dengan kepemimpinan kepala sekolah dan pengawas sekolah dari lulusan guru penggerak, ekosistem pendidikan yang memerdekakan guru dan siswa diharapkan berjalan berkesinambungan, sesuai kebutuhan sekolah dan siswa. Dengan demikian, peningkatan kualitas pendidikan terjadi.