Perilaku anak menggunakan gawai perlu diperhatikan agar terkendali. Pembatasan penggunaan gawai dapat dilakukan sebagai upaya memperkuat regulasi diri anak.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan gawai sudah menjadi keseharian tiap orang, bahkan sejak usia balita atau anak-anak berusia di bawah lima tahun. Namun, saat ini banyak anak memakai gawai melebihi waktu yang direkomendasikan, dan umumnya menonton video, main gim, menggunakan sosial media, dan memakai aplikasi edukasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2022, sekitar 33,44 persen dari populasi anak usia dini menggunakan gawai nirkabel, sebanyak 25,5 persen dari anak-anak usia 0-4 tahun atau balita, dan 52, 76 persen dari populasi anak berusia 5-6 tahun. Adapun yang sudah bisa mengakses internet 24,956 persen dan lebih banyak di usia 5-6 tahun.
Adapun berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sekitar 98 persen anak berusia 6-12 tahun sudah menggunakan gawai. Rata-rata anak menghabiskan waktu 6 jam 45 menit per hari menggunakan gawai untuk menonton video, main gim, menggunakan sosial media, dan memakai aplikasi gim.
Padahal rekomendasi watu di layar atau screentime tidak disarankan alias nol jam untuk anak-anak berusia 0-2 tahun. Anak berusia 2-5 tahun sekitar 1 jam per hari, sedangkan yang lebih besar di bawah 2 jam per hari.
Di tengah menguatnya penggunaan gawai dalam keseharian anak, Councellor-Counsulting Hypnotist DAYEGO Consulting & Academy Ardhana Bayurindra dalam webinar Clevio 21 Century Parents bertajuk ”Membebaskan Anak dari Kecanduan Gawai”, Minggu (18/6/2023), mengingatkan orangtua membangun daya tahan anak terhadap perkembangan teknologi yang pesat.
”Masyarakat belum sepenuhnya siap menghadapi transisi teknologi, sekarang ada kecerdasan buatan atau AI seperti ChatGPT. Perkembangan teknologi digital ini tidak berhenti. Anak-anak pun jadi mempunyai rasa ingin tahu yang lebih cepat dari pertumbuhan usianya. Untuk itu, pastikan anak menonton video sesuai usianya,” ujarnya.
Menurut Ardhana, di dalam diri tiap orang ada hormon dophamine atau hormon bahagia. Biasanya dipicu jika bermain dengan gembira dan menghadapi tantangan yang dengan penuh semangat ditasi. Salah satunya karena main games.
Obesitas informasi
Namun, bermain gawai yang berlebihan dapat menimbulkan obesitas informasi. Ada kelebihan informasi, baik yang berguna maupun tidak berguna, benar atau informasi palsu, yang masuk dalam diri anak. Jika hal ini terus dibiarkan, dapat mengganggu fokus dan konsentrasi belajar, kualitas tidur, dan proses kognitif.
Di sinilah, lanjut Ardhana, orangtua perlu membantu anak memahami aturan pemanfaatan gadget. Orangtua dengan bijaksana mendorong penggunaan gadget sesuai kebutuhan.
”Bukan untuk menghibur anak, kasihan, atau supaya anak tenang. Adakalanya orangtua harus tega pada anak. Kalau bukan waktunya bermain gawai, tetap tegas. Jika anak tantrum atau marah saat tidak diizinkan, kadang harus tega. Di sinilah anak perlu memahami perlunya meregulasi diri,” ungkap Ardhana.
Hasil penelitian ilmuwan Korea pada tahun 2021 menemukan, orangtua yang mampu mengevaluasi diri dalam mengizinkan anak memakai teknologi dan kontennya dapat membantu anak untuk menurunkan tingkat ketergantungan pada teknologi. Evaluasi orangtua atau keterlibatan orangtua mengevaluasi penggunaan teknologi membuat anak tidak mengalami ketergantungan pada teknologi.
”Biarlah anak itu mengeluarkan emosinya karena tidak bisa menerima bahwa dia tidak mendapat yang diinginkannya. Sesekali tidak apa. Memang orangtua merasa lelah, jengkel, tetapi anak harus diajarkan melalui hal yang tidak sesuai keinginannya. Anak belajar ada hal yang tidak bisa didapatkan saat itu,” jelas Ardhana.
Adakalanya orangtua harus tega pada anak. Kalau bukan waktunya bermain gawai, tetap tegas. Jika anak tantrum atau marah saat tidak diizinkan, kadang harus tega. Di sinilah anak perlu memahami perlunya meregulasi diri.
Pembatasan penggunaan gawai membantu anak mampu memahami pentingnya regulasi diri. Mereka harus bisa menenangkan diri sendiri saat situasi tidak berjalan sesuai keinginannya. ”Kalau telanjur memberi akses memakai gawai berlebihan, secara bertahap dikurangi agar tidak ada drama berlebihan. Nanti lama-lama anak bisa menerima,” ujar Ardhana.
Anak-anak perlu didorong untuk melakukan kegiatan interaktif dan bergerak. Jika anak lebih banyak waktu bermain gawai dalam posisi diam, memengaruhi perubahan struktur tubuh dan tulang ekor, serta memengaruhi saraf di tubuh maupun fisik. ”Anak-anak harus istirahat dan bergerak, bukan geser duduk. Mereka harus berdiri dan berjalan. Ini untuk tumbuh kembang anak,” ungkapnya.
Perilaku anak dalam menggunakan gawai harus dipantau agar tak mencelakakan diri anak. Orangtua perlu mengajarkan anak untuk mampu meregulasi diri agar mengerti apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan, berisiko atau tidak, memilih yang aman dan menjauh dari hal-hal yang bisa membahayakan diri.
Saat anak menggunakan gawai, orangtua perlu mengetahui aktivitas anak saat menonton atau bermain gim. Kebersamaan ini juga bisa dimanfaatkan untuk mendorong anak punya kedalaman terhadap apa yang dia observasi di gawai.
Sementara CEO dan Co-Founder Clevio Fransiska Oetami menegaskan, membahas masalah penggunaan gawai pada anak tak sekadar soal agar warga jangan menjadi pengguna internet. Namun, anak-anak berada dalam masa pertumbuhan, mereka butuh bergerak demi perkembangan fisik dan saraf.
”Jika anak terus dibiarkan diam karena bisa tenang saat main gawai secara berlebihan, maka jika terjadi kerusakan bisa sampai permanen. Perilaku anak-anak terhadap gawai masih bisa dikendalikan. Karena itu, penting bagi orangtua untuk membuat anak tidak mengalami ketergantungan pada teknologi,” jelas Fransika.
Menurut Fransiska, mengatasi ketergantungan anak pada gawai bisa saja dengan mengunduh program pengawasan di gawai anak. Tapi yang penting adalah menekankan pada diri anak agar bisa meregulasi diri sendiri. ”Jadi, anak tidak sekadar tahu, tetapi memahami alasannya sehingga berpikir kritis dalam penggunaan gawai,” tuturnya.