Moderasi Beragama Mesti Mewujud dalam Praktik Sehari-hari
Moderasi beragama yang menjadi program nasional mampu mempromosikan sikap toleransi.
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan moderasi beragama di Indonesia masuk salah satu program prioritas pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Setelah tiga tahun berjalan, substansi dari moderasi beragama mampu diwujudkan dalam praktik keseharian di sejumlah lembaga publik tanpa terikat langsung dengan program nasional moderasi beragama.
Upaya pemerintah untuk menguatkan toleransi dan penghargaan pada keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, seharusnya lebih diarahkan pada praktik-praktik keseharian yang beragam, selama masih sesuai dengan indikator utama dalam moderasi beragama. Sebab, komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, serta penghargaan pada tradisi atau budaya lokal yang menjadi indikator dari moderasi beragama, tetap dapat ditumbuhkan dan dipraktikkan di lembaga publik sesuai dengan kekhasan dan kebutuhan masing-masing-masing.
Evaluasi terhadap pelaksanaan moderasi beragama yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 itu tertuang dari hasil riset International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) berjudul ”Praktik Moderasi Beragama di Lembaga Publik: Studi Kasus Bank Syariah Indonesia (BSI), Perusahaan Listrik Negara (PLN), SMAN 53 Jakarta, dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Sumatera Barat” yang dipaparkan pada Rabu (14/6/2023) di Jakarta. Tampil sebagai pemapar Program Officer INFID Rizka Antika dan Ketua Tim Peneliti Iqbal Ahnaf. Ada pula beberapa penanggap, yakni Konseptor Moderasi Beragama Kementerian Agama Oman Fathurrahman, Pengurus Harian BPET MUI Makmun Rasyid, Direktur Yayasan Cahaya Guru M Mukhlisin, serta Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen Ika Ningtyas.
Iqbal yang juga dosen Universitas Gadjah Mada memaparkan, lembaga publik termasuk badan usaha milik negara (BUMN) dan sekolah negeri telah lama dianggap rentan menjadi basis persebaran gagasan keagamaan intoleran dan ekstrem. Setelah tiga tahun berlangsung, praktik moderasi beragama di lembaga publik di Indonesia diteliti.
Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif pada periode Januari-Maret 2023. Data diambil melalui wawancara terhadap 51 responden (21 perempuan dan 30 laki-laki) dari tingkat pimpinan tertinggi (direksi dan kepala sekolah), pimpinan unit (kepala bidang dan guru), konstituen (pegawai dan siswa), serta ahli. Selain itu, data juga diambil melalui observasi terhadap lingkungan di keempat lembaga tersebut, termasuk pusat-pusat kegiatan sosial keagamaan.
”Secara umum, moderasi beragama dapat diterima tanpa penolakan, baik dari segi pemaknaan maupun praktik kelembagaan. Penelitian ini juga menemukan adanya keselarasan antara praktik kebijakan dan kebudayaan yang ada di empat lembaga dengan indikator moderasi beragama dari Kementerian Agama, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal, meskipun ada yang tidak mengetahui tentang moderasi beragama,” kata Iqbal.
Rizka menjabarkan, di BSI dan PLN, praktik moderasi beragama secara substantif bisa ditemukan dalam menerapkan nilai kerja perusahaan (corporate core values) dan sejumlah langkah strategis untuk mencegah ekstremisme. ”PLN melakukan sentralisasi pengelolaan rumah ibadah, kode etik penceramah keagamaan, dan pengelolaan bantuan sosial. Di BSI kebijakan dress code yang membatasi pilihan mode berpakaian menjadi salah satu langkah instrumental dalam memperkuat moderasi beragama”, ungkap Rizka.
Sementara itu, di lingkungan sekolah negeri, praktik moderasi beragama diterapkan secara sistemik dan terbatas. SMAN 53 Jakarta bisa menjadi contoh praktik baik moderasi beragama tanpa menggunakan label moderasi beragama.
Di sekolah ini, nilai-nilai moderasi beragama seperti toleransi, antikekerasan, dan nasionalisme terlihat pada kultur dan program-program sekolah, seperti Profil Pelajar Pancasila, budaya sekolah damai, pluralitas agama dan jender, baik dalam organisasi kesiswaan maupun pada kegiatan keagamaan yang mengakomodasi budaya lokal. Bahkan, adanya kolaborasi dengan pihak luar, seperti organisasi nirlaba yang peduli terhadap isu toleransi dan perdamaian.
Adapun di MAN Insan Cendekia, madrasah unggulan di bawah Kementerian Agama mempraktikkan moderasi beragama secara lebih formal dan menekankan pada aspek ubudiyah. Moderasi beragama dipraktikkan dengan kegiatan seminar penguatan moderasi beragama setahun sekali, mengirim delegasi untuk mengikuti kegiatan pelatihan moderasi beragama di luar sekolah dan penunjukan Duta Moderasi Beragama.
Baca juga : Penguatan Moderasi Beragama
Kabar baik selanjutnya, penelitian ini tidak menemukan praktik diskriminasi terhadap perempuan dan non-Muslim. Sebaliknya, ditemukan banyak praktik baik terkait dengan kepemimpinan perempuan dan non-Muslim. Selain itu, tidak ditemukan kebijakan pemaksaan pakaian berdasarkan keyakinan agama, khususnya di lembaga yang tidak berbasis agama.
Meski demikian, ujar Iqbal, penelitian tersebut mendapati masih adanya anggapan kritis mengenai moderasi beragama yang selaras dengan klaim organisasi radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bahwa moderasi beragama dapat melemahkan akidah. Anggapan ini ditemukan di antaranya di PLN dan MAN Insan Cendekia.
Nalar penerimaan kritis ini terlihat dari nalar kewaspadaan yang menekankan pada batasan dalam moderasi beragama agar jangan menyentuh akidah dan terbatas pada aspek muamalah (hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan).
Selain itu, masih ditemukannya praktik moderasi beragama yang bersifat negosiatif dan berpotensi menjadi celah masuknya pemikiran radikal. ”Hal ini ditemukan dalam strategi yang menghindari pola konfrontatif, misalnya berusaha merangkul semua kelompok keagamaan. Pola ini lahir dari perspektif perusahaan sebagai 'rumah bersama' sehingga tidak ada larangan terhadap unsur yang berafiliasi dengan HTI,” ungkap Rizka.
Fokus pada substansi
Rizka memaparkan, semenjak ada moderasi bergama ada hal positif tentang promosi toleransi, meskipun masih ada perlawanan dari kelompok intoleran. Sementara itu, perubahan di ranah kultural belum maksimal.
”Ada penafsiran moderasi bergama yang beragam sehingga berdampak pada praktik yang beragam. Meskipun beragam, namun bisa dipraktikkan untuk mewujudkan inklusivisme. Jangan ada perempuan yang dilarang dan dipaksa berjilbab, misalnya. Kita juga jangan membiarkan masyarakat yang hanya mau hidup homogen di tempat tertentu sehingga menjadi bibit intoleransi dan tidak bisa hidup dalam perbedaan,” katanya.
Iqbal menegaskan untuk mewujudkan kebinekaan yang sesuai nilai-nilai Pancasila, jangan terjebak pada program semata. Sebab, sudah lazim terjadi di Indonesia bahwa ketika ada pergantian pemerintahan, program-program seperti moderasi beragama bisa saja tiba-tiba dihentikan.
”Tantangan ke depannya bagaimana memperlakukan moderasi beragama sebagai substansi, bukan program. Karena sebenarnya substansinya bisa berlanjut di jangka panjang dan diterima segmen yang lebih luas. Jadi, kita tidak berdebat di makna dan definisi, tapi memakai indikatornya untuk dapat diterapkan secara beragam di dunia usaha, pendidikan, dan lembaga lainnya,” kata Iqbal.
Baca juga: Praktik Toleransi di Sekolah Bisa Memanfaatkan Berbagai Aspek Layanan Pendidikan
Sementara itu, Oman yang juga Guru Besar UIN Jakarta mengatakan, moderasi beragama sebagai perspektif dan cara pandang. Kementerian Agama merumuskan moderasi beragama agar kehidupan yang penuh toleransi, damai, rukun, dan harmonis dapat diwujudkan. ”Sepakat bahwa untuk mewujudkan toleransi, damai, dan rukun tidak harus pakai moderasi beragama. Bisa (pula) lewat revolusi mental atau Profil Pelajar Pancasila, asal substansi bisa dijalankan,” kata Oman.
Oman sebagai konseptor mengatakan, moderasi beragama ditawarkan sebagai proses yang harus dilakukan untuk mencapai hasil yang selama ini diukur seperti kerukunan beragama. ”Moderasi beragama sesungguhnya cara pandang, sikap dan praktik beragama keseharian di ruang publik. Sebab, beragama tapi kalau ekstrem tidak baik, jadi harus tengah-tengah,” kata Oman.