Wujudkan Lembaga Pendidikan yang Bebas dari Kekerasan Seksual
Meskipun memiliki berbagai regulasi untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lembaga pendidikan, kekerasan seksual masih terus terjadi. Implementasi dari peraturan seperti UU TPKS mendesak diwujudkan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga pendidikan merupakan institusi strategis dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual. Karena itulah, peringatan Hari Pendidikan Nasional harus menjadi momentum untuk menguatkan upaya pencegahan, perlindungan, dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan. Upaya mewujudkan kawasan bebas kekerasan, termasuk bebas dari kekerasan seksual di lembaga pendidikan, haruslah menjadi perhatian bersama yang melibatkan seluruh ekosistem pendidikan.
”Memajukan hak asasi perempuan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia, termasuk dengan melarang kekerasan seksual dalam bentuk apa pun, perlu dipahami oleh sivitas akademika dan pembuat kebijakan di lembaga pendidikan,” ujar komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Nahe’i, dalam pernyataan pers, Selasa (2/5/2023) di Jakarta.
Langkah tersebut sejalan dengan penyelenggaraan pendidikan yang demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajuan bangsa. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sebenarnya di lingkungan sekolah sudah ada Permendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, tapi masih menjadi macan kertas.
Sebab, berdasarkan data pengaduan ke Komnas Perempuan, kekerasan di ranah publik hingga kini masih tinggi yakni sebesar 1.276 kasus, yang didominasi oleh kekerasan seksual. Kekerasan seksual di ranah publik salah satunya terjadi di lingkungan pendidikan.
Bahkan, dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022, kekerasan pada lembaga pendidikan meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, dari 12 kasus menjadi 37 kasus. Adapun bentuk kekerasan seksual meliputi pencabulan, percobaan pemerkosaan, pelecehan verbal, hingga kriminalisasi.
”Sejumlah guru, dosen, dan tokoh agama yang berkiprah di dunia pendidikan turut menjadi pelaku kekerasan. Hal ini ironis karena mereka seharusnya menjadi pelindung, teladan, dan perwakilan negara yang semestinya hadir sebagai duty bearer of rights atau penanggung jawab hak-hak sipil,” papar Komisioner Alimatul Qibtiyah yang juga Ketua Subkom Pendidikan Komnas Perempuan.
Tingginya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti kurangnya perspektif HAM dan jender, baik dalam kebijakan pendidikan maupun di kalangan tenaga kependidikan, sering kali menyebabkan diskriminasi, intoleransi, dan kurangnya keberpihakan pada korban.
”Karena itulah, korban kekerasan seksual atau saksi di lingkungan pendidikan perlu didukung untuk menjadi berani melaporkan kasus yang terjadi kepada lembaga layanan atau pihak yang terkait,” tegas Alimatul.
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah menambahkan berbagai regulasi yang terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus menjadi rujukan, seperti Undang-Undang No 12 Tahun 2023 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.
Ada juga Peraturan Menteri Agama No 73/2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga pendidikan dan Keputusan Menteri Agama No 3/2023 tentang Pedoman Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
Untuk implementasi UU TPKS, pemerintah diharapkan segera menyelesaikan penyusunan peraturan pemerintah dan peraturan presiden sebagaimana diamanatkan UU TPKS serta aturan turunan lainnya dengan melibatkan seluruh pemangku kebijakan.
Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengingatkan pernyataan Mendikbudristek Nadiem Makarim akan tiga dosa besar dunia pendidikan, yakni perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual, yang hingga kini terjadi.
Kendati demikian, tidak banyak korban yang berani melapor. Sementara penanganan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan dinilai masih jauh dari harapan. ”Bahkan, sejumlah korban harus mencari jalan keluar sendiri,” ujar Jasra.
Implementasi regulasi
Situasi kekerasan seksual di lingkungan pendidikan juga disoroti Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Meski mengapresiasi lahirnya UU TPKS dan Peraturan Menteri Agama tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di satuan pendidikan pada Kementerian Agama, P2G menilai implementasi dari peraturan-peraturan tersebut harus melibatkan semua pihak melalui satuan tugas bersama.
”Sebenarnya di lingkungan sekolah sudah ada Permendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, tapi masih menjadi macan kertas. Sekolah pada umumnya tidak melaksanakan regulasi tersebut,” kata Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.
Satuan tugas bersama untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan mendesak dalam rangka pembimbingan, pembinaan, pengawasan, monitor, hingga evaluasi terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan, termasuk kekerasan seksual di satuan pendidikan.