Potret Pascareformasi dalam ”Indonesia Kini, 25 Tahun Peristiwa Mei 1988”
Para perupa menyuguhkan gambaran kehidupan berbangsa dan bernegara pascareformasi 1998 lewat karyanya di Bentara Budaya Jakarta. Pameran ini juga sekaligus memperingati Bulan Menggambar Nasional.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 59 perupa menampilkan 60 karya dalam Pameran Drawing Eksperimental ”Indonesia Kini, 25 Tahun Peristiwa Mei 1988” di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (19/5/2023). Karya-karya yang menampilkan potret pascareformasi tersebut merupakan bentuk kebebasan perupa dalam menggambarkan situasi negara saat itu.
Di BBJ, pameran digelar 19-29 Mei 2023. Tidak hanya di Jakarta, pameran juga digelar di Bentara Budaya Yogyakarta bertajuk ”Kita Berteman Sudah Lama” pada 20-25 Mei 2023.
Kurator Bentara Budaya, Sindhunata, menuturkan, pameran ini digelar demi mengingat mahalnya harga reformasi yang direfleksikan hingga hari ini. Meletusnya reformasi yang disertai kerusuhan Mei 1998 juga menyasar kelompok etnis tertentu sebagai korban kekerasan.
”Kita seakan lupa dengan sekian banyak mahasiswa dan rakyat yang menjadi korban. Karena itu, seni rupa dan beragam ekspresi lain yang dihadirkan dalam pameran dimaknai sebagai pemicu kreativitas dan sumbangan untuk hidup berbangsa,” ujar Sindhunata secara tertulis, Jumat (19/5/2023).
Sindhunata menjelaskan, seluruh karya pameran merupakan bentuk jiwa kebebasan sebagai cita-cita reformasi. Gambar-gambar itu diharapkan mampu membingkai kerja dan kreasi arah gambaran tersebut, yakni ke sebuah pesta kegembiraan, sukacita, persaudaraan, pertemanan, dan kemerdekaan.
Gambaran pascareformasi terlihat pada lukisan berjudul ”Balada Demonstran dan Pinokio” karya perupa, penyair, sekaligus jurnalis Yusuf Susilo Hartono. Lukisan berukuran 140 cm x 140 cm itu menggambarkan situasi Indonesia yang dipenuhi kebohongan para pemimpin dan pelayan rakyat saat ini.
”Waktu itu Presiden Soekarno memiliki trisakti, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Situasi sekarang banyak pihak yang berusaha menghancurkan itu,” tutur Yusuf sebelum pameran dibuka.
Kita seakan lupa dengan sekian banyak mahasiswa dan rakyat yang menjadi korban.
Lukisan itu berisi tiga orang yang disebut sebagai demonstran, pencipta trisakti (Presiden Soekarno), serta pinokio dengan hidung panjang tengah menginjak pencipta trisakti tersebut. Demonstran dalam lukisan itu digambarkan sebagai tukang teriak pada masa reformasi yang juga merupakan rakyat biasa. Seiring berjalannya waktu, rakyat biasa itu berubah menjadi wakil (rakyat) yang saat ini diartikan sebagai mereka yang duduk di kursi pemerintahan.
”Lihat kondisi Indonesia saat ini, kita tidak lagi mandiri politik, mandiri ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Para pemilik kekuasaan semakin senang berbohong. Saat ini, pemegang trisakti itu dianggap sebagai ancaman bagi kelompok pinokio yang ingin mempertebal kantong, lewat berbagai peraturan yang bolong-bolong,” ujar Yusuf.
Di sebelah lukisan yang menggambarkan situasi pascareformasi, terdapat sketsa on the spot saat dirinya berada di lokasi peristiwa Mei 1998 yang hingga kini menjadi arsip penting baginya. Situasi kerusuhan saat ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR pada 19 Mei 1998 tergambar dengan tinta hitam. Tidak hanya itu, dirinya juga menggambar seorang tentara di atas tank tempur.
Kebebasan berpendapat
Bulan Mei 2023 menjadi momentum penting untuk memeringati 25 tahun reformasi Indonesia sekaligus Bulan Menggambar Nasional. Kilas balik sejarah merujuk pada 1998, ketika runtuhnya Orde Baru menuju tatanan baru reformasi. Aspirasi atas demokrasi, kemerdekaan berpendapat, dan keadilan masyarakat dituangkan dalam seni lintas bidang.
General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri mengutarakan soal revolusi teknologi informasi yang mengembangkan ruang baru, yaitu media sosial. Saat ini masyarakat menemukan ruang terbuka untuk berbagi beragam informasi serba cepat dan tidak terbatas. Namun, nyatanya ruang publik ini menimbulkan dilema serius, terutama terkait pemanfaatan dan dampaknya yang sulit dikendalikan.
”Semua kelompok leluasa menggunakan media sosial. Ada saja kelompok yang sengaja menyebarkan kabar bohong atau berita palsu demi meraih kepentingan tertentu. Terlebih, kini medsos menjadi sarana kampanye yang efektif sehingga muncul gejala post truth atau kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran,” kata Ilham.
Salah satu karya lukis yang juga dipamerkan berjudul ”Kebebasan Berbicara” karya Fitrarina mengangkat tema kebebasan berbicara yang membelenggu pada masa reformasi. Namun, kini situasinya berbeda. Setiap orang dapat dengan bebas menyuarakan hal yang dianggapnya benar hingga tidak benar sekalipun.
”Dalam lukisan itu saya menggambarkan orang berbicara dengan toa, jempol bertoa, ponsel bertoa, serta laptop bertoa. Kemajuan teknologi yang sangat pesat membuat manusia lebih mudah menyampaikan pendapat sampai kebablasan, merundung, berbohong, omong kosong, dan memaki. Padahal, manusia dapat lebih bijak dalam berpesan dan tidak berlebihan,” kata Fitrariana.