Para pekerja rumah tangga terus menantikan percepatan proses RUU PPRT menjadi UU. Kehadiran payung hukum yang diperjuangkan selama 19 tahun diharapkan meningkatkan perlindungan terhadap mereka.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Perjalanan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga terus berpacu dengan waktu. Dua pekan terakhir, menjelang masa reses Dewan Perwakilan Rakyat, sejumlah upaya untuk mempercepat proses legislasi dari rancangan undang-undang tersebut terus bergulir.
Kuncinya ada di tangan pemerintah dan DPR. Sejak DPR menetapkannya sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) Inisiatif, Selasa (21/3/2023), upaya mempercepat proses dari Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebenarnya sudah terlihat.
Tidak sampai sepekan, Senin (27/3/2023), Ketua DPR Puan Maharani mengirimkan surat kepada Presiden. Dalam surat tersebut, Puan meminta Presiden segera mengirim surat ke DPR terkait penugasan menteri yang akan membahas RUU PPRT dengan DPR.
Sebagaimana kita ketahui, tanggal 15 April 2023 sudah reses, kita akan bermain cepat.
Tentu saja langkah tersebut membangunkan harapan besar, terutama bagi kalangan PRT yang telah menanti sekitar 19 tahun demi mendapatkan pengakuan atas profesi mereka. Maka, selama dua pekan terakhir, perjalanan legislasi RUU PPRT pun benar-benar mendapat perhatian dari Jaringan Nasional Advokasi PRT (JALA PRT) dan Koalisi Sipil UU PPRT.
Selain terus memantau dan mengawal proses administrasi RUU PPRT, gerakan menarik dukungan dari publik untuk pengesahan RUU PPRT pun terus berjalan. Termasuk meyakinkan DPR ataupun pemerintah betapa mendesaknya kehadiran UU PPRT.
Para PRT berharap, setidaknya, sebelum DPR memulai masa reses pada pekan depan, RUU PPRT sudah masuk babak pembahasan. Tentu dengan catatan, surat presiden (surpres) dan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari RUU PPRT sudah dikirim ke DPR.
Di pihak pemerintah, persiapan menuju pembahasan RUU PPRT di DPR juga terus dilakukan, sejak DPR mengirim surat ke Presiden Jokowi, pekan lalu. Seperti harapan para PRT, pemerintah juga bergegas agar pembahasan RUU PPRT tersebut segera berlangsung di DPR.
”Sebagaimana kita ketahui, tanggal 15 April 2023 sudah reses, kita akan bermain cepat,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Anwar Sanusi saat hadir dalam diskusi dengan media, Selasa (4/4/2023) malam.
Pemerintah, terutama di Sekretariat Negara, saat ini sedang menyiapkan surpres untuk menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan di DPR. Anwar juga memastikan, setelah surpres dikirimkan kepada DPR, tim pemerintah akan langsung mengawal RUU tersebut. Adapun Kemenaker, sebagai wakil pemerintah yang diberikan mandat oleh Presiden untuk memimpin pembahasan RUU PPRT, juga tengah menyusun DIM.
Setelah klusterisasi DIM, Kemenaker juga akan meminta kepada anggota panitia antarkementerian (PAK) untuk bersama-sama mengawal proses pembahasan hingga pengesahan dari RUU PPRT menjadi UU.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga terus menyerap aspirasi dari pemangku kepentingan. Harapannya, dengan mendengarkan berbagai aspirasi, RUU PPRT akan benar-benar memberikan jaminan, terutama jaminan hukum bagi para PRT sehingga mereka mendapatkan perlindungan.
Kendati demikian, pemerintah, menurut Anwar, memberikan perhatian khusus terhadap sejumlah aspek yang terkait dengan RUU PPRT, mulai dari aspek unsur bias, terkait masalah jender, kelas, feodalisme, ras, dan sebagainya.
”Kemudian, terkait isu diskriminasi, yakni tidak ada pengakuan identitas sebagai pekerja untuk akses pekerjaan yang layak. Ini, kan, isu-isu yang harus kita respons. Isu identitas, antara yang namanya profit, nonprofit, domestik, dan publik. Jadi, jangan sampai PRT ini selalu di dalam satu identitas yang melekat dengan kemiskinan,” kata Anwar.
Terkait RUU PPRT, tim pemerintah optimistis prosesnya akan berjalan cepat, apalagi melihat isi RUU PPRT yang hanya terdiri dari 12 bab dan 34 pasal. Bahkan, pemerintah akan bergerak cepat untuk menyiapkan peraturan pelaksananya.
Tentu sebelumnya perlu dilakukan harmonisasi dengan sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain terkait perizinan lembaga penyalur PRT, kewenangan pemerintah pusat dan daerah, jaminan sosial, dan pemidanaan/sanksi.
Perlindungan jadi perhatian
Bagi kalangan PRT, ada sejumlah materi dalam RUU PPRT yang substansial yang perlu mendapat perhatian, antara lain norma perlindungan PRT, termasuk lingkup pekerjaan dan hak pekerja. Misalnya, waktu bekerja, PRT berhak atas jam kerja 8 jam dalam sehari. Sebab, selama ini, banyak PRT yang bekerja lebih dari 16 jam, bahkan ada pengasuh anak hanya tidur 3 jam.
Demikian juga dengan hak PRT lain, seperti hak atas libur mingguan, cuti, upah, dan tunjangan hari raya (THR), termasuk pentingnya pengaturan mengenai jaminan sosial, seperti jaminan ketenagakerjaan, upah, dan hak untuk berkomunikasi dan berorganisasi.
Lita menegaskan, hak berkomunikasi menjadi penting karena selama ini banyak PRT yang berkasus terputus kontaknya dengan keluarga. RUU PPRT juga mengatur hak pemberi kerja, seperti berhak atas hasil kerja PRT, dan pemberitahuan jika PRT tidak masuk kerja. Soal berakhirnya perjanjian kerja, diatur sesuai kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja.
Semua aspirasi dan harapan tentu akan terwujud apabila pembahasan RUU PPRT segera berjalan. Karena itulah, Koordinator Koalisi Nasional untuk Advokasi PRT Eva Kusuma Sundari berharap pembahasan RUU bisa cepat dilakukan oleh DPR seperti RUU Cipta Kerja.
Jika surpres sudah dikirim Presiden ke DPR, harapannya, pekan ini RUU PPRT sudah masuk pembahasan. Mari kita tunggu!