Merancang Kebijakan Pendidikan yang Fleksibel dan Relevan dengan Masa Depan
Pendidikan perlu mengantisipasi perubahan yang cepat di dunia kerja. Salah satu caranya adalah dengan tidak menyeragamkan model pendidikan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan kebutuhan lapangan kerja memerlukan kebijakan pendidikan yang fleksibel dan relevan dengan masa depan. Dengan tidak menyeragamkan model pendidikan, potensi siswa dapat dioptimalkan lewat berbagai metode, baik melalui jalur formal, informal, maupun nonformal.
Perubahan yang sangat cepat, salah satunya dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, memungkinkan apa yang dipelajari saat ini akan ditinggalkan karena tidak diperlukan di masa mendatang. Oleh karenanya, kebijakan pendidikan dituntut lebih terbuka dengan tidak hanya mengandalkan pendidikan formal.
”Arah kebijakan pendidikan ke depan perlu dirancang lebih fleksibel dan relevan dengan masa depan,” ujar Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam seminar ”Masa Depan Pendidikan Nasional: Tinjauan Strategi dan Kebijakan” yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, di Jakarta, Selasa (23/5/2023).
Abdul mengatakan, dalam merancang arah kebijakan itu, pemerintah harus membuat standar kompetensi untuk dipenuhi peserta didik. Namun, penekanannya bukan pada hard skill atau keterampilan teknis, melainkan soft skill yang menyentuh aspek sosial, spiritual, dan kultural.
”Kalau hanya hard skill, kita akan senantiasa tertinggal karena itu teknis. Ini bisa saja dipelajari lewat kursus. Sementara soft skill harus lewat pendidikan karena berhubungan dengan mental dan kepribadian,” katanya.
Menurut Abdul, soft skill sangat membantu untuk beradaptasi dengan perubahan. Sebab, seseorang bisa mentransformasikan berbagai keterampilan pada situasi yang berubah-ubah meskipun tidak diajarkan di sekolah.
Ia pun mengingatkan pentingnya untuk tidak menyeragamkan model pendidikan. Sebab, pendidikan mengamanatkan jalur formal, informal, dan nonformal.
Jalur formal merupakan pendidikan berjenjang yang diterapkan di sekolah. Adapun jalur informal berbasis keluarga yang saat ini masih lemah dan kurang diperhatikan.
”Nonformal ini berbagai macam, seperti pelatihan dan kursus. Kalau butuh ijazah, bisa ikut penyetaraan. Model pendidikan tidak harus disamakan, tetapi perlu diakomodasi untuk dioptimalkan,” ujarnya.
Kesenjangan pendidikan
Salah satu tantangan dunia pendidikan Tanah Air adalah akses pendidikan yang belum merata. Hal ini turut dipengaruhi ketimpangan pendanaan, fasilitas, serta kuantitas dan kualitas guru.
Menurut Abdul, kebijakan pendidikan semestinya tidak diasumsikan bagian dari otonomi daerah. Sebab, kemampuan pendanaan setiap daerah tidak sama, termasuk dalam mengalokasikan kebutuhan guru.
Hal ini juga untuk mencegah potensi saling lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. ”Misalnya ada daerah kekurangan guru dan daerah lain kelebihan guru. Jika semua kewenangannya di pusat, bisa menugaskan guru di mana pun sesuai kebutuhan sehingga lebih merata,” ucapnya.
Salah satu tantangan dunia pendidikan Tanah Air adalah akses pendidikan yang belum merata. Hal ini turut dipengaruhi ketimpangan pendanaan, fasilitas, serta kuantitas dan kualitas guru.
Penasihat Persatuan Keluarga Besar Taman Siswa Darmaningtyas menuturkan, upaya mengatasi ketimpangan layanan pendidikan dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, untuk wilayah yang jauh dari sekolah negeri dan belum mempunyai sekolah swasta, pemerintah dapat mendirikan sekolah di lokasi tersebut.
Kedua, jika di kawasan itu sudah ada sekolah swasta, pemerintah dapat mengoptimalkannya dengan menyalurkan guru yang diperbantukan. Selain itu, membantu operasional melalui biaya operasional pendidikan (BOP).
”Sekarang ini bantuan untuk sekolah swasta hanya mengandalkan BOS (bantuan operasional sekolah) yang bergantung jumlah murid. Di daerah terpencil dengan murid sedikit, tentu sekolah sulit berkembang. Pemerintah harus mengintervensi. Jika tidak, kesenjangannya semakin parah,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Nisa Felicia menyebutkan, Indonesia butuh peta jalan untuk membenahi pendidikan yang lebih merata. Bukan sekadar akses, melainkan juga jaminan mutu pendidikan berkualitas di sekolah.
”Antara akses dan kualitas merupakan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Hal ini sudah menjadi komitmen bangsa yang tertuang dalam undang-undang,” ujarnya.
Direktur Perkumpulan Strada Odemus Bei Witono menuturkan, masyarakat perlu difasilitasi untuk mengakses modernitas pendidikan. Namun, akar budaya bangsa tidak boleh ditinggalkan dan tetap diajarkan di tengah berbagai kemajuan.