Penerima Bantuan Sosial Sebaiknya Bukan Perokok
Satu persen belanja rokok turut meningkatkan peluang kemiskinan rumah tangga sebesar 6 persen. Maka dari itu, seleksi penerima bantuan sosial perlu memasukkan indikasi bebas rokok.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F11%2F18%2F8285c416-da60-492f-9ba0-8ef5ae9847d6_jpg.jpg)
Barang bukti saat pemusnahan barang bukti rokok ilegal di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (18/11/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pengendalian konsumsi rokok pada penerima bantuan sosial di Indonesia belum optimal dijalankan. Pengawasan dan sistematika pemberian bantuan, penaikan harga rokok, serta pembatasan iklan rokok adalah kunci untuk menurunkan konsumsi rokok terhadap penerima bantuan sosial.
Keputusan Menteri Sosial Nomor 175 Pasal 7 Tahun 2022 tentang Pengendalian Konsumsi Rokok di Kementerian Sosial melarang pengeluaran dana bantuan sosial untuk membeli rokok. Dana bantuan sosial tersebut meliputi Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BNPT), Jaminan Kesehatan Nasional, Bantuan Langsung Tunai Bahan Bakar Minyak (BLT BBM), dan Bantuan Sosial Khusus.
Penerapan regulasi tersebut, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Aryana Satrya, mengalami sejumlah tantangan. Menurut Aryana, keluarga penerima bantuan sosial cenderung mengalami peningkatan konsumsi rokok.
”Rokok masih dijual murah dengan harga terjangkau, yakni Rp 2.000 per batang. Lalu, kemudahan akses untuk menjangkau rokok di warung-warung dan maraknya iklan rokok juga turut berpengaruh. Selain itu, masih ada petugas pendamping yang merokok, bahkan merokok di depan penerima bantuan sosial,” kata Aryana dalam webinar penyampaian hasil penelitian PKJS UI mengenai ”Penguatan Kebijakan Pengendalian Konsumsi Rokok pada Penerima Bantuan Sosial di Indonesia”, di Jakarta, Kamis (30/3/2023).

Para peserta dalam webinar penyampaian hasil penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia mengenai "Penguatan Kebijakan Pengendalian Konsumsi Rokok pada Penerima Bantuan Sosial di Indonesia", di Jakarta, Kamis (30/3/2023).
PKJS UI merupakan salah satu pusat kajian di bawah Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia yang berdiri sejak tahun 2015. Beberapa hasil penelitian dari PKJS UI ialah Pendanaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin: Evaluasi Ekuitas dalam Pendanaan Sistem Kesehatan di Indonesia, Roadmap Upaya Pengendalian Belanja Rokok dari Dana Bantuan Sosial, Bantuan Sosial, Rokok dan Indikator Sosial Ekonomi di Indonesia, dan lain sebagainya.
Berdasarkan hasil riset sebelumnya, konsumsi rokok berdampak bagi masyarakat miskin. Dalam Survei Ekonomi Nasional tahun 2019, rokok masuk ke urutan kedua sebagai konsumsi rumah tangga miskin. Data tersebut semakin diperkuat dengan penelitian PKJS UI yang menyebut, 1 persen belanja rokok meningkatkan peluang kemiskinan 6 persen rumah tangga.
”Kemudian, belanja rokok berpotensi mengurangi porsi belanja kebutuhan nutrisi rumah tangga lainnya. Pergeseran konsumsi dari uang makan ke rokok berkontribusi juga pada terjadinya stunting,” ujar Aryana.
Peneliti PKJS-UI, Risky Kusuma Hartono, menambahkan, untuk mengendalikan perilaku konsumsi rokok penerima bantuan sosial perlu dilakukan kerja sama dengan pelayanan kesehatan. Salah satunya dengan mewajibkan penerima bantuan sosial untuk mengunjungi klinik Upaya Berhenti Merokok (UBM).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F08%2F28%2Fd14b75e2-1add-4ff6-8595-d1df890d2076_jpg.jpg)
Pekerja menjemur tembakau di Kecamatan Gladagsari, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (28/8/2020).
Di sisi lain, kebijakan untuk menaikkan harga rokok dan meminimalkan variasi harga rokok juga perlu didorong. Selain itu, perlu juga penegasan regulasi mengenai larangan penjualan rokok per batang dan pengetatan penjualan rokok per bungkus.
”Kami mengusulkan agar kunjungan ke pelayanan UBM menjadi prasyarat menerima bantuan sosial. Mereka yang akan menerima bantuan wajib menunjukkan surat pernyataan dan tanda bukti berhenti merokok,” ujar Risky.
Iftita, perwakilan dari Bappenas, menambahkan, pernyataan tidak merokok perlu dibuktikan juga dengan hasil tes bebas nikotin. Keluarga juga mesti turut mendukung pelaksanaan program tersebut.
Komnas Pengendalian Tembakau, Nina Samidi, mengatakan, perokok dengan pendapatan rendah dapat menurunkan produktivitas investasi di masa depan. Konsumsi rokok juga berpengaruh terhadap garis kemiskinan sehingga jika penerima bantuan sosial itu perokok, hal tersebut akan menciptakan jurang kemiskinan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F01%2F24%2F7da7bdeb-6770-48ff-a51b-8bc98af8e7e1_jpeg.jpg)
Pemeriksaan CO udara pernapasan menjadi salah satu langkah awal untuk mendeteksi kondisi paru-paru perokok yang menjadi pasien di Klinik Berhenti Merokok di RS Persahabatan, Jakarta.
”Ini agak terlambat implementasi dari arahan tersebut dan itu pun masih berupa arahan lisan. Masih belum ada mekanisme implementasi arahan tersebut secara konkret. Tentu saja bisa dilanjutkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional mendatang,” ucap Nina.
Oleh sebab itu, lanjut Risky, pengawasan belanja rokok terhadap keluarga penerima dana bantuan sosial dapat diatur dalam regulasi yang lebih teknis. Peraturan tersebut membuat seputar reward and punishment terhadap konsumsi merokok.
Aryana mencontohkan, di China, pembelanjaan dana bantuan sosial hanya bisa di toko resmi yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Hal itu bisa dicontoh oleh Indonesia dengan menunjuk sejumlah toko-toko dengan tidak memperbolehkan pembelian rokok.
Baca juga: Pelarangan Penjualan Rokok Batangan Butuh Pengawasan Ketat
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F02%2F11%2F20060203aic0_1581397546_jpg.jpg)
Untuk mengatasi polusi udara, selain adanya pembatasan tempat merokok, juga ditegakkannya larangan merokok di tempat-tempat yang telah ditentukan.
Terkendala
Penguatan pengawasan penggunaan bantuan dana sosial mengalami sejumlah kendala, salah satunya terkendala sumber daya manusia. Di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, misalnya, hanya ada tigs orang pendamping untuk 1.100 penerima bansos.
Risna Kusumaningrum, selaku Pekerja Sosial Ahli Muda di Direktorat Jaminan Sosial Kementerian Sosial, menyampaikan, pengawasan tidak bisa dilakukan oleh pihak Kemensos semata. Perlu ada kolaborasi dari pihak lain, seperti keluarga, masyarakat, dan komunitas.
Setiap tahunnya rokok telah membunuh 290.000 orang karena di dalam rokok terdapat 4.000 bahan kimia. Lebih dari 52.000 kematian itu terjadi akibat paparan asap rokok. Secara keseluruhan, seperempat kematian laki-laki akibat rokok dan sebanyak 72 persennya kematian perempuan.
”Kami setuju dengan usulan dari penelitian ini, terutama terkait dengan penunjukan toko-toko penukaran dana bansos. Dengan begitu, pengawasan bisa lebih optimal, tetapi di Indonesia pembangunannya belum merata ke semua daerah sehingga penerapannya akan sulit,” kata Risna.
Risna menyebut, terdapat sekitar 10 juta keluarga penerima manfaat yang tersebar di seluruh Indonesia. Konsep penunjukkan toko-toko pembelian kebutuhan dari dana bansos tersebut dinilai hanya efektif di kota-kota besar.

Ketua Tim Kerja Penyakit Paru dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan Benget Saragih menyebut, jumlah perokok dewasa mencapai 72 juta orang tahun 2021. Sementara dari hasil riset kesehatan dasar tahun 2018, prevalensi perokok kelompok usia 10 tahun sampai 18 tahun mencapai 9,1 persen atau 1 dari 10 anak itu merokok.
”Setiap tahunnya, rokok telah membunuh 290.000 orang karena di dalam rokok terdapat 4.000 bahan kimia. Lebih dari 52.000 kematian itu terjadi akibat paparan asap rokok. Secara keseluruhan, seperempat kematian laki-laki akibat rokok dan sebanyak 72 persennya kematian perempuan,” kata Benget.
Selain itu, konsumsi rokok juga memberi sumbangsih terhadap kemiskinan, yakni sebesar 11,38 persen di perdesaan dan 12,22 persen di perkotaan. Lalu, pengeluaran keluarga miskin terhadap konsumsi rokok berpengaruh terhadap biaya pendidikan dan asupan nutrisi anak yang berujung pada tengkes.
Pada tahun 2024, target penurunan prevalensi perokok pada kelompok usia 10 tahun sampai 18 tahun sebesar 8,7 persen. Untuk itu, Kemenkes merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dengan menaikkan cukai dan nonfiskal, yakni peringatan kesehatan pada bungkus rokok sebesar 90 persen, melarang penjualan rokok pada anak dan ibu hamil, larangan penjualan rokok batangan, dan perluasan serta penerapan area bebas rokok di seluruh kabupaten/kota.

”Capaian UBM saat ini telah 76,57 persen atau 138 kabupaten/kota dengan yang memiliki layanan berhenti merokok lebih dari 44 persen. Kemensos kiranya perlu membuat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis mengenai pemeriksaan kesehatan terkait kadar nikotin sebagai komitmen penerima bantuan untuk berhenti dan tidak merokok,” kata Benget.
Kebijakan fiskal
Staf Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febri Pangestu mengatakan, kementerian keuangan berkomitmen untuk terus mendukung upaya pengurangan konsumsi rokok di Indonesia. Sebelumnya, Kemenkeu telah menyederhanakan tarif cukai dari 19 layer pada 2009 menjadi 8 layer pada 2022.
”Kami juga akan terus menaikkan tarif cukai setiap tahunnya dengan memperhatikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2020, kami menaikkan rata-rata sebesar 23 persen, lalu pada tahun 2021 sebesar 12,5 persen, kemudian pada tahun 2022 sebesar 12 persen, dan kenaikan sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan tahun 2024,” kata Febri.
Kenaikan pengenaan biaya cukai tersebut turut berdampak terhadap penurunan produksi rokok meski tidak terlalu signifikan. Penurunan terjadi dari tahun 2012 dengan volume rokok 348 miliar batang menjadi 323,9 miliar batang pada 2022.
Saat ini, pemerintah tengah menyiapkan aturan mengenai larangan rokok eceran. Kemenkeu bersama dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan telah memasukkan ketentuan tentang larangan tersebut dalam pembahasan konsep peta jalan pengelolaan produk hasil tembakau.
Walakin, tantangan lain muncul dari peredaran rokok ilegal dengan harga yang lebih murah sehingga menjadi alternatif pilihan para perokok di Indonesia. Pada tahun 2022, tercatat ada sekitar 5,5 persen produksi rokok ilegal di Indonesia.
Baca juga: Lebih dari 50 Persen Anak Kembali Merokok
”Oleh sebab itu, perlu ada penindakan terhadap produsen rokok ilegal. Di sisi lain, produksi rokok ilegal sebaiknya tersentralisasi dalam satu kawasan industri hasil tembakau. Mungkin akan menuai kritik, tapi ini dalam rangka melokalisasi industri rokok yang sporadis sekaligus mendatanya sebagai upaya untuk memberantas rokok ilegal,” ujar Febri.