Regulasi Pengerukan Pasir Laut Dinilai Berpotensi Merusak Laut secara Masif
Greenpeace dan Walhi mendesak pencabutan PP No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Regulasi itu dinilai sebagai akal-akalan pemerintah dan ladang bisnis untuk meraup keuntungan dari ekspor pasir laut.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi lingkungan Greenpeace Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi menolak terlibat dan mendesak pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Regulasi tersebut dinilai kontroversial karena berpotensi menimbulkan kerusakan laut secara masif dan dapat merampas ruang hidup masyarakat.
Terbitnya PP No 26/2023 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Mei lalu mencabut Keputusan Presiden No 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang bertujuan mengendalikan bisnis ekspor pasir laut yang merugikan Indonesia.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan, alasan sedimentasi hanya green washing ala pemerintah. Sedimentasi atau pendangkalan laut merupakan salah satu penyebab kerusakan laut. Sedimentasi laut menimbulkan ekosistem laut menjadi mati, khususnya di daerah-daerah pesisir yang memiliki banyak terumbu karang.
”Regulasi ini merupakan upaya green washing atau akal-akalan pemerintah yang mengatasnamakan pengelolaan laut demi keberlanjutan. Padahal, regulasi ini justru akan menjadi ’pelicin’ oligarki dan para pelaku bisnis untuk meraup keuntungan dari aktivitas ekspor pasir laut,” ujar Afdillah saat konferensi pers secara daring, Kamis (1/6/2023).
Afdillah menilai, pengerukan sedimentasi laut akan mengganggu kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang menggantungkan hidupnya pada laut di wilayah tambang. Menurut dia, jika pemerintah benar-benar ingin memulihkan laut yang mengalami sedimentasi, cara memulihkannya harus dimulai dari darat.
Afdillah memberikan contoh kasus pengerukan pasir laut di Kodingareng, Makassar, pada tahun 2020 yang lebih banyak mendatangkan dampak negatif. Saat itu, banyak nelayan kehilangan area tangkap setelah pasir lautnya dikeruk. Pola arus yang berubah juga dapat menyebabkan abrasi dan menenggelamkan pulau-pulau kecil.
Untuk jangka panjang, kebijakan tersebut juga berpotensi mempercepat dampak bencana iklim. Kemudian, eksploitasi pasir laut akan menyebabkan kelangkaan pangan karena laut merupakan salah satu sumber pangan utama masyarakat.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin menambahkan, pihaknya juga tidak akan pernah bekerja sama untuk proyek yang merusak dan merampas ruang hidup masyarakat. Walhi akan selalu membela hak-hak masyarakat terkait hak atas lingkungan hidup.
Jika pemerintah benar-benar ingin memulihkan laut yang mengalami sedimentasi, cara memulihkannya harus dimulai dari darat.
Menurut Parid, Walhi tidak melihat alasan valid mengapa pengerukan pasir laut harus dilakukan. Pihaknya menilai, beleid ini hanya akan merusak lingkungan laut dan merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pengambilan pasir.
Selain itu, dibukanya ekspor pasir laut akan berdampak pada krisis ekologis di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Banyak pesisir akan terkena abrasi, lalu desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil terancam tenggelam.
”PP tersebut adalah bentuk regulasi yang tidak demokratis. Kami khawatir kebijakan tersebut akan menghilangkan pulau-pulau kecil. Selain itu, sanksi yang diberikan dalam aturan tersebut tidak membuat jera dan justru menguntungkan segelintir pihak,” kata Parid.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebut, pihaknya akan membentuk tim kajian untuk mendukung perizinan eksploitasi dan ekspor pasir laut. Ia mengatakan akan mengajak Walhi hingga Greenpeace terlibat dalam tim tersebut.
Menurut rencana, tim kajian beranggotakan beberapa unsur, meliputi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional, akademisi, dan aktivis lingkungan.
Tim kajian akan diberi mandat untuk melakukan kajian dan memberikan rekomendasi pelaksanaan pengelolaan hasil sedimentasi di laut. Rekomendasi tersebut antara lain menentukan wilayah laut untuk pengambilan pasir, mengatur jumlah pasir yang bisa dikeruk, serta menganalisis kebutuhan pasir untuk digunakan di dalam negeri ataupun untuk diekspor.