Pengawasan obat dan makanan menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Penguatan pengawasan pun diperlukan, antara lain melalui undang-undang.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Munculnya obat palsu, kemudahan akses pangan dan obat, serta munculnya berbagai kasus kesehatan membuat tantangan pengawasan obat dan makanan menjadi semakin kompleks. Oleh karena itu, sistem pengawasan obat dan makanan di Indonesia mesti diperkuat.
Penguatan sistem pengawasan obat dan makanan diupayakan melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengawasan Obat dan Makanan. RUU tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas di DPR.
Jika RUU disahkan, hal itu akan menjadi payung hukum untuk memperkuat kelembagaan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), termasuk dalam aspek pengawasan dan penindakan hukum. Pengawasan obat dan makanan pun diharapkan lebih optimal, baik dari fase pre-market (sebelum beredar di pasaran) hingga post-market (setelah beredar di pasaran).
”Kami mendorong pemerintah, khususnya DPR, untuk mengesahkan RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan melalui dialog publik dengan melibatkan pakar dan akademisi,” ucap Dekan Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani Fahrauk Faramayuda, saat dialog hibrida ”Inovasi Kebijakan dalam Menghadapi Tantangan Pengawasan Obat dan Makanan”, di Jakarta, Rabu (5/4/2023).
Penguatan pengawasan obat dan makanan kian penting mengingat maraknya peredaran produk ilegal di Indonesia. Pada Januari 2023, Kepolisian Daerah Metro Jaya mengungkap peredaran obat ilegal dan palsu di Jakarta dan Jawa Barat selama setahun terakhir. Ada 430.000 butir obat yang menjadi barang bukti dan 10 orang ditetapkan sebagai tersangka (Kompas.id, 27/1/2023).
Pengawasan produk ilegal pun semakin sulit karena kini sebagian produk dipasarkan secara daring. Masyarakat pun rentan menjadi konsumen karena belum meratanya pemahaman publik tentang keamanan produk.
”Dengan 250 jutaan penduduk, (Indonesia dinilai) potensial. Kita menjadi sasaran (pemasaran) obat dan makanan, terutama di dunia. Hal ini menjadi sasaran masuknya produk ilegal. Bisa saja obat atau makanan tanpa izin edar masuk. Atau mungkin makanan yang mengandung zat berbahaya dan kosmetik palsu,” papar anggota Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, Keri Lestari.
Penguatan pengawasan obat dan makanan pun penting mengingat sejumlah laporan masyarakat. Per November 2022, ada 324 kasus gangguan ginjal akut pada anak. Kasus ini berkaitan dengan cemaran etilen glikol dan dietilen glikol pada obat sirop yang dikonsumsi anak-anak hingga merenggut nyawa sekitar 200 anak.
Pada September 2017, puluhan remaja dan pelajar di Kendari, Sulawesi Tenggara, mengonsumsi pil bertuliskan PCC (paracetamol, caffeine, carisoprodol). Sebanyak dua orang meninggal dan 57 orang dirawat karenanya.
Jenazah salah satu korban ditemukan di laut. Ia diduga membuang diri ke laut seusai mengonsumsi pil. Ada pula korban yang dibawa keluarganya ke rumah sakit jiwa karena ia bicara sendiri dan berhalusinasi setelah minum obat PCC (Kompas.id, 15/9/2017).
Sementara Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Togi Junice Hutadjulu mengutarakan, sistem pengawasan obat dan makanan masih lemah. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya regulasi, penataan kelembagaan, dan sumber daya yang terbatas.
Di sisi lain, lembaga pengawasan obat dan makanan di Indonesia belum mandiri untuk menjalankan fungsinya. Sebagai contoh, penindakan terhadap pelanggar mesti menggandeng aparat penegak hukum. Penguatan BPOM pun dinilai perlu, dari segi fungsi pengawasan, penindakan, pengujian, koordinasi, hingga penguatan kapasitas kelembagaan unit pelaksana teknis BPOM di daerah.
”Ada kebutuhan mendesak berupa payung hukum berbentuk undang-undang untuk menjawab tantangan pengawasan obat dan makanan dari hulu ke hilir yang makin kompleks,” tutur Togi.
Jika RUU disahkan, itu akan menjadi payung hukum untuk memperkuat kelembagaan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), termasuk dalam aspek pengawasan dan penindakan hukum.
Menurut Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia Riant Nugroho, bukan hanya BPOM yang mesti diperkuat, melainkan juga ekosistem serta industri obat dan makanan secara keseluruhan. Hal ini bisa dicapai antara lain melalui kolaborasi dengan industri dan asosiasi.
Industri dan asosiasi dapat diminta membuat aturan yang menerapkan model bisnis terbaik, serta menerapkan sistem tata kelola, risiko, dan kepatuhan (GRC). Mereka juga agar menetapkan hukuman atau sanksi apabila ada yang melanggar. Setelahnya, asosiasi diminta ikut mengawasi anggota-anggotanya.