Peluncuran Satelit Satria 1 Hadapi Cuaca Menantang
Satelit Republik Indonesia (Satria) 1 atau satelit Nusantara 3 akan diluncurkan dari Cape Canaveral, Amerika Serikat, Minggu (18/6/2023) petang waktu setempat. Namun, cuaca hujan disertai petir menjadi tantangan.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·6 menit baca
ORLANDO, KOMPAS — Satelit Republik Indonesia 1 menurut rencana akan diluncurkan pada Minggu (18/6/2023) petang waktu Florida, Amerika Serikat, atau Senin (19/6/2023) subuh waktu Jakarta. Meski mendung tebal, hujan deras, dan petir terjadi sepanjang malam hingga siang selama beberapa hari terakhir, cuaca sore hari umumnya cerah sehingga diyakini tidak akan mengganggu peluncuran.
Pelaksana Tugas Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika Arief Tri Hardiyanto di Orlando, Florida, Amerika Serikat, Sabtu (17/6/2023), mengatakan, Satria 1 dibuat oleh perusahaan Thales Alenia Space, Perancis, dan akan diluncurkan menggunakan roket Falcon 9 milik SpaceX dari landas luncur 40 di Pangkalan Angkatan Antariksa AS di Cape Canaveral, Florida.
Satelit akan diluncurkan pada Minggu pukul 18.04 waktu Florida atau Senin pukul 05.04 WIB. ”Sejauh ini, jadwal peluncuran masih sesuai rencana, belum ada indikasi bergeser,” ujarnya.
Jika gagal diluncurkan pada Minggu petang, lanjut Heru, satelit masih bisa diluncurkan keesokan harinya pada Senin petang waktu Florida atau Selasa subuh waktu Jakarta.
Satria 1 adalah satelit khusus internet yang dibangun melalui skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU), antara Bakti dan konsorsium PT Satelit Nusantara Tiga (SNT) yang pemegang saham terbesarnya adalah PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN). SNT menamai satelit ini Nusantara 3 (N3), sedangkan Bakti menyebutnya Satria 1.
Dalam skema tersebut, SNT bertugas membangun, meluncurkan, hingga mengoperasikan satelit ini selama 15 tahun. Melalui satelit itu, SNT akan memberikan layanan internet di lembaga pemerintah, mulai dari sekolah, puskemas, rumah sakit, kantor pemerintah, hingga TNI-Polri khususnya di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Selanjutnya, pemerintah akan membayar per bulan kepada SNT sejak layanan satelit itu diberikan. Setelah masa operasi selesai, satelit akan diserahkan ke pemerintah.
Satelit Satria 1 memiliki kapasitas 150 gigabit per detik (Gbps). ”Dari sisi kapasitas, satelit ini akan menjadi yang terbesar kelima di dunia dan terbesar di Asia,” ujarnya.
Deputi Direktur Proyek PT SNT dan Direktur Jaringan PT PSN Heru Dwikartono mengatakan, hingga Jumat (16/6/2023) malam atau dua hari sebelum waktu peluncuran, satelit dan roket peluncur sudah diintegrasikan meski masih dalam posisi tertidur atau horizontal. Posisi satelit Satria yang akan diluncurkan secara tunggal atau tanpa satelit lain itu berada di cungkup yang ada di pucuk roket peluncur atau disebut fairing.
Selanjutnya, pada Sabtu pukul 23.20 waktu Florida, roket peluncur itu dikirimkan dari hanggar ke landas luncur. Setelah melalui pemeriksaan elektrik dan mekanik, roket peluncur dengan satelit di dalam fairing setinggi 70 meter itu akan ditegakkan atau diberdirikan. Setelah roket tegak, proses persiapan peluncuran mulai dilakukan.
Jendela waktu peluncuran di Cape Canaveral berlangsung kurang lebih 2 jam dari waktu peluncuran yang ditentukan. Jika gagal diluncurkan pada Minggu petang, lanjut Heru, satelit masih bisa diluncurkan keesokan harinya pada Senin petang waktu Florida atau Selasa (20/6/2023) subuh waktu Jakarta.
Cuaca di Orlando yang berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan darat dari Cape Canaveral sejak beberapa hari terakhir diguyur hujan dari malam hingga siang. Bahkan, pada Sabtu malam hingga Minggu dini hari, hujan turun disertai petir yang bisa membahayakan peluncuran. Padahal, sebelumnya, sejak Sabtu siang hingga sore, langit terlihat cerah. Kondisi itu membuat SpaceX, SNT, dan Bakti optimistis peluncuran Satria 1 pada Minggu petang bisa dilakukan.
Menurut Heru, satelit Satria 1 akan ditempatkan di atas khatulistiwa pada garis bujur 146 derajat bujur timur atau di atas Samudra Pasifik di timur laut Pulau Papua. Sebagai satelit geostasioner, satelit akan mengorbit bumi pada ketinggian 36.000 kilometer dari permukaan bumi. Satelit ini akan terletak didekat satelit milik PSN lainnya, yaitu satelit Nusantara 1.
Untuk mencapai posisinya itu, Satria 1 membutuhkan waktu sekitar 150 hari. Selain itu, satelit juga akan menjalani sejumlah proses uji. Dengan demikian, satelit diharapkan mulai bisa melayani masyarakat pada Januari 2024. ”Karena itu, masyarakat harap bersabar bahwa, setelah meluncur, satelit ini belum akan memberikan layanan langsung,” kata Arif.
Untuk mendukung proses peluncuran dan pengoperasian satelit Satria 1 atau N3, SNT juga telah menyelesaikan pembangunan infrastruktur ruas bumi, seperti pusat kontrol utama dan pusat jaringan yang ada di Cikarang, Jawa Barat, dan stasiun kontrol cadangan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Selain itu, 11 stasiun bumi juga telah dibangun di seluruh Indonesia.
Tranformasi digital
Duta Besar RI untuk AS Rosan P Roeslani mengatakan, kehadiran satelit Satria 1 yang membuka akses internet di daerah 3T akan mendorong pemerataan akses dan mengurangi kesenjangan digital. Keterhubungan dengan internet itu tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membuka lapangan kerja baru, mengakselerasi usaha mikro kecil dan menengah, hingga memunculkan talenta digital ekonomi.
”Peluncuran satelit Satria 1 ini merupakan langkah pemerintah untuk mempercepat akses dan kesetaraan infrastruktur digital ekonomi,” katanya.
Studi Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan nilai ekonomi digital Indonesia pada 2022 mencapai 77 miliar dollar AS atau setara Rp 1.150 triliun. Pada 2025, jumlah itu akan hampir berlipat ganda menjadi 135 miliar dollar AS atau setara Rp 2.020 triliun. Saat itu, Indonesia diprediksi menguasai 43 persen ekonomi digital ASEAN.
Tak hanya mendorong ekonomi, kehadiran internet yang lebih baik juga akan meningkatkan layanan pemerintah kepada masyarakat, baik di sektor pendidikan, kesehatan, ataupun layanan publik. Pendidikan virtual juga akan lebih berkembang hingga mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sana.
Peluncuran satelit Satria 1 nanti akan sedikit menambal kebutuhan internet di Indonesia yang semakin besar. Laporan We Are Social pada Januari 2023 menunjukkan ada 212,9 juta orang atau 77 persen penduduk Indonesia menggunakan internet dan 63,51 juta orang (23 persen) belum terhubung ke internet. Selain itu, 167 juta orang (60,4 persen) pengguna media sosial dan 353,8 juta telepon seluler aktif (128 persen).
Jumlah itu dipastikan akan terus membesar dan kebutuhan akan internet berkualitas pun akan semakin naik. Namun, operator telekomunikasi belum mampu memenuhi semua kebutuhan internet itu. Pemerintah melalui Bakti yang menambal kebutuhan itu, khususnya untuk di daerah 3T, juga belum mampu memenuhi semua kebutuhan masyarakat.
Direktur Jenderal Penyelanggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi Wayan Toni Supriyanto mengatakan, kebutuhan Indonesia akan layanan internet satelit hingga beberapa tahun ke depan mencapai 600 Gbps hingga 1 terabit per detik (Tbps). Hadirnya Satria 1 hanya akan memenuhi 150 Gbps kebutuhan yang ada sehingga masih dibutuhkan banyak kapasitas internet satelit.
”Ke depan, konten juga akan berkembang sehingga membutuhkan banyak dukungan infrastruktur,” tuturnya. Untuk memenuhi semua itu, anggaran negara terbatas sehingga perlu dicarikan solusi untuk memenuhi kebutuhan internet masyarakat. Karena itu, hadirnya satelit Satria 2 atau satelit Nusantara 5 pada akhir tahun 2023 diharapkan mampu terus mengurangi kesenjangan kebutuhan internet yang ada.
Arif menambahkan, berdasar survei tahun 2017, layanan internet Satria 1 diperkirakan untuk memenuhi 150.000 titik layanan di daerah 3T. Namun, berdasar perhitungan terbaru tahun 2023, diperkirakan hanya 50.000 titik layanan yang akan dilayani. Namun, rincian 50.000 titik layanan itu belum ditentukan.
Untuk menyediakan terminal atau alat untuk menangkap sinyal internet di 50.000 titik layanan di daerah 3T itu, pemerintah juga akan memenuhinya secara bertahap, yaitu 10.000 terminal pada 2023 dan masing-masing 20.000 terminal pada 2024 dan 2025.
Pengurangan target titik layanan itu terjadi karena sebagian titik layanan sudah terakses internet melalui jaringan lain. Selain itu, pengurangan titik layanan diharapkan mampu meningkatkan kualitas internet yang dirasakan masyarakat sehingga meski di daerah 3T mereka tetap bisa merasakan internet berkecepatan lebih tinggi.