Hati-hati Terima Tawaran Kerja dan Iming-iming Gaji Tinggi
Ibu Kota selalu menjadi incaran tempat bekerja warga desa. Banyak perempuan meninggalkan desa dan menjadi pekerja rumah tangga. Tanpa keterampilan dan pengetahuan yang cukup, mereka rentan mengalami berbagai kekerasan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia selalu menjadi magnet bagi warga desa untuk mengadu nasib. Setelah Lebaran, banyak perempuan desa ikut keluarganya merantau ke kota besar untuk bekerja di sektor informal, salah satunya menjadi pekerja rumah tangga.
Namun, karena tidak dibekali keterampilan dan pengetahuan yang cukup, serta tidak ada kontrak kerja yang jelas dengan pemberi kerja, beberapa perempuan pekerja rumah tangga (PRT) mengalami kekerasan dan diskriminasi. Bahkan, ada yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Oleh karena itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengingatkan para perempuan dari desa yang akan mencari pekerjaan di kota agar berhati-hati dan tidak sembarang menerima tawaran pekerjaan. Sebelum bekerja, mereka harus tahu siapa majikan dan jenis pekerjaan apa yang harus dikerjakan.
”Berhati-hati, (siapa pun) harus menyiapkan diri dan cerdas dalam memilih pekerjaan. Jika akan bekerja sebagai pekerja rumah tangga, sejak awal sudah harus ada komunikasi dengan calon majikan, apakah pekerjaannya sudah layak? Sehingga tidak terjadi masalah di belakang,” kata Bintang, Kamis (27/4/2023).
Untuk menghindari kekerasan dan berbagai perlakuan buruk, sebelum bekerja perlu ada kesepakatan antara pemberi kerja (majikan) dan penerima kerja. Kesepakatan tersebut bukan hanya soal jenis pekerjaan, melainkan juga soal upah.
”Kesepakatan kedua pihak sangat penting untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan di kemudian hari,” ucapnya.
Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) Lita Anggraini juga mengingatkan para calon PRT yang akan bekerja di Jakarta dan kota-kota besar lainnya supaya menyiapkan diri. Sebelum menerima tawaran pekerjaan, calon pekerja harus betul-betul mengetahui siapa calon majikannya, tempat tinggalnya, serta pekerjaannya.
Kesepakatan kedua pihak sangat penting untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan di kemudian hari.
Yang terpenting lagi adalah komunikasi dengan keluarga tidak terputus sehingga situasi kerja PRT tetap terpantau keluarga. Belajar dari pengalaman buruk sejumlah PRT, Lita berharap para calon PRT selektif memilih calon majikannya agar risiko kekerasan dan diskriminasi bisa diminimalkan.
Karena itulah, untuk melindungi para PRT, hingga kini Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (UU PPRT) terus diperjuangkan. Sebab, melalui RUU PPRT, hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja (majikan) diatur dengan jelas.
RUU PPRT akan memberikan kepastian hukum kepada PRT dan pemberi kerja; mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT; mengatur hubungan kerja yang harmonis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan; meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan PRT; serta meningkatkan kesejahteraan PRT.
Bagi PRT seperti Yuni Sri Rahayu, pengalaman menjadi PRT selama 12 tahun memberikannya banyak pelajaran. Berbagai kekerasan pernah dialaminya. Ia bahkan pernah mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja) sepihak oleh majikannya.
”Aku pernah di-PHK karena telat masuk kerja, gaji dipotong, diintimidasi, diperiksa dari ujung rambut sampai kaki saat mau pulang kerja,” ujar Yuni yang saat ini bergabung dengan Serikat PRT Sapu Lidi.
Sebelumnya, Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Kementerian PPPA Prijadi Santoso juga mengingatkan, masyarakat yang akan bermigrasi ke ibu kota wilayah harus memiliki kepastian tujuan, pekerjaan, dan tempat tinggal. Hal ini penting untuk menghindari adanya oknum-oknum yang berniat jahat menjebak para pendatang pada pekerjaan yang tidak diinginkan, salah satunya seperti perdagangan orang.
”Pendatang baru sebaiknya memiliki bekal keahlian dan keterampilan sehingga bisa mandiri dan meningkatkan kesejahteraan,” ujar Prijadi.
Arus balik setelah Lebaran umumnya akan lebih besar dibandingkan arus mudik. Artinya, arus migrasi tenaga kerja dari sejumlah daerah, khususnya ke Ibu Kota, juga akan meningkat. Ia mencontohkan, pada tahun 2022 lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperkirakan pendatang baru setelah Lebaran mencapai 50.000 orang.
Tahun 2023 ini situasinya diprediksi tidak berbeda jauh, bahkan angkanya diperkirakan akan bertambah seiring dengan berkurangnya kasus Pandemi Covid-19 di Indonesia. Karena itulah, para pendatang, terutama perempuan yang akan bekerja, diimbau untuk berhati-hati dan mengecek lebih dulu tawaran pekerjaan.
”Jangan mudah tergiur akan cerita dan iming-iming bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar, namun kualifikasi rendah,” paparnya.
Menurut Koordinator Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Khusus Kementerian Ketenagakerjaan Sekar Pratiwi Adjie, untuk meminimalisasi urbanisasi, perlu ditingkatkan pemberdayaan ekonomi bagi para perempuan desa.
Pembangunan ketenagakerjaan bagi perempuan desa dapat dilakukan, antara lain, dengan mengembangkan pendidikan berbasis keterampilan dan kewirausahaan, mengembangkan kapasitas dan pendampingan kelembagaan kemasyarakatan desa, serta kelembagaan adat secara berkelanjutan. Selain itu, perlu ada pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat.
Tak kalah penting adalah meningkatkan kapasitas dan partisipasi masyarakat, termasuk perempuan, anak, pemuda serta penyandang disabilitas melalui fasilitasi, pelatihan, dan pendampingan dalam pembangunan desa.