Memantau Pasien Peritoneal Dialisis Berbasis Digital
Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo mengembangkan aplikasi pemantauan digital. Aplikasi ini menggantikan sistem pencatatan manual yang digunakan pasien peritoneal dialisis.
Penyakit ginjal kronis merupakan salah satu penyakit tidak menular yang kasusnya terus meningkat di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, prevalensi kasus penyakit gagal ginjal kronis meningkat dari 2,0 persen pada tahun 2013 menjadi 3,8 persen pada 2018.
Data Indonesian Renal Registry 2019 menyebutkan, insiden atau kasus baru pasien yang menjalani dialisis atau cuci darah di Indonesia sebanyak 250 kasus per 1 juta penduduk. Sementara prevalensinya mencapai 500 kasus per satu juta penduduk.
Penyakit ginjal kronis merupakan kondisi gangguan fungsi dan struktur ginjal menahun lebih dari tiga bulan yang disertai dengan berbagai gangguan kesehatan lainnya. Seseorang dinyatakan mengalami gagal ginjal apabila fungsi ginjalnya kurang dari 15 persen.
Gejala yang biasa muncul meliputi pembengkakan pada kaki, hipertensi, sesak napas, anemia, serta mual dan muntah. Namun, sebagian besar kasus gagal ginjal terlambat terdeteksi lantaran kurangnya kesadaran masyarakat terhadap tanda dan gejala tersebut. Akibatnya, fungsi ginjal pun memburuk hingga berlanjut menjadi gagal ginjal atau penyakit ginjal kronik stadium lima.
Ketika ginjal gagal untuk berfungsi, seseorang harus menjalani terapi pengganti ginjal. Terdapat tiga terapi yang bisa didapatkan, yakni hemodialisis, peritoneal dialisis, dan transplantasi ginjal.
Peritoneal dialisis atau yang juga disebut CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis) merupakan terapi cuci darah yang dilakukan melalui perut. Berbeda dengan hemodialisis yang harus dilakukan di rumah sakit dengan menggunakan alat, CAPD bisa dilakukan di rumah sehingga pasien tidak harus datang ke rumah sakit untuk menjalani terapi.
Terapi CAPD pun dinilai memiliki tingkat pembiayaan yang lebih efektif dibandingkan dengan terapi hemodialisis. Selain itu, kualitas hidup pasien lebih baik dengan risiko komplikasi yang lebih rendah daripada terapi hemodialisis, baik untuk usia dewasa maupun anak-anak.
Per September 2020, tercatat ada 2.481 pasien CAPD di Indonesia. Terdapat sekitar 83 fasilitas kesehatan yang dapat memberikan layanan CAPD. Meski bisa dilakukan di rumah, pemberian terapi CAPD tetap harus dipantau oleh tenaga kesehatan agar kondisi pasien tetap terjaga dengan baik. Untuk itu, pasien ataupun keluarga pasien harus melaporkan kondisi pasien ketika melakukan CAPD di rumah kepada tenaga kesehatan.
Baca juga: Perlu Pemeriksaan Berkala untuk Deteksi Penyakit Ginjal Kronis
Selama ini, dokumentasi CAPD harian dilakukan secara manual melalui pencatatan di buku harian CAPD. Adapun laporan yang perlu dicatat meliputi waktu dan volume pengisian cairan peritoneal dialisis, waktu dan volume pengeluaran cairan peritoneal dialisis, jumlah cairan, tekanan darah, berat badan, dan catatan penting lainnya. Akan tetapi, penggunaan buku harian CAPD tersebut kurang efektif.
Perawat Dialisis Anak Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Cipto Mangunkusumo Mustaqimah, dalam webinar yang diadakan oleh Indonesia Healthcare Forum, Rabu (7/6/2023), menuturkan, pasien ataupun orangtua sering tidak lengkap mengisi data pada buku harian tersebut. Selain itu, buku tersebut rawan hilang. Ketika harus mengganti buku, stok buku di distributor juga beberapa kali kosong.
”Oleh sebab itu, kami berpikir untuk mengembangkan cara lain agar sistem monitoring pasien CAPD bisa lebih efektif. Pemantauan sangat penting agar ketika ada tanda perburukan bisa segera dirujuk dan ditangani,” tuturnya.
Pencatatan digital
Pengembangan pun dilakukan oleh tim dari RSUP Cipto Mangunkusumo untuk menghasilkan sistem pemantauan berbasis digital yang kini telah dimanfaatkan dengan nama Sistem Informasi CAPD atau SICAPD. Sistem ini dikemas dalam bentuk aplikasi yang dapat digunakan oleh pasien atau keluarga pasien untuk melakukan pencatatan CAPD.
Aplikasi ini juga bisa dimanfaatkan oleh dokter atau perawat untuk memantau hasil pencatatan tersebut. Saat ini, aplikasi monitoring ini sudah tersedia untuk pengguna android maupun iOS.
Pemantauan sangat penting agar ketika ada tanda perburukan, bisa segera dirujuk dan ditangani.
Mustaqimah menyampaikan, aplikasi SICAPD dapat terintegrasi dengan sistem pemantauan lain yang digunakan di fasilitas kesehatan. Data pun dapat terintegrasi antarfasilitas kesehatan. Tidak hanya itu, aplikasi ini juga memungkinkan untuk dilakukan monitoring secara langsung dari tenaga kesehatan kepada pasien. Sebelumnya, pemantauan dan penilaian kondisi pasien hanya bisa dilakukan ketika pasien CAPD mengunjungi fasilitas kesehatan.
Aplikasi SICAPD juga dilengkapi dengan fitur chat atau percakapan yang bisa membantu pasien secara interaktif konsultasi dengan tenaga kesehatan. Hal ini akan amat membantu pasien, terutama yang berada di daerah yang jauh dari fasilitas kesehatan. Kunjungan pasien juga jadi minimal sehingga pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional lebih efisien.
Aplikasi ini pun memiliki fitur unggulan berupa fitur notifikasi. Melalui fitur ini notifikasi akan segera muncul saat pasien mengalami masalah dalam proses CAPD. Dengan begitu, kejadian komplikasi akibat keterlambatan penanganan diharapkan bisa dicegah. Selain untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, aplikasi ini juga dapat membantu mengurangi angka kematian akibat gagal ginjal.
Di Indonesia, sebelumnya hanya ada satu aplikasi untuk monitoring pasien CAPD, yakni PD EZ Web Mobile. Namun, aplikasi yang dikembangkan oleh PT Baxter tersebut belum dilengkapi dengan fitur notifikasi bagi tenaga kesehatan sehingga tenaga kesehatan pun tidak bisa segera merespons pesan dari pasien.
Tampilan
Tampilan pada aplikasi SICAPD dibuat berbeda antara aplikasi yang digunakan untuk tenaga kesehatan dan pasien. Pada aplikasi untuk tenaga kesehatan, pada halaman muka akan berisi informasi aktivitas terkini dari pasien yang dirawat. Pada halaman muka juga akan terlihat jumlah pasien yang menggunakan aplikasi SICAPD beserta rentang usianya.
Di halaman muka itu pula ditampilkan status kesehatan pasien yang dibedakan dengan warna. Warna akan berubah secara otomatis jika ada indikator yang tidak normal pada pasien. Hal itu akan membuat tenaga kesehatan dapat dengan cepat mendeteksi pasien yang memerlukan penanganan segera.
Baca juga: Konsumsi Obat Sembarangan Picu Penyakit Ginjal Kronis
Pada aplikasi untuk tenaga kesehatan disematkan pula menu rekam medis. Pada menu ini tenaga kesehatan dapat memantau semua aktivitas pasien melalui pencatatan yang dilakukan oleh pasien atas tindakan CAPD. Tenaga kesehatan pun bisa melihat foto yang diunggah pasien untuk memantau kondisi cairan yang keluar dari perut dan kondisi bagian luar selang kateter.
Sementara aplikasi yang digunakan pasien dilengkapi dengan empat menu utama, yaitu menu beranda, menu rekam, menu jadwal, dan menu chat. Pada beranda akan berisiko informasi serta video edukasi mengenai CAPD.
Menu rekam disediakan untuk pencatatan serta pendokumentasian tindakan CAPD. Adapun menu jadwal berisi jadwal kunjungan ke fasilitas kesehatan dan menu chat digunakan untuk berkomunikasi dengan tenaga kesehatan.
”Ke depan akan dimanfaatkan sebagai big data (mahadata) untuk layanan kesehatan dengan jaminan keamanan dan privasi. Data itu bisa digunakan untuk pengambilan kebijakan publik yang lebih tepat. Nantinya, kami juga akan mengembangkan penggunaan artificial intelligence (kecerdasan buatan) dan telemedicine (layanan kesehatan jarak jauh) dalam aplikasi ini,” kata Mustaqimah.
Adapun target dari pengguna aplikasi ini adalah sekitar 740.000 pasien penyakit ginjal kronis, 80.000 pasien hemodialisis yang diharapkan bisa beralih ke layanan CAPD, serta lebih dari 3.000 pasien CAPD saat ini. Hal itu sesuai target yang ditetapkan Kementerian Kesehatan, yakni peningkatan pada layanan dialisis peritoneal sebesar 10 persen serta diagnosis penyakit ginjal kronis sebesar 20 persen pada populasi berisiko.
Sebelumnya, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti menuturkan, pengobatan untuk penyakit ginjal kronis membutuhkan pembiayaan kesehatan yang tinggi. Setidaknya, anggaran untuk penyakit ginjal sekitar Rp 1,9 triliun.
Baca juga: Alternatif Terapi Pengganti Kerja Ginjal Mulai Didorong
Maka dari itu, selain meningkatkan layanan pengobatan dan terapi bagi pasien, upaya pencegahan harus lebih masif dilakukan. Kesadaran masyarakat akan gejala penyakit ginjal pun perlu ditingkatkan agar deteksi dini bisa dilakukan sebelum perburukan terjadi.