Program guru penggerak merupakan cara untuk mempersiapkan pemimpin pendidikan masa depan. Namun, guru lebih memandang program ini sebagai kesempatan pengembangan diri menjadi guru yang lebih baik.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
PANGKALPINANG, KOMPAS – Program guru penggerak menjadi salah satu “tiket” bagi guru untuk menjadi pemimpin pendidikan di masa depan, entah sebagai kepala sekolah, pengawas, maupun penugasan lain di bidang pendidikan. Meskipun ada peluang bagi guru penggerak menjadi pimpinan di sekolah, mereka enggan terjebak dengan label memburu jabatan sebagai pimpinan sekolah.
Bahkan, tugas untuk menjadi kepala sekolah tidak serta-merta dengan antusias disambut para guru karena ada rasa khawatir mereka akan “terjebak” ke dalam tata kelola administrasi atau keuangan yang tidak tepat. Keikutsertaan dalam program guru penggerak (PGP) yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) secara umum lebih didorong karena kebutuhan peningkatan kompetensi diri karena minimnya pendidikan dan pelatihan guru.
Dua lulusan PGP angkatan ke-4 dari Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, Kepala SDN 8 Pangkalpinang Ria Anggreni dan Kepala SMAN 1 Mendobarat Sri Wantoro, Kamis (30/3/2023), mengaku mengikuti PGP pada 2021 untuk mendukung pengembangan diri sebagai pendidik. Selama ini, belum ada kegiatan pengembangan diri yang mengena bagi mereka.
Keduanya menjadi kepala sekolah pertama di Pangkalpinang dengan syarat memiliki sertifikat guru penggerak, selain sertifikat pendidik. Selama ini, untuk menjadi kepala sekolah harus diajukan oleh dinas dan mengikuti pelatihan kepala sekolah tingkat nasional di Solo, Jawa Tengah yang ditetapkan Kemendikbudristek.
“Baru di angkatan ke-4 ada guru dari Pangkalpinang yang masuk PGP. Saya ikut karena selama lebih dari 20 tahun menjadi guru merasa belum mendapat pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan. Apalagi, ini pelatihan tingkat nasional yang dilaksanakan selama sembilan bulan. Saya yakin ini bukan program main-main. Jadi, saat ikut karena membutuhkan, jauh dari pikiran untuk mengejar jabatan sebagai kepala sekolah,” kata Wantoro.
Hal senada disampaikan Ria yang juga pernah mendapatkan pelatihan menjadi kepala sekolah. Dia merasa belum menjadi pendidik yang baik dan ingin berkembang.
“Ada seleksi jadi PGP lebih untuk mendorong diri saya berkembang. Setelah saya bergabung, saya suka dengan modul-modulnya yang memang membantu saya untuk semakin memahami panggilan saya sebagai pendidik,” kata Ria.
Menurut Wantoro, dirinya awalnya tidak terpikir, bahkan pernah menolak untuk menjadi kepala sekolah. Padahal, guru bahasa Inggris ini sudah pernah menjadi wakil kepala sekolah. Berbagai pertimbangan pada tugas dan risiko menjadi kepala sekolah, membuat dirinya ragu-ragu pada awalnya.
“Justru dengan menjadi guru penggerak, muncul keberanian untuk menerima tanggung jawab. Saya harus berani untuk memantaskan diri dan ketika melakukan tugas sebagai kepala sekolah tidak asal-asalan,” ujar Wantoro.
Berdasarkan Permendikbudristek Nomor 40/2021, PGP bertujuan menghasilkan guru penggerak yang menjadi pemimpin pembelajaran guna mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, aktif, dan proaktif. Program ini berupaya mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada murid. Guru menjadi teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila.
Guru yang terpilih dari sekolah negeri maupun swasta, termasuk guru honorer, akan mendapat sertifikat guru penggerak yang kini dijadikan syarat saat pemerintah daerah menetapkan seorang guru menjadi kepala sekolah atau pengawas sekolah.
Sesuai ketentuan baru, guru penggerak siap diangkat menjadi kepala sekolah. Sebab, program yang dijalani selama enam bulan dari yang sebelumnya sembilan bulan, juga menyiapkan peserta menjadi pemimpin pendidikan. Pemerintah daerah terus didorong menyiapkan pimpinan sekolah dari PGP.
Sempat "parno”
Kepala Bidang Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan, Dinas Pendidikan Kota Pangkalpinang Novian Yuspandi, mengatakan, selama ini justru minat guru untuk menjadi kepala sekolah kurang. Ketika PGP dikaitkan dengan kemungkinan menjadi kepala sekolah ke depannya, banyak guru yang merasa “parno” (paranoid). Mereka merasa belum siap untuk dibebani tanggung jawab yang lebih tinggi dalam pengelolaan sekolah.
“Guru yang awalnya bersemangat jadi ragu untuk ikut PGP. Padahal, kami melihat program ini mampu menghasilkan guru-guru yang makin bermutu yang bisa didorong untuk menjadi kepala sekolah yang juga berfokus pada peningkatan mutu,” ujarnya.
Pengangkatan kepala sekolah dari guru penggerak masih minim. Hingga saat ini, Pangkalpinang baru memiliki 10 guru penggerak. Beberapa waktu ke depan akan ada 30 lulusan guru penggerak baru.
“Meskipun ada ketentuan pengangkatan kepala sekolah dari lulusan guru penggerak, bukan berarti selesai program langsung diangkat. Kami akan melihat dulu beberapa tahun ke depan bagaimana kontribusi dan karya mereka untuk meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah masing-masing,” ujar Novian.
Sementara itu, Asisiten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Pemerintah Kota Pangkalpinang Subekti mengatakan, pihaknya mendukung pengembangan sekolah-sekolah yang bermutu lewat pemilihan kepala sekolah yang juga berkualitas. “Kami yakin, guru penggerak adalah pemimpin pembelajaran yang terlatih. Kami siap mendukung lulusan guru penggerak menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah agar dapat mentransformasikan pendidikan di daerah guna mewujudkan layanan pendidikan berkualitas,” ujar Subekti.
Program yang merupakan rangkaian kebijakan Merdeka Belajar ini telah meluluskan 24.038 guru yang terbagi dalam lima angkatan program guru penggerak sejak tahun 2020. Sebanyak 3.000 di antaranya sudah menjabat kepala sekolah. Kemendikbudristek menargetkan akan ada 405.000 guru penggerak pada akhir 2024
Secara terpisah, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim terus mendorong pemerintah daerah untuk memprioritaskan guru penggerak menjadi kepala sekolah dan pengawas sekolah karena guru-guru penggerak ini dinilai mampu memberikan perubahan besar dalam dunia pendidikan. "Kita berikan mereka posisi sebagai pemimpin supaya bisa membuktikan dan mendorong gerakan transformasi pendidikan," kata Nadiem.
Kendati banyak guru penggerak masih berusia muda, tetapi mereka telah berhasil mengikuti pendidikan selama sembilan bulan dengan semua tantangan yang menempa karakter dan meningkatkan keterampilan kepemimpinan. “Seorang pemimpin itu harus berani mencoba dan melakukan perubahan, seperti halnya guru penggerak," kata Nadiem.
Di akhir tahun 2022, Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat Barlius mengatakan, guru penggerak memang diutamakan menjadi calon kepala sekolah dan pengawas sekolah, tetapi mereka mesti menunggu giliran untuk diangkat.
“Untuk rekrutmen kepala sekolah, kita tetap menjadikan guru penggerak itu menjadi calon. Namun, karena calon kepala sekolah sekarang sudah duluan punya Nomor Unik Kepala Sekolah/NUKS, tanpa mengurangi arti guru penggerak, itu yang akan kita dahulukan. Nanti gilirannya akan dapat untuk guru penggerak,” jelas Barlius.