Peringatan 25 tahun reformasi tahun ini terasa agak sepi. Momen tahun politik di depan mata mengalihkan perhatian khalayak. Tapi, para perupa punya cara khas untuk mematri noktah sejarah reformasi melalui karya.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·4 menit baca
Salah satu karya bersejarah yang berhasil mendokumentasikan peristiwa reformasi adalah lukisan ”Indonesia 1998: Berburu Celeng” karya seniman Djoko Pekik. Lukisan ini menggambarkan seekor celeng atau babi hutan berkulit hitam yang tertangkap dan digotong oleh dua orang penderita busung lapar.
Celeng gemuk bertaring indah itu tak berdaya diusung dua rakyat jelata menggunakan sepotong bambu. Ribuan mata menjadi saksi peristiwa besar itu.
Djoko Pekik menggambarkan seekor celeng besar tertangkap. Badannya gemuk, besar, dan bulat. Taringnya indah, meninggalkan kesan tentang kemegahan dan kejayaannya.
Akan tetapi, celeng itu tampak terhina dan tersiksa. Kakinya diikat pada bambu, digotong dua orang busung lapar, lambang dari rakyat yang menderita.
Lukisan itu dipamerkan sebagai pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta, 16-17 Agustus 1998, untuk memperingati pesta proklamasi (Kompas, Selasa 11 Mei 1999).
Budayawan Sindhunata merefleksikan, dengan lukisan tersebut, orang boleh membaca betapa rumitnya reformasi. Celeng itu adalah simbol bagi keserakahan nafsu manusia. Reformasi telah merobohkan kekuasaan politik yang dikuasai oleh keserakahan nafsu itu.
”Ibaratnya itu seperti rakyat telah berhasil menangkap celeng. Namun, dengan tertangkapnya celeng itu, celeng-celeng lain berkeliaran dan merajalela di era reformasi ini. Setelah reformasi masih banyak sekali ’celeng-celeng’ yang rakus, suka korupsi, suka menguasai, dan menang sendiri,” ujar Sindhunata di acara Pekik’an Jejeran Djoko Pekik karya perupa Dunadi, Senin (29/5/2023) malam, di Taman Yakopan, Kawasan Omah Petroek, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta.
Djoko Pekik dengan karya monumentalnya, ”Indonesia 1998: Berburu Celeng ” telah menjadi penanda zaman yang akan terus-menerus mengingatkan kita untuk tetap waspada pada godaan nafsu-nafsu keserakahan.
Pesan itulah yang keluar dari karya Djoko Pekik. Selayaknya, pesan itu terus dihidupi, supaya orang berhati-hati terhadap ”celeng-celeng”, simbol bagi nafsu-nafsu keserakahan yang terus menjalar hingga sekarang.
Itulah salah satu alasan di balik peletakan patung Djoko Pekik karya Dunadi di Taman Yakopan, sebuah tempat yang khusus didedikasikan untuk penghormatan terhadap almarhum Jakob Oetama, tokoh pers pendiri Kompas Gramedia.
Beberapa waktu lalu, Djoko Pekik meminta secara langsung kepada Dunadi untuk dibuatkan patung sosok dirinya. ”Saya langsung menyanggupinya. Saya datang ke rumah Pak Pekik, memotret secara detail beliau untuk proses pembuatan patung,” kata Dunadi.
Menurut Dunadi, pelukis kelahiran 2 Januari 1937 itu melalui karya-karya lukisan bertema celeng mampu menyampaikan kritik yang sangat vokal. ”Pak Pekik adalah pelukis luar biasa yang layak untuk diabadikan,” ucapnya.
Proses pembuatan patung Djoko Pekik membutuhkan waktu 2,5 bulan. Patung itu kini diletakkan di samping patung ”Berburu Celeng” karya Pramono. Patung Djoko Pekik yang tengah duduk tampak santai di samping dua lelaki busung lapar dengan celeng buruan di pikulan pundak mereka.
Dunadi merupakan pematung kawakan lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia Yogyakarta) 1982, seangkatan dengan seniman Butet Kartaredjasa dan dosen ISI Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo. Dunadi terkenal dengan karya-karya patungnya yang berukuran jumbo. Salah satu karya patungnya berdiri megah di halaman Kementerian Pertahanan, yaitu patung proklamator Soekarno yang tengah menunggang seekor kuda. Ia juga membuat patung Bung Karno di depan Gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
Lukisan ”Indonesia 1998: Berburu Celeng” karya Djoko Pekik banyak direspons oleh seniman, budayawan, dan pelaku budaya dalam berbagai wujud. Menyambut lukisan tersebut, Sindhunata mengeluarkan sebuah buku berjudul Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka (1999), pematung Pramono mewujudkan lukisan itu menjadi patung tiga dimensi pada 2013. Sementara itu, penyanyi Encik Sri Krishna membunyikan lukisan itu menjadi sebuah lagu bernuansa rampak berjudul ”Celeng Dhegleng” (Celeng Gila).
Dalam lirik lagunya, Encik mengutip kata-kata almarhum dalang Ki Manteb Sudharsono ketika mementaskan pergelaran wayang kulit semalam suntuk di pembukaan pameran lukisan ”Indonesia 1998 : Berburu Celeng” di Bentara Budaya Yogyakarta 25 tahun silam. Ki Manteb di akhir pentas berteriak: ”Lengji, lengbeh. Celeng siji, celeng kabeh!” (Satu celeng, semuanya celeng!)
Ingin terus melukis
Penahtaan patung Djoko Pekik di Taman Yakopan dirayakan dengan meriah. Perupa Ki Ampun Cermomimik-o mementaskan ”Dlemingan Celeng”; pelawak Abah Kirun, Marwoto Kawer, dan Srundeng menyuguhkan ”Jula-juli Kebudayaan”; grup Kenya Wanduk Mamok Cs menampilkan tari ”Celeng Dhegleng”; pentas Hip Hop ”Ring Satu” Yogyakarta bersama Shoimah, dan ditutup dengan pergelaran wayang kulit lakon ”Patih Celeng Gugur”.
Didampingi Sindhunata, Dunadi, Kirun, dan Marwoto, Djoko Pekik memotong tumpeng sebagai penanda pembukaan selubung merah patung dirinya. ”Aku arep terus nglukis sakmampuku (aku akan terus melukis semampuku),” ujar Djoko Pekik dari atas kursi rodanya.
Penampilan serba celeng ini menggambarkan bagaimana ke depan kita semua masih dihadapkan pada aneka tantangan akan hadirnya ”celeng-celeng” kehidupan. Djoko Pekik dengan karya monumentalnya, ”Indonesia 1998: Berburu Celeng” telah menjadi penanda zaman yang akan terus-menerus mengingatkan kita untuk tetap waspada pada godaan nafsu-nafsu keserakahan.