Pengetahuan tentang Kekerasan Berbasis Jender Terus Tumbuh
Selama 21 tahun Komnas Perempuan meluncurkan Catatan Tahunan berisi data kasus kekerasan terhadap perempuan. Data itu jadi bahan rujukan bagi pemerintah dan berbagai kalangan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengetahuan publik mengenai kekerasan berbasis jender terhadap perempuan di Indonesia terus tumbuh dalam dua dekade terakhir. Hal ini turut mendorong adanya perbaikan kebijakan ataupun penanganan kasus kekerasan berbasis jender yang lebih baik.
Selama 21 tahun Catatan Tahunan yang disusun Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan mencatat ada lebih dari 2,5 juta kasus kekerasan berbasis jender di ranah personal dengan Kekerasan terhadap Istri atau KTI paling banyak dilaporkan sebanyak 484.993 kasus.
Adapun jumlah paling tinggi di Catahu pada 2009 sebanyak 131.375 kasus. Adapun Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) menempati posisi kedua terbanyak kekerasan ranah personal, yakni 26.629 kasus, jumlah tertinggi tercatat di Catahu 2015, yaitu 2839 kasus. Selain itu sekitar 87.000 kasus kekerasan berbasis jender terjadi di ranah publik.
Selama 21 tahun Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menyusun Catatan Tahunan yang memuat pengalaman perempuan korban di berbagai konteks persoalan.
Catatan itu menyajikan data yang kaya, relevan dengan lintas waktu, dan dapat digunakan sebagai acuan oleh peneliti, pembuat kebijakan, atau pihak-pihak terkait upaya pemajuan hak-hak perempuan.
Selama dua dekade lebih, Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang disampaikan tiap tahun, mendorong pengetahuan tentang kekerasan berbasis jender pada perempuan berkembang sehingga mendorong perubahan kebijakan dan penanganan lebih baik.
”Dari informasi selama 21 tahun Catahu, jumlah pelaporan kasus kekerasan berbasis jender bertambah tiap tahun. Hal ini bisa bermakna positif yakni meningkatnya keberanian, dukungan, dan akses perempuan korban untuk melaporkan kasusnya,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani pada Peluncuran Hasil Kajian 21 Tahun Catahu Komnas Perempuan, Selasa (20/6/2023) di Kantor Komnas Perempuan.
Catahu Komnas Perempuan digagas pada akhir 2001, karena ada kebutuhan mendesak untuk menghadirkan data nasional kasus kekerasan terhadap perempuan, yang belum ada rujukannya sama sekali. Saat itu, Komnas Perempuan bersama dengan 35 lembaga, melansir data nasional untuk pertama kalinya.
Dari informasi selama 21 tahun Catahu, jumlah pelaporan kasus kekerasan berbasis jender bertambah tiap tahun.
Dua tahun berikutnya, catatan tahunan disusun dan dilansir di awal tahun. Namun, sejak 2004, secara rutin Komnas Perempuan melansir Catahu pada awal Maret sebagai cara memeringati Hari Perempuan Internasional, pada 8 Maret.
”Namun, penting dicatat bahwa belum semua korban berani, mau, dan dapat melaporkan kasusnya,” kata Andy yang berharap Catahu Komnas Perempuan menjadi bagian yang diintegrasikan di dalam rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2025-2045 dan dalam berbagai kebijakan terkait lainnya.
Data kualitatif
Untuk dapat membangun pemahaman yang utuh mengenai persoalan kekerasan terhadap perempuan, sejak awal Catahu Komnas Perempuan tidak hanya memuat data kuantitatif, tetapi juga data kualitatif.
Selain data mengenai kasus, Catahu dilengkapi catatan kondisi penanganan kasus yang memuat tiga isu utama yakni terobosan hukum dan kebijakan penanganan kasus; daya dukung institusional pemulihan hak-hak korban dan tantangannya; dan praktik penanganan kasus di lembaga layanan dan Komnas Perempuan.
Bahkan, seluruh informasi dalam Catahu memungkinkan gerakan perempuan dan gerakan hak asasi manusia pada umumnya menggulirkan advokasi berbasis data, baik di tingkat undang-undang maupun kebijakan lokal.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan pada 2022, serta perbaikan pasal-pasal kekerasan seksual di dalam revisi KUHP 2023 menjadi contoh terkini penggunaan Catahu sebagai modalitas juang bersama.
Karena itu, dokumentasi selama 21 tahun mengenai capaian, stagnansi, bahkan kemunduran dari upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, serta modalitas, hambatan, tantangan dan strategi yang dibangun gerakan perempuan, menjadikan Catahu berperan strategis merekam jejak gerakan perempuan.
Hasil Kajian 21 Tahun Catahu Komnas Perempuan, diuraikan secara bergantian oleh empat komisioner Komnas Perempuan, yakni Alimatul Qibtiyah, Siti Aminah Tardi, Rainy Hutabarat, dan Retty Ratnawati. Kajian tersebut berisi dokumentasi kuantitatif, ragam bentuk kekerasan terhadap perempuan, kekerasan yang butuh perhatian khusus, dan pola penanganan.
Siti Aminah mengutarakan, kekerasan di berbagai ranah (rumah tangga atau personal, publik, dan negara) sehingga tidak ada ruang aman bagi perempuan. Dalam perjalanan pendokumentasian yang dilakukan Komnas Perempuan terjadi sejumlah banyak perubahan, termasuk istilah-istilahnya.
Di ranah personal, sejak awal Catahu mencatat beragam bentuk kekerasan dalam rumah tangga/personal yang menjadi kasus tertinggi setiap tahun. Dari jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), KTI selalu menempati urutan pertama dari keseluruhan kasus KDRT dan selalu berada di atas angka 70 persen.
Kajian 21 Tahun Catahu juga mendapat tanggapan dan masukan dari Kementerian PPN/Bappenas, Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung, Kantor Staf Presiden, dan mitra penyedia layanan.
Siti Ruhaini Dzuhayatin, Tenaga Ahli Utama KSP, menyatakan, data yang dirilis lembaga-lembaga independen, termasuk Komnas Perempuan dan Komnas HAM menunjukkan kebesaran hati bangsa Indonesia mengakui Indonesia mempunyai masalah.
”Dengan masalah itulah kita juga mempunyai tekad menghadapi dan menyelesaikan masalah secara sinergi, antara pemerintah, lembaga independen, dan masyarakat sipil,” kata Ruhaini.
Mewakili lembaga mitra, Witi Muntari dari Legal Resources Center untuk keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRJ KJHAM) Semarang menyatakan Catahu Komnas Perempuan bermanfaat karena ada data nasional tentang kekerasan terhadap perempuan. Hal itu menjadi bahan advokasi kebijakan dan anggaran di tingkat daerah dan nasional, termasuk dalam penyusunan peraturan.
”Catahu juga menjadi rujukan lembaga ataupun mahasiswa untuk penelitian, bahan pendidikan publik dan kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan,” ujar Witi.