Kesejahteraan dan Kualitas Fasilitas Kesehatan Perlu Dijamin
Selama ini keberadaan dokter spesialis terpusat di Pulau Jawa sehingga sebarannya tidak merata hingga ke daerah. Pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit dinilai jadi solusi.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Dokter spesialis mata di Malaka sedang melakukan operasi katarak di daerah itu beberapa waktu lalu. Dokter spesialis cukup tersedia di Malaka.
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit dianggap mampu mempercepat pemenuhan kebutuhan dokter di seluruh wilayah Indonesia secara merata. Untuk itu, kualitas rumah sakit di setiap daerah perlu ditingkatkan dan kesejahteraan dokter spesialis perlu dijamin sehingga mereka tidak tersentralisasi di wilayah tertentu.
Saat ini, total dokter spesialis di Indonesia berjumlah 51.959 orang yang sebagian besar berada di Pulau Jawa. Untuk mencapai target rasio dokter-penduduk 0,28:1.000 pada 2025, sedikitnya masih dibutuhkan 30.000 dokter spesialis. Dari 21 program studi spesialisasi dokter di 92 fakultas kedokteran, setiap tahunnya ada ada sekitar 2.700 lulusan dokter. Dengan jumlah lulusan per tahun sebanyak itu dibutuhkan waktu lebih kurang 10 tahun untuk memenuhi kebutuhan dokter spesialis.
Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kementerian Kesehatan Arianti Anaya mengatakan, jika dilihat per provinsi, ada 40 persen rumah sakit umum daerah (RSUD) yang belum memiliki tujuh dokter spesialis dasar. Tujuh dokter spesialis dasar tersebut ialah spesialis kebidanan dan kandungan (obstetri dan ginekologi), spesialis anak, spesialis bedah, spesialis penyakit dalam, spesialis anestesi, spesialis radiologi, dan spesialis patologi klinis.
”Hampir semua daerah masih kekurangan dokter spesialis dasar, kecuali DKI Jakarta. Jika ditambah spesialis lain, seperti jantung, itu baru memenuhi 15 persen dari kebutuhan, spesialis paru baru memenuhi 3 persen, dan spesialis urologi baru 9 persen. Sementara di Jakarta justru telah melebihi target,” ujar Arianti dalam Sosialisasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di Jakarta, Rabu (29/3/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kemenkes Arianti Anaya
Melalui RUU Kesehatan, pemerintah menawarkan solusi kekurangan jumlah dokter spesialis dengan menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis berbasis kompetensi untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan. Oleh karena itu, Kemenkes berencana menambah program studi spesialisasi dokter di sejumlah rumah sakit. Konsep tersebut, kata Arianti, telah diterapkan sejumlah negara.
Terdapat 3.100 rumah sakit yang bisa dimanfaatkan untuk dijadikan tempat penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis. Dalam penentuannya, Kemenkes akan berkerja sama dengan kolegium, perguruan tinggi, serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi agar pelaksanaan pendidikan sesuai dengan standar yang berlaku atau akreditasi.
”Lulusan-lulusannya akan mengisi kekurangan-kekurangan di setiap daerah. Kami sedang bekerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, serta Kementerian Dalam Negeri untuk mengatur ketentuan penempatan para calon dokter spesialis sehingga bisa diangkat langsung menjadi aparatur sipil negara daerah tersebut dan terikat kontrak di sana,” tutur Arianti.
Kenyataannya, saat mereka hendak kembali ke tempat yang memberikan beasiswa, justru tidak siap. Daerah tersebut mengatakan tidak bisa menerima dan membiarkan lulusan yang menerima beasiswa itu menunggu selama setahun dengan alasan sarana rumah sakit tidak memadai.
Wakil Dekan 1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan Dwiana Ocviyanti mengatakan, membuat program-program studi baru itu tidak mudah. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti sumber daya tenaga pendidik, kurikulum, kelengkapan fasilitas di rumah sakit, dan praktik studi kasus.
”Pendidikan profesi membutuhkan contoh teladan yang sempurna. Misalnya, ketika seseorang belajar berenang. Bagaimana dia bisa belajar berenang, tetapi yang mengajari hanya punya teori berenang tanpa pernah berenang. Dalam hal pendidikan dokter spesialis, mempunyai gelar S-3 saja tidak cukup,” kata Dwiana.
Terkait fasilitas di rumah sakit, Dwiana menyebut, pemerintah perlu menjamin dan menyiapkan kualitas di rumah sakit yang hendak dijadikan basis pendidikan. Lalu, perlu dipertimbangkan juga kapasitas penanganan kasus pasien karena dokter spesialis membutuhkan banyak studi kasus secara intens.
ICHWAN SUSANTO
Dwiana Ocviyanti, Guru Besar Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Menurut Dwiana, dari jumlah 3.100 rumah sakit yang ada di Indonesia, tidak semuanya siap menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis. Pada pasal 1 nomor 8, misalnya, tidak dijelaskan mengenai rumah sakit hanya sebagai penyelenggara pendidikan, tetapi hanya sebatas pelayanan kesehatan.
”Pemerintah itu harus bergerak sejak awal pendidikan, bukan hanya pada soal penempatan setelah lulusnya. Banyak mahasiswa yang tidak mengambil penempatan di rumah sakit umum daerah, tetapi memilih yang swasta. Lalu, ada juga yang memilih tidak melanjutkan pendidikan spesialis karena ingin memenuhi kebutuhan hidupnya,” ucap Dwiana.
Oleh karena itu, standar fasilitas dan pelayanan, baik RSUD maupun RS swasta, harus sama. Lalu, perlu juga diatur mengenai RS swasta yang sebaiknya mencetak sendiri dokter spesialisnya menggunakan biaya mereka.
Di sisi lain, dokter spesialis yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Perdosri) justru tidak terserap rumah sakit di daerah. Ketua Umum Pengurus Pusat Perdosri Rumaisah Hasan menyampaikan, beberapa rumah sakit di daerah justru tidak siap menerima dokter spesialis.
TANGKAPAN LAYAR
Data RSUD yang masih belum lengkap dengan tujuh dokter spesialis dasar.
”Kenyataannya, saat mereka hendak kembali ke tempat yang memberikan beasiswa, justru tidak siap. Daerah tersebut mengatakan tidak bisa menerima dan membiarkan lulusan yang menerima beasiswa itu menunggu selama setahun dengan alasan sarana rumah sakit tidak memadai,” kata Rumaisah.
Komite Hukum Perumahsakitan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Sutan Finekri Arifin Abidin menyampaikan, dokter spesialis yang hendak ditugaskan di daerah-daerah terpencil perlu mendapat jaminan keselamatan dan keamanan. Upaya menjamin keselamatan bisa dilakukan melalui kerja sama dengan pemerintah daerah atau dengan aparat yang bertugas di wilayah tersebut.
”Permasalahan dokter yang tidak merata atau terpusat di wilayah tertentu itu sudah terjadi sejak lama. Mereka berpikir tentang masa depan keluarganya, terutama anak. Ketika anak sudah besar, orangtua ingin memberikan pendidikan terbaik yang adanya hanya di kota-kota,” ujar Sutan.
Sebelumnya, keselamatan dan keamanan tenaga medis di wilayah terpencil juga turut dibahas dalam diskusi daring mengenai RUU Kesehatan oleh Forum Kajian Ketahanan Kesehatan Bangsa (FKKKB) pada Selasa (14/3/2023). Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Tengah Suyuti Syamsul mengatakan, distribusi tenaga medis ke wilayah-wilayah terpencil perlu didorong dengan pemberian kompensasi yang jelas, seperti jenjang karier, kesempatan bekerja di kota besar, dan studi lanjut.
”Sebagai pemerataan pelayanan kesehatan, pemerintah sebaiknya turut menjamin keselamatan, termasuk kesejahteraan tenaga kesehatan yang bertugas di daerah pelosok. Pemberian insentif juga dapat menjadi dorongan untuk mengisi wilayah-wilayah terpencil,” ujar Suyuti.