Takut Menjadi Tua
Suka tidak suka, kita semua akan menua. Namun, banyak orang tidak siap dan takut menua. Padahal, cara pandang dan pikiran positif bisa membuat penuaan lebih bermakna hingga membuat hidup lebih sehat dan sejahtera.
Tubuh manusia pasti akan menua. Namun, tidak semua orang siap menjadi tua. Batas usia ”tua” akan sangat bergantung pada lingkungan tempat kita tinggal dan juga cara pandang manusia tentang penuaan. Pandangan dan sikap positif dalam hidup, termasuk dalam memandang penuaan, bisa membantu kita menunda datangnya penuaan secara mental.
Secara umum, paruh baya dianggap sebagai rentang usia antara 40 tahun dan 60 tahun. Di Indonesia, usia 45 tahun sampai 59 tahun dianggap sebagai pralanjut usia atau pralansia. Artinya, secara administratif, seseorang disebut tua jika berumur lebih dari 60 tahun. Namun, dalam pergaulan sosial, batas usia tua sangat bervariasi, bergantung pada kondisi dan penampilan fisik atau dengan siapa Anda bergaul.
Tak hanya itu, batas usia tua juga akan ditentukan oleh cara pandang seseorang pada usia berapa dia menganggap usia tua.
Studi William J Chopik dan rekan di Frontiers Psychology, 1 Februari 2018, menemukan orang berumur 20-an tahun sampai 30-an tahun menganggap usia 40 tahun sebagai usia awal paruh baya dan tua dimulai pada umur 62 tahun. Sebaliknya, orang berumur lebih dari 65 tahun tidak menganggap diri mereka tua sampai berumur 71 tahun.
Studi itu secara jelas menunjukkan bahwa hampir semua orang tidak suka menganggap diri mereka tua. Saat memasuki usia 40 tahun, orang lebih suka menganggapnya sebagai tahapan kehidupan baru karena life begin at 40. Sementara mereka yang berumur 70-an tahun dengan asupan makanan dan kesehatan yang baik akan senang menganggap dirinya masih berada di rentang usia paruh baya.
Keengganan seseorang disebut tua, seperti dikutip dari BBC, 22 Juli 2022, juga dilakukan untuk menghindari stigma masyarakat terhadap orang tua. Dalam banyak budaya, orang tua selalu diidentikkan dengan sosok yang lemah, tidak banyak bergerak, sakit-sakitan, bergantung pada orang lain, hingga menjadi beban masyarakat. Karena itu, hampir semua orang tidak suka disebut tua.
Baca juga : Orang Lansia Bahagia
Gerontolog Institut Penuaan Oxford, Inggris, Sarah Harper, seperti dikutip The Guardian, 30 Mei 2017, meminta untuk tidak menyebut seseorang dengan umur 70-an tahun hingga 80-an tahun sebagai orang tua sampai mereka benar-benar lemah, tidak bisa mandiri, atau mendekati kematian. Penduduk berusia lebih dari 70 tahun sebaiknya tetap dipandang sebagai orang dewasa yang aktif.
Pembaruan penyebutan tua itu juga tidak lepas dari kenyataan bahwa usia harapan hidup (UHH) masyarakat bertambah dan kematian berhasil didorong mundur ke usia lebih lanjut. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat dalam kurun dua dekade, dari tahun 2000 ke 2019, UHH manusia naik lebih dari 6 tahun dari 66,8 tahun menjadi 73,4 tahun.
Ke depan, UHH diyakini akan semakin mundur. Kondisi ini mendorong sejumlah negara memundurkan batas usia pensiun penduduknya serta menjaga kesehatan penduduk senior mereka sehingga masih bisa diharapkan kontribusinya bagi pembangunan dan masyarakat.
Stereotipe budaya
Meski banyak orang tidak suka disebut tua, Harper mengingatkan pengabaian usia tua yang sebenarnya juga berisiko. Di usia tua, seseorang seharusnya bisa hidup lebih damai dengan membatasi hiruk-pikuk kehidupan duniawi. Usia tua juga menjadi momentum bagi seseorang untuk merefleksikan diri hidup yang telah dijalani demi mempersiapkan tahap hidup selanjutnya.
”Bagaimanapun, manusia adalah makhluk yang terbatas, kita akan mati,” katanya.
Selain itu, banyak orang tidak suka disebut tua karena memendam ketakutan menjadi tua. Banyak orang tidak siap dengan menurunnya berbagai fungsi tubuh yang mengiringi datangnya penuaan.
Mereka merasa belum siap menua dengan ideal. Mereka merasa belum memiliki gaya hidup sehat, olahraga cukup, dan pola makan sehat hingga meningkatkan risiko aneka penyakit degeneratif yang menakutkan.
Tak hanya itu, mereka juga belum merasa cukup mencapai kesejahteraan yang didambakan, karier yang baik, tercukupinya kebutuhan finansial, anak-anak yang belum mandiri, hingga kehidupan keluarga yang belum stabil.
Baca juga : Tantangan Pelayanan untuk Lansia
Menua juga dikhawatirkan menjadi proses yang membuat seseorang kehilangan kemerdekaan dan kebebasan diri seiring turunnya kemampuan fisik, otak, dan mental mereka.
Becca R Levy, profesor psikologi di Universitas Yale, Amerika Serikat, dalam sebuah wawancara yang diunggah di The Psychology Today, 18 September 2022, menyebut banyaknya ketakutan yang muncul seiring penuaan itu tidak berkaitan langsung dengan bertambahnya umur seseorang. Ketakutan itu umumnya muncul akibat stereotipe atau prasangka budaya tentang tua dari orang-orang di sekitar mereka.
”Prasangka tentang penuaan itu merupakan kombinasi antara ketakutan dari dalam diri dan stigma sosial masyarakat yang ada,” katanya. Kedua jenis ketakutan akan penuaan itu diperkuat oleh industri, iklan, hingga media sosial yang meraup untung dengan menciptakan ketakutan akan penuaan dan ”merendahkan” penuaan.
Pikiran positif
Untuk menangkal ketakutan akan penuaan yang didasari oleh stigma dan budaya, Levy menyarankan agar mengubah pola pikir kita tentang penuaan.
Studi sejumlah peneliti di Pusat Riset Penuaan Universitas Yale yang dipublikasikan di Psychological Science, 17 Oktober 2014, menemukan warga senior yang memiliki sikap dan pikiran positif terhadap penuaan karena mendapat informasi yang baik tentang penuaan justru mengalami peningkatan fungsi fisik dan citra diri mereka.
Banyaknya ketakutan yang muncul seiring penuaan itu tidak berkaitan langsung dengan bertambahnya umur seseorang. Ketakutan itu umumnya muncul akibat stereotipe atau prasangka budaya tentang tua dari orang-orang di sekitar mereka.
Cara pandang positif terhadap penuaan itu membuat seseorang akan memandang penuaan datang pada usia yang lebih lanjut. Sikap ini ternyata bermanfaat besar bagi kesehatan warga senior dalam jangka panjang.
Studi Hannah Kuper dan Michael Marmot di Age Ageing, Maret 2003, terhadap 10.000 pegawai negeri di London, Inggris, menemukan seseorang yang merasa usia tua datang lebih cepat lebih berisiko menderita penyakit jantung, mengalami serangan jantung, atau kondisi kesehatan buruk pada 6 tahun-9 tahun setelah studi dimulai.
Kondisi itu diduga terjadi karena saat seseorang memikirkan datangnya usia tua lebih awal, mereka cenderung memikirkan kondisi fisik dan masalah kesehatan dasar yang mereka hadapi, terutama jika mereka memiliki gaya hidup yang buruk.
Namun, mereka juga cenderung bersikap fatalistik hingga enggan segera memeriksakan kesehatan ke dokter atau mengubah pola hidupnya hingga menjadi lebih sehat.
Baca juga : Saatnya Memikirkan Warga Lansia
Mereka lebih menganggap penuaan sebagai proses yang tak bisa dihindari dan menganggap orang tua lemah. Akibatnya, tanpa disadari, mereka jadi berjalan lebih lambat meski itu seharusnya tak mereka lakukan demi kesehatan fisik dan mental.
Orang yang menganggap usia tua datang lebih cepat juga cenderung berhenti mengandalkan pikiran, melupakan hal-hal tertentu, bahkan jadi lebih stres karena penuaan terjadi. Sikap ini mempercepat pemburukan kognitif dan mempermudah terjadi peradangan hingga berdampak pada kesehatan jangka panjang.
Sebaliknya, orang-orang yang menganggap usia tua datang lebih lambat umumnya lebih sadar akan kebugaran dan kesehatan mereka serta hidup lebih aktif. Berpikir dan berperilaku lebih muda dibandingkan usia sebenarnya ternyata menciptakan lingkaran kebaikan yang berguna bagi kesehatan di masa depan.
Sementara itu, studi longitudinal tentang penuaan yang dilakukan Levy dan rekan terhadap lebih dari 1.000 orang berumur minimal 50 tahun antara tahun 1975-1995 menemukan orang yang memiliki sikap positif terhadap penuaan rata-rata hidup hingga 22,6 tahun setelah studi dimulai. Sementara mereka yang bersikap kurang positif terhadap penuaan hanya hidup hingga 15 tahun.
Riset Susanne Wurm dan Sarah K Schäfer di Journal of Personality and Social Psychology, 25 April 2022, menjelaskan lebih baik. Orang-orang yang memandang usia tua secara lebih positif cenderung memiliki rencana baru dan suka mempelajari hal-hal baru dalam hidupnya hingga akhirnya memiliki UHH lebih panjang. Orang-orang ini cenderung percaya bahwa meski usia bertambah, mental mereka tetap bisa tumbuh dan berkembang.
Meski demikian, sikap positif itu tidak bisa menghentikan atau membalikkan penuaan yang terjadi. Wartawan sains David Robson dalam bukunya, The Expectation Effect (2022), mengatakan, alih-alih berduka atas hilangnya masa muda, mereka yang menghadapi penuaan perlu lebih fokus pada pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh seiring bertambahnya umur.
Saat orang tua tidak sehat, mereka tidak boleh menganggap itu terjadi karena penuaan. Hal utama yang perlu ditanamkan adalah seiring bertambahnya usia, setiap orang tidak boleh menyerah untuk berusaha tetap sehat dan yakin banyak hal bisa dilakukan. Dengan demikian, kita akan bisa menikmati tahun-tahun yang berjalan dan kemungkinan hidup lebih lama.
Namun, tentu tidak mudah membangun sikap positif terkait penuaan di tengah bombardir informasi yang negatif tentang penuaan. Karena itu, satu-satunya jalan yang bisa diambil adalah aktif mencari informasi yang menyangkal pesan-pesan negatif terkait penuaan.
Paradoks penuaan
Selain itu, meski pandangan budaya menganggap penuaan itu ”menyakitkan”, nyatanya studi Michael L Thomas dan rekan di The Journal of Clinical Psychiatry, 24 Agustus 2016, menunjukkan banyak orang tua merasa lebih bahagia dibandingkan dengan penduduk usia muda. Inilah paradoks penuaan.
Seperti dilaporkan Los Angeles Times, 24 Agustus 2016, percaya atau tidak, ada keuntungan dari proses bertambahnya usia yang kita jalani. Meski penuaan menurunkan kesehatan fisik dan otak, proses penuaan juga membuat kesehatan mental manusia secara keseluruhan justru meningkat. Semakin tua, makin bahagia pula perasaan mereka.
Suasana hati yang baik dan meningkatnya kemampuan menangani stres membuat orang tua menjadi lebih puas, risiko depresi berkurang, memiliki sedikit kecemasan, hingga akhirnya merasa lebih bahagia dan sejahtera sampai titik akhir kehidupan manusia itu datang.
”Semakin bertambah tua, tujuan dan penalaran manusia berubah, mereka jadi lebih bisa menghargai kefanaan hidup dan menyadari hidup manusia terbatas. Pandangan ini membuat mereka menggeser tujuan hidup dari semula fokus pada eksplorasi dan memperluas cakrawala jadi menikmati tiap relasi yang dimiliki dan fokus pada aktivitas bermakna,” kata Laura Carstensen dari Pusat Kelanjutusiaan Stanford, Amerika Serikat.
Kini pilihan ada pada kita, apakah akan menjalani proses bertambahnya umur dengan terus dibayangi ketakutan menjadi tua atau justru memilih menikmati setiap momen yang berlangsung.
Meski kita tidak suka disebut tua, dipanggil dengan atribusi-atribsi yang menandakan orang tua, berusaha menentang berbagai stigma penuaan, bahkan melakukan berbagai tindakan untuk menunda datangnya penuaan, penuaan tetap akan datang. Hadapi dengan senyuman dan keikhlasan hingga kita bisa mencapai akhir hidup kita dengan bahagia.