Satelit Satria 1 Tambah Kapasitas Internet Indonesia
Satelit Satria 1 berhasil diluncurkan pada Minggu (18/6/2023) pukul 18.21 waktu Florida, Amerika Serikat. Meski kapasitas Satria 1 merupakan yang terbesar di Asia, kekurangan internet satelit di Indonesia tetap tinggi.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
CAPE CANAVERAL, KOMPAS — Satelit Republik Indonesia (Satria) 1 atau disebut satelit Nusantara 3 berhasil diluncurkan dari Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat. Kini, satelit akan menuju orbitnya hingga lima bulan ke depan. Satelit diharapkan sudah bisa melayani kebutuhan internet masyarakat mulai awal Januari 2024.
Satelit Satria-1 atau Nusantara 3 (N3) meluncur dari landas luncur 40 di Pangkalan Angkatan Antariksa Cape Canaveral, Florida, AS pada Minggu (18/6/2023) pukul 18.21 waktu setempat atau Senin (19/6/2023) pukul 05.21 WIB. Peluncuran sempat mundur 15 menit dari jadwal peluncuran terakhir akibat kendala cuaca.
Proses peluncuran berlangsung singkat, tanpa banyak kendala. Meski wilayah sekitar Cape Canaveral diguyur hujan lebat dan petir sejak Sabtu malam hingga Minggu pagi, cuaca Minggu sore amat cerah. Di lokasi peluncuran, gumpalan awan hanya terlihat di sekitar horizon dan langit arah barat. Sementara langit di atas kepala dan sisi timur yang akan menjadi jalur roket terlihat biru jernih.
Sekitar setengah jam sebelum peluncuran, pengisian bahan bakar roket Falcon 9 yang akan meluncurkan Satria 1 dilakukan. Pengisian bahan bakar berupa kerosin dan oksigen cair itu ditandai oleh munculnya asap putih dari roket tingkat pertama milik SpaceX tersebut yang memiliki ketinggian total 70 meter.
Tepat pukul 18.21 waktu setempat, mesin roket tingkat pertama pun menyala, memunculkan api yang berwarna merah oranye. Sesaat kemudian, asap putih pun mengepul menyelimuti bagian bawah roket dan landas luncur.
Roket pun bergerak ke atas, membumbung tinggi, dan meninggalkan suara gemuruh yang menggelegar. Dentuman sonik (sonic boom) itu tak hanya menggetarkan gendang telinga, tetapi juga hati masyarakat yang menontonnya di tepian laguna Indian River, Cape Canaveral, yang hanya berjarak beberapa kilometer dari landas luncur. Roket terus naik, berbelok ke arah timur mengikuti arah putaran Bumi, hingga akhirnya hilang dari pandangan mata.
Meski demikian, proses peluncuran terus berlangsung. SpaceX sebagai pemilik roket Falcon 9 bertugas meluncurkan satelit hingga membawa satelit ke orbit transfer atau orbit sementara. Selanjutnya, Thales Alenia Space Perancis selaku pembuat satelit akan membawa Satria dari orbit transfer menuju posisi akhir satelit di orbit geostasioner pada ketinggian 36.000 kilometer.
Perjalanan dari orbit transfer ke orbit geostasioner ini yang akan memakan waktu lama, sekitar 5 bulan. Setelah satelit sampai di titik orbitnya di atas khatulistiwa pada garis 146 derajat Bujur Timur atau di timur laut Papua, satelit akan menjalani sejumlah proses uji sebelum akhirnya bisa memberikan layanan ke masyarakat mulai Januari 2024.
Tambahan kapasitas
Satria 1 atau Nusantara 3 dibangun dan dioperasikan oleh konsorsium PT Satelit Nusantara Tiga (SNT) yang merupakan anak perusahaan PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN). Satelit ini khusus melayani internet di lembaga pemerintah melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Pemerintah akan membayar layanan setiap bulan ke SNT. Setelah beroperasi 15 tahun, satelit akan diserahkan dari SNT ke pemerintah.
Layanan satelit ini difokuskan pada daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal yang belum terjangkau layanan internet berbasis terestrial. Karena itu, kehadiran satelit ini akan lebih memperluas dan memeratakan layanan digital di Indonesia. Terlebih, Satria 1 yang memiliki kapasitas 150 gigabit per detik (Gbps) merupakan satelit multifungsi dengan kapasitas terbesar kelima di dunia dan nomor satu di Asia.
”Kehadiran Satria 1 akan membawa perubahan besar layanan publik di daerah 3T, baik dalam sektor pendidikan, kesehatan, layanan pemerintah, hingga pertahanan dan keamanan,” kata Komisaris Utama PSN Group Sofyan Djalil sesaat sebelum peluncuran Satria 1 di Cape Canaveral, Minggu (18/6/2023).
Sementara itu, Direktur Utama PSN Adi Rahwan Adiwoso di Jakarta, dalam sambutannya pascapeluncuran satelit Satria 1, mengatakan satelit ini akan mengurangi kesenjangan digital di Indonesia. Upaya mewujudkan konektivitas digital di wilayah berpulau-pulau tidaklah mudah. Karena itu, Satria 1 berusaha mewujudkan hal itu melalui pemerataan infrastruktur teknologi, informasi dan komunikasi, khususnya di daerah 3T.
”Satria akan merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan konektivitas digital di seluruh pelosok Nusantara,” tambahnya.
Meski demikian, kehadiran Satria 1 diyakini hanya akan menutupi sedikit kebutuhan satelit internet di Indonesia yang diperkirakan mencapai 600 Gbps hingga 1 terabit per detik (Tbps). Dari empat satelit Indonesia yang kini beroperasi, yaitu Nusantara 1 milik PSN, BRISat milik Bank Rakyat Indonesia, serta satelit Merah Putih (Telkom 4) dan Telkom 3S milik Telkomsat, baru mampu memenuhi sedikit kebutuhan yang ada.
Kehadiran Satria 1 akan membawa perubahan besar layanan publik di daerah 3T, baik dalam sektor pendidikan, kesehatan, layanan pemerintah, hingga pertahanan dan keamanan.
Bahkan, kehadiran satelit Nusantara 5 dan satu satelit milik Telkomsat pada akhir tahun 2023-2024 diperkirakan juga belum mampu memenuhi kebutuhan yang ada. Akibatnya, penggunaan satelit asing belum bisa dihindarkan.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Wayan Toni Supriyanto di Orlando, Florida, AS, Sabtu (17/6/2023), memaparkan, selain kebutuhan yang ada sekarang, kebutuhan internet ke depan akan semakin berkembang hingga membutuhkan dukungan infrastruktur digital lebih banyak dan lebih baik.
Pemerintah sejatinya hanya menambal kebutuhan yang belum mampu dipenuhi oleh perusahaan operator telekomunikasi. Namun, karena anggaran pemerintah terbatas, upaya pemerataan internet itu perlu disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara.
Kondisi ini membuka peluang industri atau swasta untuk mau lebih menekuni sektor satelit. Namun, menekuni industri satelit tidaklah mudah karena sarat dengan teknologi tinggi dan modal besar serta risiko amat tinggi. Namun, besarnya kebutuhan masyarakat yang akan terus meningkat yakni peluang besar bagi industri dalam negeri sehingga ketergantungan pada satelit asing bisa dikurangi secara perlahan.