Lebih dari 50 Persen Masyarakat Indonesia Konsumsi Garam Berlebihan
Sebanyak 53,5 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi garam melebihi batas yang dianjurkan, yakni kurang dari 2.000 miligram per hari. Konsumsi garam yang tinggi dapat menyebabkan hipertensi, jantung, dan, stroke.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Aneka makanan, minuman, dan camilan yang kerap dibeli di mal dan kedai kaki lima. Perlu diperhatikan besar kalori tiap makanan yang dianjurkan untuk dikonsumsi setiap hari agar dapat meminimalisasi risiko penyakit akibat makan berlebihan.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan menganjurkan batasan konsumsi garam atau natrium tidak boleh lebih dari 2.000 miligram per hari. Konsumsi garam yang berlebihan dapat meningkatkan risiko hipertensi, penyakit jantung dan stroke, serta kematian akibat penyakit tersebut. Namun, data menunjukkan lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi garam lebih dari batasan yang dianjurkan.
Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Eva Susanti mengatakan, sebanyak 53,5 persen masyarakat mengonsumsi garam lebih dari 2.000 miligram per hari. Tingginya konsumsi garam di masyarakat patut diwaspadai karena dapat meningkatkan risiko hipertensi. Konsumsi garam berlebihan juga dapat meningkatkan risiko kematian akibat jantung dan stroke.
”Dari penelitian pola konsumsi makanan dan asupan ggl (gula, garam, dan lemak) di Jakarta Selatan, sumber asupan garam dan lemak paling banyak dari jajanan pinggir jalan atau restoran atau cepat saji,” katanya dalam acara Seminar Nasional Hipertensi yang diselenggarakan Asosiasi Dinas Kesehatan secara daring di Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Sumber asupan garam dan lemak paling banyak dari jajanan pinggir jalan atau restoran atau cepat saji.
Berdasarkan data Survei Diet Total 2014, prevalensi konsumsi garam paling tinggi di Indonesia pada masyarakat di Nusa Tenggara Barat, yakni 66,8 persen. Selain itu, konsumsi garam yang tinggi juga dilaporkan di Kepulauan Bangka Belitung (66,4 persen), DKI Jakarta (66,1 persen), Sulawesi Tenggara (62 persen), Sumatera Selatan (60,5 persen), dan Sumatera Barat (60,1 persen).
Eva menyampaikan, berbagai upaya perlu dilakukan untuk mengurangi konsumsi garam, gula, dan lemak di masyarakat untuk mencegah berbagai penyakit tidak menular yang terkait dengan pola diet tersebut. Pemerintah saat ini tengah menyiapkan aturan reformulasi produk makanan dan minuman. Ketersediaan makanan dan minuman yang rendah gula, garam, dan lemak juga terus didorong, terutama di lingkungan sekolah, tempat kerja, supermarket, restoran, dan ruang publik lainnya.
”Saat ini pemerintah juga tengah menyiapkan kebijakan fiskal pada makanan dan minuman dengan kandungan gula, garam, dan lemak yang tinggi. Bersamaan dengan itu, promosi mengenai makanan dan minuman sehat juga ditingkatkan agar pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi makanan rendah gula, garam, dan lemak bisa lebih baik,” tuturnya.
Hipertensi
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menuturkan, upaya membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak amat diperlukan untuk mencegah faktor risiko penyakit tidak menular. Penetapan batasan konsumsi tersebut telah tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Dalam aturan tersebut, konsumsi garam juga dibatasi.
Menurut Dante, konsumsi garam berlebihan merupakan faktor utama risiko hipertensi. Kondisi hipertensi di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Prevalensi hipertensi meningkat dari sebelumnya 28,5 persen pada 2013 menjadi 34,1 persen pada 2018.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petugas memeriksa tekanan darah warga yang mengikuti kegiatan Pos Pembinaan Terpadu untuk Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM) di Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Sabtu (25/8/2018). Kegiatan pelayanan kesehatan bagi warga berusia 17-60 tahun ini merupakan upaya deteksi dini terhadap sejumlah penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, stroke, jantung, dan ginjal.
”Hipertensi merupakan faktor risiko utama penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskular ini menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia juga di Indonesia. Setidaknya ada 651.000 kematian per tahun akibat penyakit kardiovaskular di Indonesia, termasuk karena stroke, jantung koroner, jantung hipertensi, dan penyakit kardiovaskular lainnya,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Dinas Kesehatan M Subuh menyampaikan, fokus pengendalian hipertensi di Indonesia perlu ditingkatkan. Selain upaya pencegahan, hipertensi pada masyarakat juga harus dikendalikan untuk mengurangi risiko komplikasi penyakit yang lebih buruk. Namun, persoalan yang dihadapi saat ini hanya sepertiga dari sekitar 86 juta kasus hipertensi yang terdiagnosis.
”Banyak masyarakat yang tidak terdiagnosis karena ketidaktahuan akan hipertensi serta keterbatasan pada akses pelayanan kesehatan. Hipertensi memang tidak bisa disembuhkan tetapi bisa dikendalikan untuk menghindari berbagai komplikasi yang berakibat fatal yang bisa menjadi beban ekonomi dan sosial pada masyarakat,” katanya.
Pemeriksaan
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat dapat memanfaatkan layanan pemeriksaan untuk penapisan penyakit kronis seperti hipertensi. Program JKN-KIS kini tidak lagi hanya bisa dimanfaatkan untuk layanan pengobatan saja, tetapi juga untuk pencegahan di tingkat primer dan sekunder.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Petugas medis memeriksa tekanan darah seorang lansia sebelum menerima suntikan Covid-19 dosis pertama dalam vaksinasi massal bagi lansia di Balai Besar Pelatihan Kesehatan di Jkarta, Rabu (24/3/2021). Animo lansia yang mengikuti vaksinasi massal Covid-19 cukup tinggi.
BPJS Kesehatan pada 2023 telah menganggarkan sekitar Rp 9 triliun untuk meningkatkan kapasitas layanan penapisan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat primer yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Diharapkan masyarakat dengan penyakit tidak menular seperti hipertensi bisa terdiagnosis lebih dini sehingga penanganan bisa lebih cepat diberikan. Dengan begitu, risiko penyakit yang lebih berat dengan biaya yang lebih tinggi bisa dicegah. Penyakit jantung dan stroke telah menghabiskan biaya sekitar Rp 10,4 triliun atau sekitar 61 persen dari seluruh biaya untuk penyakit katastropik.
”Bagi peserta yang memang memiliki hipertensi atau penyakit metabolik lain juga bisa mendapatkan layanan prolanis (pengelolaan penyakit kronis). Layanan ini untuk membantu masyarakat dalam mengelola kesehatannya agar tidak mengalami komplikasi yang lebih buruk,” tutur Ghufron.