Transformasi Sistem Kesehatan Bertumpu pada Ketersediaan Data
Inisiatif pencatatan data kesehatan secara individual dan kesehatan akan memungkinkan terciptanya elaborasi sistem kesehatan. Pencatatan data kesehatan ini juga dapat memastikan tindakan yang benar di waktu yang tepat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Petugas keamanan mencetak nomor antre untuk pengguna yang telah mendaftar secara daring di Puskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (21/10/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kurangnya kesiapan dan ketersediaan data membuat sistem kesehatan di Indonesia kurang optimal. Oleh karena itu, ketersediaan data yang rapi dan terintegrasi menjadi tumpuan dalam transformasi sistem kesehatan digital secara nasional.
Deputy Chief Digital Transformation Office (DTO) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Agus Rachmanto menyampaikan, pandemi Covid-19 banyak menyadarkan semua pihak terkait kurangnya kesiapan data di semua aspek, termasuk kesehatan. Hal ini membuat berbagai upaya penanganan yang dilakukan harus didahului dengan konfirmasi dan validasi data.
”Pandemi menyadarkan bahwa data-data kita masih perlu perbaikan tidak hanya di Kementerian Kesehatan, tetapi juga di institusi terkait lainnya. Namun, pandemi Covid-19 juga telah membuat perubahan, seperti saat vaksinasi yang dicatat secara individual dan digital,” ujarnya dalam diskusi publik terkait penggunaan data, komunikasi risiko, dan manajemen infodemik di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Menurut Agus, inisiatif pencatatan data kesehatan secara individual dan kesehatan akan memungkinkan terciptanya elaborasi sistem kesehatan. Pencatatan data kesehatan ini juga dapat memastikan tindakan yang benar di waktu yang tepat sekaligus untuk penggunaan dan perbaikan pelayanan fasilitas kesehatan umum lainnya.
Kami membangun platform agar data-data rekam medis bisa digunakan secara optimal baik dari pengguna maupun fasilitas pelayanan kesehatan.
Agus menyadari bahwa transformasi kesehatan dengan ketersediaan data ini harus dibuat kerangka kerja secara terinci. Oleh karena itu, Kemenkes bersama Program Pembangunan PBB (UNDP) menetapkan cetak biru (blue print) Strategi Transformasi Digital Kesehatan 2021-2024yang telah diluncurkan pada Desember 2021.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Deputy Chief Digital Transformation Office (DTO) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Agus Rachmanto (tengah) dan Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Risiko dan Keterlibatan Masyarakat (RCCE) Rizky Ika Syafitri (kiri) dalam diskusi publik terkait penggunaan data, komunikasi risiko, dan manajemen infodemik di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Dalam cetak biru tersebut, tujuan dari transformasi ialah untuk memastikan fokus dari teknologi digital kesehatan berubah dari yang bersifat pelaporan menjadi pelayanan. Transformasi kesehatan di bidang digital dan teknologi ini juga harus mencakup platform yang bisa diakses dan setiap data dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan.
Agus menjelaskan, tahun ini diharapkan implementasi transformasi digital kesehatan sudah bisa dilakukan setelah pada 2022 dilakukan proses pengembangan. Salah satu implementasi dalam integrasi data kesehatan ialah penggunaan platform Satu Sehat (One Health).
Dalam mengembangkan platform ini, Kemenkes mengadopsi model infrastruktur platform-as-a-service (PAAS). Platform ini menghubungkan seluruh ekosistem pelaku industri kesehatan untuk menciptakan satu data kesehatan nasional yang dapat diandalkan.
Selain itu, platform ini juga akan menjadi penghubung antarplatform aplikasi yang beragam pada berbagai pelaku industri kesehatan. Oleh karena itu, semua fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas, posyandu, laboratorium, klinik, dan apotek, harus mengikuti standar yang telah ditetapkan di platform Satu Sehat.
”Saat ini transformasi memang masih fokus ke layanan dari sisi perekaman medis. Akan tetapi, ke depan tentunya kita bisa menggabungkan faktor dari hewan atau tumbuhan. Jadi, sekarang kami membangun platform agar data-data rekam medis bisa digunakan secara optimal baik dari pengguna maupun fasilitas pelayanan kesehatan,” katanya.
Agus menekankan bahwa semua pihak harus memastikan keberlanjutan dari transformasi kesehatan digital ini. Dari implementasi yang dilakukan sampai sekarang, integrasi data kesehatan ke Satu Sehat juga sudah berjalan dengan baik, terutama di rumah sakit vertikal.
Komunikasi risiko
Koordinator Kelompok Kerja Komunikasi Risiko dan Keterlibatan Masyarakat (RCCE) Rizky Ika Syafitri mengatakan, pandemi telah membuktikan, komponen perubahan perilaku dan komunikasi risiko merupakan aspek yang sangat vital. Komunikasi risiko ini juga penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait protokol kesehatan, vaksinasi Covid-19, hingga penggunaan aplikasi Peduli Lindungi.
”Saat awal pandemi, para praktisi dan ahli di komunikasi risiko langsung mengetahui perlu ada satu pusat informasi yang kredibel. Jadi, sumber informasi yang akurat dan kredibel bisa menjadi rujukan semua orang, termasuk media dan masyarakat,” ucapnya.
Menurut Rizky, semua data yang dikumpulkan, termasuk di bidang kesehatan, juga harus diformulasikan agar menjadi pesan kunci yang bisa diterima masyarakat. Di sisi lain, ia juga mengakui bahwa memformulasikan data menjadi sesuatu yang bermakna membutuhkan upaya dan koordinasi kuat dari berbagai pihak.
”Promosi kesehatan kita perlu banyak perbaikan karena selama ini tenaga kesehatan selalu diberikan berbagai informasi teknis, tetapi tidak dibekali kemampuan komunikasi. Padahal, sekian banyak informasi teknis ini akan berakhir saat disampaikan ke masyarakat. Jadi, perlu menerjemahkan bahasa teknis yang kompleks menjadi sederhana,” tuturnya.