Kelompok rentan dan prasejahtera dibekali berbagai keterampilan sesuai minat-bakat serta diberi modal usaha. Para peserta program pemberdayaan sosial ini diharapkan mampu mandiri suatu hari nanti.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Setidaknya dibutuhkan pembekalan keterampilan, pendampingan, serta bantuan modal untuk memberdayakan masyarakat prasejahtera dan rentan. Mereka diharapkan tidak lagi bergantung pada bantuan sosial, tetapi mampu membuka ruang untuk memberdayakan orang lain.
Pada tahun ketiga bekerja di Arab Saudi, Nia Kurniasih (38) tiba-tiba ditelepon Menteri Sosial Tri Rismaharini. Nia diminta pulang ke Indonesia untuk mengasuh dua anaknya. Nia juga diminta tidak risau mesti tinggal di mana atau bekerja apa nantinya. Semua bakal diurus pemerintah.
Sebelumnya, Nia adalah pekerja rumah tangga (PRT) di Jakarta. Ia pergi ke Arab Saudi pada 2019 atas ajakan tetangga yang menawarkan pekerjaan. Nia mau saja pergi karena percaya kepada tetangga yang telah ia kenal. Namun, Nia berakhir ”dilempar” ke lembaga penyalur PRT ilegal.
Ia sulit pulang ke Indonesia karena terikat kontrak kerja yang diperpanjang secara sepihak. Sementara ia pergi, kedua anaknya dititipkan ke rumah keluarga di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Adapun suami Nia meninggal tujuh bulan setelah ia ke Arab Saudi.
Nasib buruk terjadi. Anak sulung Nia menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan paman dan sepupunya. Kedua pelaku telah dipolisikan. Kasus ini kemudian diperhatikan berbagai pihak, termasuk Mensos Risma yang berjanji mengupayakan kepulangan Nia selaku ibu korban.
”Selasa saya ditelepon. Rabu dijemput KBRI (Kedutaan Besar RI di Arab Saudi) di rumah majikan. Jumat saya terbang (ke Indonesia). Ibu (Risma) memulangkan saya untuk merawat anak-anak,” kata Nia di Jakarta, Sabtu (15/4/2023).
Sesampainya di Indonesia, Nia dan kedua anaknya ditempatkan di Sentra Handayani, Jakarta, yang dikelola Kementerian Sosial. Anak sulungnya direhabilitasi sosial, sementara Nia diberi pelatihan memasak, fasilitas, dan modal usaha melalui program Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi).
Ia ingat betul mengantongi modal Rp 300.000 untuk membuat sejumlah porsi nasi uduk. Tidak sampai satu jam, makanan yang ia jual di kantin Sentra Handayani ludes. Ia juga balik modal.
Selasa saya ditelepon. Rabu dijemput KBRI (Kedutaan Besar RI di Arab Saudi) di rumah majikan. Jumat saya terbang (ke Indonesia). Ibu (Risma) memulangkan saya untuk merawat anak-anak.
Perlahan ia menerima pesanan nasi kotak, mengembangkan menu jualan, mengumpulkan laba, dan menabung. Dari situ ia punya modal untuk menjajal usaha lain, seperti menjual penganan buka puasa dan kue kering untuk Lebaran. Jualannya pun kerap habis dibeli lantaran rasa yang enak, harga terjangkau, dan isinya banyak.
”Sekarang pendapatan saya bisa Rp 4 juta per bulan. Ini lebih banyak dari pendapatan di Arab yang Rp 3,6 juta per bulan,” katanya. ”Sekarang saya mimpi jadi bos dan punya pegawai,” ujarnya sambil tertawa.
Selain Nia, masih ada ratusan (mungkin ribuan) orang lain yang menjadi penerima manfaat program Atensi. Sebelum diberdayakan, para penerima manfaat mesti melalui asesmen yang dilakukan pekerja sosial. Hal ini mencakup antara lain asesmen psikologi, sosial, kesehatan, serta minat dan bakat. Penerima manfaat dapat memilih pemberdayaan, antara lain di bidang kuliner, kerajinan tangan, kecantikan, dan otomotif.
Adapun penerima manfaat program pemberdayaan dan penerima bantuan sosial yang berhasil ”naik kelas” mesti dipantau. Sebelumnya, Kepala Pusat Kajian Pembangunan Sosial (SODEC) Universitas Gadjah Mada Hempri Suyatna mengatakan, hal ini kerap tak terpantau. Padahal, ini adalah salah satu indikator efektivitas penanganan kemiskinan.
”Indikator ini kadang tidak terpantau, misalnya siapa yang dari (keluarga) prasejahtera menjadi sejahtera? Siapa yang dari usaha mikro ke kecil, kecil ke menengah, lalu menengah jadi besar? Indikator ini agar menjadi acuan pengentasan kemiskinan di nasional ataupun daerah,” kata Hempri (Kompas, 20/2/2023).
Penanggung Jawab Sentra Kreasi Atensi Bambu Apus Sentra Handayani, Siti Nurhayati, mengatakan, membina para penerima manfaat program rehabilitasi sosial butuh kesabaran. Motivasi dan kepercayaan diri mesti ditumbuhkan agar para penerima manfaat terpacu untuk berdaya.
Namun, tidak semua penerima manfaat berhasil memberdayakan dirinya sendiri. Ada faktor ”X” yang menjadi penentu keberhasilan mereka, misalnya ketahanan mental atau resiliensi, motivasi, kemandirian, dan keberuntungan.
Penerima manfaat program pemberdayaan di Kota Bekasi, Sofyan (49), sempat menyerah untuk berjualan mainan setelah kecopetan. Pemulung asal Subang, Jawa Barat, ini sempat diberi modal Rp 1,3 juta dari Sentra Terpadu Pangudi Luhur di bawah Kementerian Sosial. Modal ini digunakan untuk berjualan mainan. Namun, sekarung besar berisi mainan miliknya raib dicuri.
”Ya, mau bagaimana lagi? Istri saya juga bilang agar enggak ambil modal lagi daripada dicuri. Ya, sudah. Saya balik mulung lagi,” kata Sofyan.
Sebelum kembali memulung, laki-laki satu anak ini sempat dipekerjakan di tempat pengolahan sampah di sentra, tetapi ia tak betah. Ia juga berargumen bahwa pendapatannya lebih sedikit dibandingkan dengan memulung. Pendapatannya di tempat pengolahan sampah Rp 400.000 per bulan, sementara dengan memulung ia mendapat rata-rata Rp 100.000 per hari.
Saat tidak memulung, Sofyan membuat mobil, kereta api, hingga perahu mainan yang dibuat dari tripleks kayu. Harga jualnya lumayan, sekitar Rp 150.000. Salah satu mainannya bahkan pernah terjual Rp 1,5 juta. Namun, ia tidak ingin menekuni bidang ini karena produksinya bisa makan waktu mingguan atau paling lama sebulan.
Walakin, pemerintah tetap mesti menunaikan tugasnya untuk memfasilitasi pemberdayaan kelompok rentan dan prasejahtera. Di sisi lain, penerima bantuan agar memanfaatkan kesempatan ini baik-baik. Dengan demikian, diharapkan semakin banyak orang bisa lepas dari jerat kemiskinan.