”Staycation”, Ancaman Terselubung Perempuan di Dunia Kerja
Kekerasan seksual di dunia kerja hingga kini masih menjadi fenomena gunung es. Relasi kuasa yang kuat yang dimiliki atasan dan lemahnya posisi tawaran perempuan pekerja membuat kasus kekerasan seksual jarang terungkap.
Selama dua pekan terakhir istilah ”staycation” menjadi salah satu topik yang ramai diperbincangkan di media sosial. Topik ini muncul, menyusul sejumlah cuitan di twitter tentang adanya karyawati perusahaan yang menginap di hotel bersama atasan, sebagai syarat perpanjangan kontrak kerja.
Perbincangan soal ”staycation”semakin menarik perhatian publik setelah Sabtu (6/5/2023) pekan lalu, AD, karyawati sebuah perusahaan di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, melaporkan atasannya ke Kepolisian Resor Metro Bekasi.
AD merupakan karyawati yang status kontraknya diperpanjang setiap tiga bulan. Pada 13 Mei 2023 mendatang, kontrak kerjanya akan berakhir. AD sudah bekerja hampir enam bulan di perusahaan tersebut.
”Korban melapor ke polisi karena tindakan-tindakan atasannya memang dirasakan sudah tidak menghargainya sebagai perempuan, dan dikhawatirkan akan berlanjut,” ujar Slamet, salah satu penasihat hukum AD, Selasa (9/5/2023).
Korban melapor ke polisi karena tindakan-tindakan atasannya memang dirasakan sudah tidak menghargainya sebagai perempuan, dan dikhawatirkan akan berlanjut.
Sejauh ini baru satu korban yang melaporkan kasus ”staycation”. Namun, diduga kasus”staycation”sudah menjadi fenomena gunung es, mengingat sistem kerja di perusahaan yang memberlakukan sistem kontrak. Sistem ini membuat perempuan pekerja rentan menjadi korban kekerasan seksual dari atasan.
Baca juga : Saatnya Wujudkan Penguatan dan Perlindungan Perempuan Pekerja
Berbagai penelitian dan kajian yang dilakukan sejumlah lembaga menemukan adanya kerentanan perempuan pekerja terhadap pelecehan dan kekerasan seksual karena relasi yang kuat dari atasan kepada perempuan pekerja. Kekerasan seksual menjadi ancaman terselubung bagi perempuan pekerja, apalagi perempuan pekerja dengan sistem kontrak.
Dari survei dan kajian Perempuan Mahardhika tentang pelecehan seksual pada buruh garmen perempuan pada tahun 2017, ditemukan sejumlah karyawati yang mengaku pernah diajak dan dipaksa berhubungan seksual oleh atasannya.
”Kami menemukan bahwa ada rasa takut untuk kehilangan pekerjaan yang menyebabkan buruh perempuan tidak melaporkan pelecehan yang dialaminya,” papar Mutiara Ika, Ketua Perempuan Mahardhika.
Ia mencontohkan, kasus yang dialami JM, perempuan pekerja berusia muda, yang bekerja semenjak usia 17 tahun di Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, sebagai operator jahit. JM pernah didekati atasannya dan diajak kencan dengan tawaran menggiurkan, seperti kontrak lanjutan dan jabatan.
Dalam keseharian, sang atasannya tidak jarang memanfaatkan posisi kerja untuk menyentuh dan menggoda JM. Satu saat, ketika JM menolak ajakan kencan dari atasan, sang atasannya marah dan dampaknya ketika dia membuat kesalahan kecil dia dipaksa mengundurkan dan diputus kontrak.
Lemahnya posisi tawar
Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar menilai, adanya oknum perusahaan yang mensyaratkan staycation kepada karyawati sebagai syarat agar kontrak kerja diperpanjang bukan hanya kejahatan seksual di dunia kerja, melainkan juga pelanggaran hak asasi manusia bagi perempuan pekerja.
Kondisi tersebut juga menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar pekerja kontrak dalam hubungan industrial, terutama perempuan. Berlanjut tidaknya kontrak kerja sangat bergantung pada pertimbangan subyektif majikan atau pimpinan.
Selain rentan terhadap kekerasan seksual, lemahnya posisi perempuan pekerja kontrak juga membuat mereka rentan mengalami pelanggaran upah minimum, jaminan sosial, keselamatan dan kesehatan kerja, tunjangan hari raya, hingga pembayaran kompensasi kontrak kerja ketika kontrak kerja jatuh tempo.
Baca juga : G20 Perlu Perhatikan Perlindungan Perempuan Pekerja Informal
Dengan status kontrak, pekerja berada pada situasi relasi kuasa yang sangat timpang. Meskipun mengalami pelanggaran, mereka takut untuk protes karena akan diputus hubungan kerja.
”Tindakan oknum atasan yang mensyaratkan staycation kepada karyawati sebagai syarat agar kontrak kerja diperpanjang merupakan hal yang sangat mungkin terjadi, dan menurut informasi dari beberapa teman, hal ini memang terjadi,” ujar Timboel.
Sebelum kasus ”staycation”mencuat, sebenarnya sudah banyak perempuan pekerja yang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Namun, umumnya mereka berada dalam posisi tertekan dan sulit sehingga kasus tidak bisa terungkap. Perempuan pekerja juga mengalami kesulitan melapor dengan perlindungan yang layak.
”Polisi harus membuka tabir jahat oknum atasan yang memang memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan pelecehan dan kejahatan seksual terhadap pekerja perempuan,” ujar Timboel.
Kepolisian dan Pengawas Ketenagakerjaan juga harus menjamin perempuan pekerja yang berani berbicara atas masalah staycation tersebut untuk tetap bisa bekerja di perusahaan. Perlindungan juga harus diberikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan polisi bagi perempuan korban.
Bebas kekerasan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, fenomena ini merupakan bentuk pelecehan terhadap perempuan yang sangat merendahkan harkat dan martabat manusia, serta bertentangan dengan upaya menciptakan ruang kerja yang ramah bagi perempuan.
Menurut Darmawati, setiap perempuan pekerja di Indonesia berhak dilindungi dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan dalam ketenagakerjaan. Karena itu, para perempuan pekerja diminta segera melaporkan jika melihat, mendengar, ataupun mengalami kekerasan seksual di Layanan SAPA 129 melalui Whatsapp 08111-129-129, atau melapor ke posko aduan serikat pekerja di perusahaan masing-masing.
Zona kerja yang aman dan bebas dari kekerasan serta pelecehan seksual harus diwujudkan sebagai bentuk dan komitmen nyata pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada perempuan.
”Jangan sampai terjadi pembiaran dan terjadi kasus berulang, baik dalam satu perusahaan yang sekarang sedang bermasalah, tetapi juga menjadi sistem peringatan dini bagi perusahaan maupun tempat kerja lainnya,” ujar Bintang.
Baca juga : Pemkab Bekasi Telusuri Isu Eksploitasi Seksual Pekerja Perempuan di Cikarang
Karena itu, Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendukung langkah Kemnaker untuk melakukan pendalaman kasus tersebut dan melakukan tindakan tegas jika ditemukan fakta-fakta ada oknum di perusahaan yang melakukan ”staycation” sebagai syarat perpanjangan kontrak.
”Komnas Perempuan siap menerima pengaduan korban sebagai bentuk dukungan bagi korban,” ujar Tiasri Wiandani, Komisioner Komnas Perempuan.
Terungkapnya kasus ”staycation”seharusnya menjadi pintu masuk bagi pihak perusahaan dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk membongkar praktik-praktik relasi kuasa di dunia kerja yang menyebabkan perempuan pekerja menjadi korban kekerasan seksual.
Mencuatnya kasus-kasus kekerasan seksual semakin menunjukkan betapa pentingnya implementasi dari Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) agar tidak ada ruang bagi pelaku kekerasan seksual untuk bergerak. Kekerasan seksual di dunia kerja hanyalah salah satu fenomena kekerasan seksual yang mengancam perempuan dan anak-anak di Tanah Air di berbagai ruang dan tempat.
Oleh karena itu, pihak kepolisian juga harus cermat merespons hal ini, jangan sampai polisi akan menghentikan penyelidikan dan penyidikan perbuatan jahat ini karena adanya pengakuan ”suka sama suka” dari kedua belah pihak. Faktanya, pekerja perempuan mengalami tekanan yang sangat kuat karena mereka takut tidak diperpanjang kontraknya.
”Saya berharap pekerja perempuan berani mengungkap masalah ini, dan polisi segera memproses hukum kepada oknum atasan yang melakukan tindakan ini,” tambah Timboel.
Kemudian, polisi dan Pengawas Ketenagakerjaan juga mesti menjamin pekerja perempuan yang berani mengungkapkan diri atas masalah ”staycation” ini untuk tetap bisa bekerja di perusahaan. LPSK dan polisi harus memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan yang berani mengungkap masalah ini.
Di sisi lain, UU TPKS harus mampu mengungkap persoalan staycation ini. Bagi perempuan pekerja yang sudah dicoba ”staycation”, tetapi belum terlaksana, tetap harus ditindaklanjuti karena itu sudah masuk pidana percobaan yang mengacu pada Pasal 53 KUHP.
Momentum kasus ini pun harus digunakan oleh Pengawas Ketenagakerjaan untuk merespons pelanggaran hak-hak normatif pekerja yang selama ini terjadi di perusahaan. Pihak pengawas ketenagakerjaan harus menjamin kerahasiaan pekerja pelapor atas laporan yang disampaikan.
Dengan pemberitaan ini tentunya serikat pekerja/serikat buruh pun harus lebih responsif atas persoalan ini dan berani mengungkap apabila ada dugaan terjadinya masalah ini di perusahaan. Pekerja perempuan harus diedukasi dan diberdayakan oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk berani mengadukan apabila ada persyaratan ”staycation” untuk perpanjangan kontrak kerja.