Usia emas anak menjadi kesempatan untuk membangun kecakapan dasar yang holistik. Karena itu, pendidikan anak usia dini hingga kelas awal SD perlu berkesinambungan untuk mendorong anak belajar dengan rasa bahagia.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Siswa PAUD dikenalkan dengan literasi lewat buku bacaan dan dongeng berbahasa ibu. Kemampuan calistung anak usia dini perlu dikenalkan dengan cara-cara menyenangkan dan bertahap.
Kemampuan kognitif selama ini diagung-agungkan dalam proses pendidikan, bahkan sejak anak usia dini, di masa usia emas atau golden age. Demi mengejar kemampuan membaca, menulis, dan menghitung atau calistung yang menjadi tuntutan pendidikan di kelas 1 SD, pembelajaran di jenjang pendidikan anak usia dini atau PAUD selama ini lebih fokus untuk mengasah kecakapan kognitif dalam arti sempit.
Tidak hanya guru PAUD, bahkan orangtua pun terjebak dalam lingkaran menekankan penguasaan calistung secara instan lewat les tambahan bagi anak-anak usia dini. Padahal, di fase usia emas anak, mereka membutuhkan lingkungan belajar yang mendukung tumbuh kembang dan potensi anak secara holistik.
Di usia dini, berbagai kemampuan dasar untuk kesiapan belajar mesti dipersiapkan. Sebab, melalui lingkungan belajar yang berkualitas dan nyaman diharapkan terbentuk fondasi karakter unggul yang akan membantu mereka lebih siap memasuki jenjang pendidikan pada fase-fase berikutnya dengan penuh semangat dan bahagia.
Ada enam kemampuan fondasi anak yang diyakini penting dibangun di jenjang PAUD hingga kelas awal SD. Anak-anak diperkuat untuk mengenal nilai agama dan budi pekerti; keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi; kematangan emosi untuk kegiatan di lingkungan belajar; kematangan kognitif untuk melakukan kegiatan belajar seperti kepemilikan dasar literasi dan numerasi; pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri untuk berpartisipasi di lingkungan belajar secara mandiri; serta pemaknaan terhadap belajar yang positif.
Guru SD Inpres Purwodadi, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, Muhammad Yasin Damang; dan guru TK Darul Amin, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, Neli Purwani, mengakui, adanya tes calistung sebagai bagian dari penerimaan peserta didik baru (PPDB) membuat sebagian guru dan orangtua menganggap kemampuan calistung adalah hal yang wajib. Banyak orangtua yang memberikan les tambahan kepada anak usia PAUD sebagai persiapan sebelum masuk ke jenjang SD. Lembaga PAUD pun merasa harus memastikan lulusan PAUD sudah menguasai calistung.
Hal tersebut disampaikan Yasin dan Neli dalam acara gelar wicara seusai peluncuran Merdeka Belajar Episode 24 : Transisi PAUD ke SD Yang Menyenangkan di Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Anak-anak PAUD dari Yayasan Alfa-Omega mengikuti arahan guru dalam bermain, sambil belajar. Guru dilatih menggunakan bahan-bahan lokal yang mudah diperoleh dan dikenal anak-anak.
Titik terang
Neli menjelaskan, dalam menciptakan masa transisi PAUD–SD yang lebih baik, sekolahnya melakukan temu konsultasi dengan melibatkan guru PAUD, guru SD kelas awal, dan orangtua untuk mendudukkan pemahaman yang sama tentang kebijakan ini dan mengatasi adanya miskonsepsi.
”Dari pertemuan ini dijelaskan bahwa tidak ada tuntutan untuk menguasai calistung ketika anak masuk SD. Kemudian, ada kunjungan dari PAUD ke SD terdekat untuk meninjau langsung kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, anak-anak PAUD akan lebih siap memasuki lingkungan belajar di SD,” ujar Neli.
Neli menilai, kebijakan transisi PAUD ke SD yang menyenangkan tersebut menjadi titik terang atau solusi atas miskonsepsi yang selama ini terjadi. Ia mengajak para guru di seluruh Indonesia untuk menyukseskan gerakan transisi PAUD-SD yang menyenangkan guna mengantarkan anak-anak PAUD ke jenjang pendidikan dasar dengan lebih bahagia.
Sementara itu, Yasin mengatakan, selama ini muncul sikap saling menyalahkan antara guru SD dan PAUD jika siswa yang baru masuk SD belum mampu calistung. Ia berharap, dengan diluncurkannya kebijakan ini tidak ada lagi saling menyalahkan antara guru SD dan PAUD. Sebab, dalam masa transisi yang dibutuhkan adalah antarpemangku kebijakan perlu saling bersinergi dalam memberikan hak belajar bagi anak-anak.
Menurut Yasin, para guru dapat memanfaatkan alat bantu yang disediakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui platform Merdeka Mengajar (PMM) dan laman Merdeka Belajar untuk menggali inspirasi.
Setelah menggunakan alat bantu pembelajaran, dia menyadari bahwa konsep literasi ternyata jauh lebih luas dari sekadar baca tulis. Demikian juga aspek numerasi ternyata lebih luas dari sekadar berhitung.
Ada aspek kemampuan lain yang tidak kalah penting yang perlu dikuasai anak-anak. Sebab, anak-anak dengan karakteristik yang beragam harus menjalani proses pembelajaran secara utuh sesuai haknya.
Dari pertemuan ini dijelaskan bahwa tidak ada tuntutan untuk menguasai calistung ketika anak masuk SD.
”Seluruh proses inilah yang patut dihargai, bukan sekadar melihat pada hasil akhir capaian anak,” kata Yasin.
Menurut Yasin, di sekolahnya dirancang masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) dalam bentuk permainan atau kegiatan yang menyenangkan untuk menjembatani persiapan masa transisi siswa sesuai dengan tahap perkembangan usia mereka. ”Ini supaya mereka tidak terlalu jauh dalam beradaptasi,” katanya.
Kepala Sekolah Alam Manusak, Nusa Tenggara Timur, Yahya Ado menyampaikan apresiasi atas penerapan enam kemampuan fondasi. ”Pendidikan di masa PAUD sangat penting sebagai fondasi yang menyokong kehidupannya di masa-masa berikutnya. Kebijakan ini sangat mendukung untuk memahami karakter anak dan mendukung growth mindset. Dengan demikian, setiap tahapan pembelajaran pada anak harus dihargai,” ucapnya.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Lucia Royanto, berbagi kemampuan fondasi yang perlu dimiliki oleh anak usia dini. ”Keenam kemampuan fondasi anak didasarkan pada aspek perkembangan anak berdasarkan Profil Pelajar Pancasila yang harus diterapkan secara holistik,” ujar Lucia.
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menegaskan, pendidikan bagi peserta didik PAUD bukan hanya mengedepankan kemampuan kognitif. Pendidikan bagi anak usia dini juga harus mengasah kemampuan peserta didik yang bersifat holistik yang mencakup kematangan emosi, kemandirian, dan kemampuan berinteraksi.
Kebijakan transisi PAUD-SD yang menyenangkan dari Kemendikbudristek mengatur tiga target perubahan mulai tahun ajaran baru 2023/2024. Di masa transisi tersebut tidak ada tes calistung saat PPDB dan sekolah mesti menerapkan masa perkenalan untuk peserta didik baru agar lebih mudah beradaptasi.
Masa perkenalan diisi dengan kegiatan pembelajaran berisi informasi kebutuhan anak sesuai dengan rambu-rambu asesmen awal yang ada di alat bantu pembelajaran pada dua minggu pertama di awal tahun ajaran baru. Lalu, guru perlu merancang kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, membangun kemampuan fondasi, dan meniadakan tes.
Rasa bahagia
Sitti N Sitania dari Dinas Pendidikan Kabupaten Buru, Maluku, menyambut baik kebijakan transisi PAUD ke SD. Kebijakan ini memungkinkan anak-anak yang tidak pernah masuk PAUD untuk tetap mendapat pembinaan yang meliputi kemampuan fondasi secara holistik. Untuk itu, pihaknya melakukan sosialisasi dengan guru PAUD, SD, dan orangtua karena suksesnya kebijakan ini menjadi tanggung jawab seluruh elemen pendidikan.
Sitti mengimbau agar semakin banyak daerah membentuk forum komunikasi (forkom) di tingkat kecamatan untuk mempermudah akses pendidikan. ”Sangat penting agar anak-anak menjalani pembelajaran dengan rasa bahagia sehingga pembelajaran menjadi pengalaman yang menyenangkan,” ujar Sitti.
I Wayan Wirawan dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Badung, Bali, mengatakan, adanya forum komunikasi PAUD-SD sangat membantu dalam menguatkan kemitraan dan advokasi. Disdikpora di wilayahnya membentuk forkom PAUD-SD yang melibatkan berbagai unsur guna memberi penguatan ekosistem pendidikan yang positif.
Lebih lanjut Wayan mengatakan, pihaknya juga melakukan evaluasi terhadap praktik calistung yang melampaui batas bagi anak-anak PAUD untuk mencegah proses pembelajaran yang keras dan sifatnya memaksa peserta didik (drilling).
”Anak-anak harus mendapatkan pendidikan yang sesuai. Mari kita berkolaborasi melalui forkom yang melibatkan kepala desa, pemerhati pendidikan, yayasan pendidikan swasta secara masif dan terus menerus agar permasalahan transisi ini bisa diatasi bersama,” ujar Wayan.