ITDC: 120 Kepala Keluarga Dusun Ngolang Telah Menerima Kompensasi
Setelah Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika mulai dibangun, sedikitnya 5.000 warga lokal terserap menjadi tenaga kerja. Namun, sejumlah warga mengaku kehilangan mata pencarian dan belum menerima kompensasi.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sedikitnya 120 kepala keluarga di Dusun Ngolang, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, telah menerima kompensasi dari PT Indonesia Tourism Development Corporation atau PT ITDC. Kompensasi diberikan setelah PT ITDC berkonsultasi dengan Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah untuk menyensus warga terdampak.
Hal itu disampaikan oleh Vice President Corporate Secretary PT ITDC Indah Haryani pada Rabu (12/4/2023). PT ITDC atau Pengembangan Pariwisata Indonesia merupakan perusahaan di bawah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang pengelolaan kawasan pariwisata.
Perusahaan tersebut ditunjuk sebagai pemimpin proyek pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, termasuk pembangunan Sirkuit Internasional Mandalika. Pendanaan proyek seluas 1.175 hektar itu menggunakan pinjaman dari Bank Investasi Infrastruktur Asia (Asian Infrastructure Investment Bank/AIIB) senilai Rp 3,8 triliun.
Dalam keterangan tertulisnya, Indah menyebut, masyarakat setuju dengan kompensasi yang diberikan lantaran rumah baru yang akan ditempati memiliki kondisi fisik lebih baik dan layak serta diberikan secara gratis. Perhitungan nilai kompensasi dilakukan sesuai dengan kaidah Environment & Social Guideline (E&S) dan atas persetujuan warga terdampak pada saat proses sensus.
”Selain penggantian rumah, terdapat juga 31 petani primer dan 10 petani sekunder yang menerima kompensasi senilai dengan pendapatan mereka selama satu tahun,” ujarnya.
Sebelumnya, Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) merilis hasil riset kondisi masyarakat adat Sasak yang terdampak proyek KEK Mandalika, Senin (10/4/2023). Laporan tersebut dibuat dengan melakukan survei terhadap 105 orang selama periode Desember 2022 hingga Januari 2023.
KPPII menyebut, 99 persen responden merasa tidak memperoleh kompensasi yang adil dan sesuai dengan nilai tanah, rumah, serta mata pencarian mereka yang hilang akibat proyek Mandalika. Hanya 15 persen responden yang mendapatkan ganti rugi atas tanah mereka dan kurang dari sepertiga responden menerima kompensasi atas rumah dan tanaman yang hilang.
Kemudian, 98 persen responden juga mengaku bahwa mereka merasa tidak dimintai persetujuan terkait proyek Mandalika. Sedikitnya 6 persen responden yang mengaku terlibat dalam pertemuan konsultasi yang diselenggarakan ITDC atau AIIB.
Menanggapi hal itu, Indah menyampaikan, konsultasi dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah dan ITDC sebelum proses konstruksi dimulai ataupun pada saat implementasi proyek. Konsultasi kepada para pemangku kepentingan dilakukan dengan pendekatan yang humanis.
”ITDC memiliki sistem GRM (grievances redress mechanism), yakni sistem penanganan keluhan untuk menampung aduan dan aspirasi bagi masyarakat terkait dengan pelaksanaan proyek. ITDC juga akan melibatkan konsultan independen untuk menjembatani gapkomunikasi atau perbedaan persepsi antara ITDC dengan para pemangku kepentingan dan melakukan pemetaan ekspektasi serta persepsi mereka,” lanjutnya.
Kebebasan masyarakat
Peneliti KPPII, Sayyidatiihayaa Afra, menyebut, 70 persen responden merasa terintimidasi oleh aparat keamanan dalam proses pembebasan lahan. Selain itu, 84 persen responden juga menyatakan bahwa mereka terdampak oleh pengerahan aparat keamanan selama berlangsungnya ajang World Superbike tahun 2021 dan MotoGP tahun 2022 di Sirkuit Internasional Mandalika.
PT ITDC tidak membenarkan hal tersebut. Indah menjelaskan, polisi atau aparat keamanan dikerahkan terkait perlindungan dan keamanan area KEK Mandalika. Pengerahan tersebut sebagai bagian dari protokol selama kunjungan tamu very important person (VIP) serta untuk acara internasional MotoGP dan World Superbike.
Sebanyak 99 persen responden merasa tidak memperoleh kompensasi yang adil dan sesuai dengan nilai tanah, rumah, serta mata pencarian mereka yang hilang akibat proyek Mandalika.
”Aparat keamanan juga bertugas untuk mengatur lalu lintas. ITDC menghindari penggunaan kekerasan dan intimidasi dalam menghadapi segala bentuk protes. Aparat keamanan hanya untuk keamanan dan ketertiban di kawasan KEK Mandalika,” katanya.
Selain pengerahan aparat berlebihan, survei KPPII turut menyoroti adanya dampak terhadap mata pencarian masyarakat adat Sasak. Hasil survei KPPII menunjukkan, 69 persen responden menyatakan bahwa proyek Mandalika telah menghancurkan sumber daya alam yang selama ini memberi penghidupan mereka.
Salah satu bentuknya adalah masyarakat tidak diberikan akses menuju pantai atau laut. Hal itu mengakibatkan sebagian masyarakat yang bergantung pada rumput laut dan tangkapan ikan terpaksa mencari tempat baru yang cenderung lebih jauh.
”Mereka kehilangan apa yang selama ini menghidupi mereka. Dari bertani, misalnya, kini mereka tidak punya lahan lagi sehingga mereka menjadi buruh tani. Mereka yang bekerja sebagai nelayan rumput laut dan penangkap ikan juga terpaksa harus mencari lokasi baru yang lebih jauh untuk budidaya rumput laut,” ucap Harry Sandi Ame, perwakilan masyarakat adat Sasak (Kompas.id, 10/4/2023).
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menerima laporan aduan warga terdampak pembangunan Sirkuit Internasional Mandalika di Nusa Tenggara Barat pada Agustus 2022. Komisioner mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo, menyampaikan, sejak awal Komnas HAM sudah menduga ada pelanggaran HAM dalam proses pembangunan KEK Mandalika.
Indah menambahkan, PT ITDC tidak pernah melarang warga beraktivitas di Pantai Kuta selama tidak menempati lahan di hak pengelolaan atas tanah (HPL) ITDC. Hal ini dilakukan untuk menghindari sengketa lahan di masa mendatang karena area pantai tersebut merupakan tanah negara yang tidak boleh dibatasi aksesnya.
”ITDC bahkan mengembangkan area pantai publik, yaitu Kuta Beach Park, dengan beberapa fasilitasnya. Kami juga membangun akses jalan-jalan menuju pantai, contohnya jalan akses menuju Pantai Tanjung Aan, Serenting, dan Gerupuk,” imbuhnya.
Menurut dia, sedikitnya 5.000 warga lokal tercatat bekerja sebagai tenaga proyek dan operasional, terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan ITDC, dan sebagai pegawai hotel milik PT ITDC. Selain itu, terdapat serapan tenaga kerja lain, seperti pekerja hotel atau homestay di sekitar kawasan yang ikut berkembang, jasa travel, UMKM, dan rumah makan atau kafe.