Waspadai Eksaserbasi, Gejala Lanjutan dari Paru Obstruktif Kronis
Deteksi serta penanganan penyakit paru obstruktif kronis yang terlambat dapat berisiko menyebabkan perburukan pada pasien berupa eksaserbasi PPOK. Kondisi eksaserbasi ini berisiko menyebabkan disabilitas hingga kematian.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
DEONISIA ARLINTA
Seorang pengunjung melakukan pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri di sela-sela kegiatan hari bebas kendaraan di Jakarta, Minggu (15/12/2019). Dalam kegiatan ini diselenggarakan juga program edukasi terkait pencegahan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
JAKARTA, KOMPAS– Penyakit paru obstruktif kronis seringkali terlambat terdeteksi. Biasanya, pasien baru menyadari gangguan yang dialami ketika kondisi yang dialami bertambah buruk yang ditandai dengan eksaserbasi. Pada kondisi tersebut, penanganan lebih sulit dengan risiko perburukan yang semakin besar.
Anggota Kelompok Kerja Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Triya Damayanti mengatakan, gejala PPOK seringkali diremehkan karena pasien keliru menganggap gejala yang dialami merupakan proses normal dari penuaan atau gejala yang biasa terjadi akibat kebiasaan merokok. Akibatnya, pasien pun tidak segera meminta pertolongan medis sampai akhirnya gejala yang dialami semakin buruk.
“Pada kondisi yang lebih buruk, pasien bisa mengalami eksaserbasi PPOK. Kondisi ini merupakan gejala lanjutan yang ditandai dengan peningkatan sesak napas maupun batuk dan sputum yang memburuk selama kurang dari 14 hari,” ujarnya dalam acara arahan media bertema ”Kenali PPOK, Lindungi Parumu” di Jakarta, Senin (29/5/2023).
Dalam acara tersebut diresmikan pula platform digital EducAIR dan Kampanye Peduli Paru OK yang merupakan hasil kerja sama Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dengan GSK Indonesia. Platform digital tersebut digunakan sebagai sarana edukasi bagi tenaga kesehatan dan masyarakat mengenai risiko PPOK.
DEONISIA ARLINTA
Penandatanganan kerja sama pemanfaatan platform digital EducAIR dan Kampanye Peduli Paru OK dilakukan antara Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dengan GSK Indonesia di Jakarta, Senin (29/5/2023).
Triya menyampaikan, eksaserbasi PPOK juga bisa disertai dengan kondisi napas dengan laju nadi yang semakin cepat. Orang dengan PPOK yang mengalami eksaserbasi menjadi lebih rentan mengalami penyakit lain yang membuat kondisi kesehatannya semakin buruk. Hal itu terutama pada penyakit yang terkait dengan infeksi.
Pada kondisi yang lebih buruk, pasien bisa mengalami eksaserbasi PPOK. Kondisi ini merupakan gejala lanjutan yang ditandai dengan peningkatan sesak napas maupun batuk dan sputum yang memburuk.
Kondisi eksaserbasi PPOK patut diwaspadai. Jika hal ini tidak segera diatasi, jiwa penderita akan terancam. Gejala eksaserbasi yang perlu diperhatikan, antara lain ketidakmampuan untuk mengatur napas, detak jantung menjadi cepat, kuku ataupun bibir yang memucat sebagai tanda kekurangan oksigen, peningkatan produksi lendir, serta demam.
Triya menambahkan, pasien yang sebelumnya pernah mengalami eksaserbasi hingga memerlukan rawat inap akan lebih rentan mengalami eksaserbasi kembali di masa mendatang. Pada pasien PPOK biasanya akan mengalami setidaknya satu kali eksaserbasi. Kondisi eksaserbasi bisa semakin sering terjadi dengan gejala yang lebih berat.
Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Wiwien Heru Wiyono menambahkan, eksaserbasi dapat turut mempercepat penurunan fungsi paru dari pasien PPOK. Pasien akhirnya menjadi sulit melakukan aktivitas fisik, kualitas hidup juga menjadi lebih buruk, serta meningkatkan risiko kematian.
DEONISIA ARLINTA
Salah satu dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan mengarahkan pengunjung untuk melakukan pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri di sela-sela kegiatan hari bebas kendaraan di Jakarta, Minggu (15/12/2019). Dalam kegiatan ini diselenggarakan juga program edukasi terkait pencegahan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
”Setiap kali eksaserbasi PPOK terjadi, itu mungkin akan meninggalkan kerusakan paru permanen dan irreversible (tidak dapat diubah) sehingga lebih sulit bagi pasien untuk bernapas. Gejala yang dialami pasien bisa semakin buruk,” tuturnya.
Deteksi dini
Oleh karena itu, Triya mengatakan, penanganan PPOK sedini mungkin serta deteksi dini menjadi amat penting untuk mencegah terjadinya perburukan. Masyarakat diharapkan tidak abai dengan gejala yang dialami, terutama jika mereka memiliki faktor risiko yang tinggi.
Adapun faktor risiko dari PPOK, yakni merokok, terpapar polusi udara di dalam dan luar ruangan, serta terpapar asap pembakaran yang bisa ditimbulkan dari sampah dan hutan.
”Jika seseorang memiliki faktor risiko tersebut serta mengalami gejala PPOK seperti sesak napas, batuk kronik, mudah lelah, dada sesak, dan mengi sebaiknya segera melakukan pemeriksaan. PPOK bisa terjadi baik pada pria maupun wanita,” kata Triya.
Ia menuturkan, kesadaran akan risiko PPOK sebaiknya juga ditingkatkan pada masyarakat yang bukan perokok. Faktor risiko dari PPOK memang berasal dari rokok. Namun, faktor risiko lain juga perlu diperhatikan. Publikasi dari Jurnal Respirologi Indonesia (JRI) pada 2014 menunjukkan, prevalensi kasus PPOK pada kelompok bukan perokok mencapai 6,3 persen.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Petugas mengukur tekanan darah warga saat menerima pelayanan Pos Binaan Terpadu (Posbindu) di RW 007, Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Senin (16/1/2023).
Dari jumlah tersebut, menurut Triya, perlu adanya perhatian lebih pada kelompok dengan faktor risiko selain merokok dalam penapisan dan deteksi dini PPOK. Itu seperti masyarakat yang bekerja di kawasan pertambangan, pabrik semen, polisi lalu lintas, serta pabrik kimia. Ibu rumah tangga yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak juga perlu dilakukan penapisan risiko PPOK.
Data dari Panduan Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK yang dikeluarkan PDPI Edisi 2016 menyebutkan, prevalensi PPOK di Indonesia mencapai 5,6 persen atau diestimasikan sekitar 8,5 juta kasus. PPOK pun diperkirakan menjadi penyebab utama ketiga kematian di dunia.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril menyampaikan, penanganan PPOK telah masuk dalam salah satu program prioritas dari pemerintah. Kementerian Kesehatan juga telah memasukkan PPOK dalam 14 penyakit yang dilakukan penapisan atau skrining di fasilitas kesehatan primer.
Pengadaan alat spirometri juga telah diupayakan untuk tersedia di seluruh puskesmas. Akan tetapi, keterbatasan modalitas spirometri, khususnya pada kemampuan SDM kesehatan dalam menggunakan alat tersebut yang masih menjadi kendala.
”Kerja sama dan pelibatan semua pihak sangat diperlukan untuk meningkatkan kapasitas dari petugas kesehatan dalam melakukan deteksi dini PPOK. Kita berharap agar upaya pencegahan dan pengendalian PPOK di Indonesia bisa semakin baik,” tuturnya.