Pendekatan One Health untuk Atasi Resistensi Antimikroba
Penanggulangan resistensi antimikroba yang menjadi pandemi senyap selama ini masih menghadapi banyak tantangan. Koordinasi dan sinergi berbagai pihak sangat diperlukan.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Resistensi antimikroba menjadi penyebab utama kematian akibat penggunaan antibiotik yang tidak bertanggung jawab di seluruh dunia. Pendekatan one health atau kesehatan terpadu untuk mengatasi resistensi antimikroba dibutuhkan demi menyeimbangkan serta mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem secara berkelanjutan.
Antibiotik seharusnya digunakan untuk menghambat penyakit yang disebabkan bakteri, bukan virus atau jamur. Sayangnya, masih banyak masyarakat, termasuk tenaga kesehatan, yang salah menggunakan antibiotik. Hal ini menyebabkan terjadinya resistensi antibiotik yang berdampak luas ke banyak sektor, seperti kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Harry Parathon mengatakan, saat ini, bakteri semakin mudah menjadi resisten atau kebal terhadap antibiotik. Hal ini dipicu oleh penggunaan yang tidak tepat dan pemakaian yang berlebihan.
”Jika bakteri menghasilkan enzim extended-spectrum β-lactamases (ESBL), bakteri menjadi sangat kebal terhadap antibiotik generasi tiga. Padahal, itu merupakan antibiotik yang paling tinggi. Antibiotik yang lebih tinggi dari itu, ketersediaannya sedikit sekali,” ujar Harry pada acara Workshop Jurnalis ”Pandemi Senyap di Depan Mata” di Jakarta, Sabtu (27/5/2023).
Dengan semakin cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi bakteri, diperkirakan pada 2050, kematian akibat resistensi antibiotik di dunia mencapai 10 juta jiwa per tahun. Sementara di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada 2017, angka kematian terkait resistensi sebesar 700.000 kasus kematian per tahun.
Berdasarkan kajian yang diterbitkan di jurnal The Lancet pada 2022, Meticillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) atau bakteri Staphylococcus aureus yang menjadi kebal terhadap antibiotik jenis metisilin di Indonesia, mencapai 40 sampai 50 persen. Sementara bakteri E coli yang resisten terhadap sefalosporin mencapai 70-80 persen. Selain itu, Klebsiella pneumoniae yang resisten terhadap sefalosporin generasi ketiga sebesar 70-80 persen.
Menurut Harry, perlu ada koordinasi dan perbaikan yang dapat meminimalikan resistensi dengan sinergi antara kementerian, lembaga, dan media. Koordinasi yang dilakukan dapat berupa upaya seperti pengembangan program strategi, pengalokasian anggaran, peningkatan kewaspadaan, optimalisasi penggunaan antibiotik primer, perubahan perilaku tenaga kesehatan, dan perubahan perilaku masyarakat sehingga resistensi antimikroba terkendali.
”Seperti di puskesmas, di sana belum ada regulasi soal pemberian antibiotik. Tetapi, draf yang mengatur itu sudah ada dan akan terus dimatangkan. Jika regulasinya sudah siap, akan disosialisasikan ke puskesmas di Indonesia yang jumlahnya 10.000,” tutur Harry.
Koordinator Pengawasan Keamanan Produk Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementerian Pertanian Imron Suandy mengungkapkan, tantangan lain yang dihadapi dalam menanggulangi resistensi antimikroba yaitu sulitnya mengembangkan antibiotik baru. Modal yang dikeluarkan untuk memproduksi antibiotik sekitar 1 miliar dollar AS, namun bakteri cepat menjadi resisten dalam hitungan bulan sehingga membuat pengembangan antibiotik baru tidak menguntungkan.
Selain itu, terdapat kesenjangan ketersediaan antibiotik baru antara negara maju dan berkembang. Negara-negara berkembang tidak memiliki stok antibiotik, padahal obat ini sangat dibutuhkan di negara-negara dengan penghasilan menengah ke bawah.
”Negara seperti Amerika Serikat mungkin tidak masalah soal ketersediaan antibiotik baru, Tapi, kematian global akibat resistensi antibiotik pada 2019 paling banyak terjadi di negara berpenghasilan rendah,” ucap Imron.
Kesenjangan ketersediaan antibiotik baru tersebut pada akhirnya berdampak pada kondisi ekonomi dan tingkat kematian di suatu negara. Ke depan, pola resistensi antibiotik diprediksi akan semakin beragam. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi dengan pendekatan one health.
Kesehatan terpadu atau one health menjadi suatu pendekatan untuk menanggulangi resistensi antimikroba. Konsep ini memastikan seluruh pemangku kepentingan dilibatkan dalam menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Pendekatan mencoba menyelesaikan persoalan resistensi antimikroba di sektor kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara bersamaan.
Konsultan Komunikasi World Organisation for Animal Health (WOAH) Vida A Parady menegaskan, solusi dengan pendekatan one health sangat dibutuhkan karena resistensi antimikroba berkaitan antarsektor. Pengetahuan masyarakat soal resistensi antimikroba juga perlu dibangkitkan.
”Tidak bisa lagi dikotak-kotakkan, harus dengan pendekatan yang sama karena saling berkaitan, apalagi saat ini ada sektor lingkungan. Perlu ada aksi nyata, tidak sekadar kampanye,” tutur Vida.
Antibiotik seharusnya digunakan untuk menghambat penyakit yang disebabkan bakteri, bukan virus atau jamur.
Langkah strategis mengatasi resistensi antimikroba telah diupayakan pemerintah. Salah satunya, mengatur penggunaan antibiotik dengan rasional di rumah sakit. Selain itu, menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) 2020-2024 dengan pendekatan one health.
Kemudian, meningkatkan pengetahuan dan bukti ilmiah melalui surveilans dan penelitian. Mengurangi kejadian infeksi melalui tindakan sanitasi, higienis, serta pencegahan dan pengendalian infeksi juga dilakukan. Upaya lainnya adalah mengoptimalkan, mengawasi, dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran peredaran dan penggunaan antimikroba yang tidak sesuai standar pada manusia, hewan, dan lingkungan.