UU Cipta Kerja Sah, Masyarakat Desa dan Buruh Semakin Resah
Kelompok petani, nelayan, masyarakat adat, dan buruh menilai UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi aktif masyarakat sehingga tidak akan berbuah baik untuk masyarakat.
Oleh
Stephanus Aranditio
·5 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA (BAH)
Pengunjuk rasa dari berbagai kelompok aksi melewati Jalan Basuki Rahmat saat akan menuju Gedung Grahadi, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (20/10/2020). Pengunjuk rasa yang datang dari golongan buruh, aktivis, mahasiswa, dan petani mengajak masyarakat untuk menolak omnibus law dan RUU Cipta Kerja. Unjuk rasa berlangsung tertib dan damai.
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat perdesaan dan kaum buruh menolak keputusan DPR yang menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk disahkan menjadi undang-undang saat perppu tersebut sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Kelompok petani, nelayan, masyarakat adat, dan buruh merasa aturan yang tidak melibatkan partisipasi aktif masyarakat tidak akan berbuah baik untuk masyarakat.
Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, mengatakan, UU Cipta Kerja akan berdampak buruk bagi masyarakat perdesaan dan kaum buruh. Perlindungan kerja kepada petani akan melemah dan komoditas pangan impor akan semakin mengimpit petani lokal. Misalnya, Pasal 30 Ayat 1 UU Cipta Kerja yang membuka lebar keran impor pangan sehingga petani dibiarkan bersaing di pasar bebas dengan kekuatan korporasi atau pemodal besar di bidang pangan.
Selain itu, sanksi dua tahun penjara dan denda Rp 2 miliar bagi pengimpor komoditas pertanian saat hasil komoditas lokal masih mencukupi juga dihapus dalam UU Cipta Kerja. Sanksi itu sebelumnya ada dalam Pasal 101 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Petani khawatir undang-undang yang dibuat dengan metode omnibus law ini akan semakin mengimpit lapangan pekerjaan mereka. Produksi dalam negeri akan mati, benih lokal menghilang, hingga lahan pertanian tergusur pembangunan atas nama investasi.
UU Cipta Kerja juga mengancam area tangkap ikan bagi nelayan kecil karena tidak ada batasan yang jelas. Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga tidak lagi wajib melibatkan konsultasi aktif dengan publik. Dampaknya, kerusakan lingkungan.
”Sebelum ada UU Cipta Kerja saja desa-desa ini sudah dihajar dengan investasi yang ugal-ugalan, sementara UU ini mencakup banyak sekali sendi di masyarakat,” kata Sri dalam peluncuran buku modul untuk rakyat berjudul Memahami dan Melawan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jakarta, Jumat (24/3/2023).
STEPHANUS ARANDITIO
Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, menjelaskan potensi dampak UU Cipta Kerja terhadap masyarakat desa dan buruh dalam peluncuran buku modul untuk rakyat berjudul Memahami dan Melawan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jakarta, Jumat (24/3/2023).
Kelompok nelayan, petambak, dan masyarakat pesisir juga senasib dengan petani. Definisi nelayan kecil yang sebelumnya dalam UU No 45/2009 dibatasi dengan ukuran kapal maksimal 5 gros ton, di dalam UU Cipta Kerja tidak dibatasi lagi. Nelayan kecil hanya dianggap nelayan yang mencari ikan untuk kebutuhan sehari-hari.
Hal ini berarti perlindungan terhadap nelayan terancam karena akan terjadi penyamarataan antara nelayan kecil dan nelayan bermodal. Definisi yang tidak jelas ini menimbulkan ketidakadilan karena izin berusaha untuk nelayan besar tidak menjadi masalah.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga mengancam area tangkap ikan bagi nelayan kecil karena tidak ada batasan yang jelas. Pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga tidak lagi wajib melibatkan konsultasi aktif dengan publik. Dampaknya, kerusakan lingkungan.
Sri menyebut, UU Cipta Kerja juga telah banyak menghapus, mengubah, dan menyisipkan beberapa ketentuan di dalam UU yang terkait dengan masyarakat hukum adat, seperti UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU No 39/2014 tentang Perkebunan, dan UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
”Misalnya, UU Cipta Kerja membuat badan usaha milik desa (BUMDes) bisa dimasuki modal asing karena frasa dimiliki oleh masyarakat itu dihapus. Tanpa UU Cipta Kerja saja desa-desa itu sebenarnya sudah banyak dikooptasi oleh modal, sementara desa ini sangat lemah dan nyaris tidak ada perlindungan,” ucap Sri.
STEPHANUS ARANDITIO
Aktivis buruh Nining Elitos menjelaskan potensi dampak UU Cipta Kerja terhadap masyarakat desa dan buruh dalam peluncuran buku modul untuk rakyat berjudul Memahami dan Melawan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jakarta, Jumat (24/3/2023).
Aktivis buruh Nining Elitos juga mengecam pengesahan UU Cipta Kerja. Menurut dia, buruh akan kehilangan kepastian kerja, ekonominya semakin tertekan karena upah akan semakin rendah, sedangkan beban kerja bertambah, hingga nilai tawar buruh terhadap perusahaan dan pemerintah akan merosot.
Nining menilai, UU Cipta Kerja diciptakan untuk kepentingan pengusaha. Suara-suara penolakan dari masyarakat, mulai dari jalanan hingga jalur uji materi di Mahkamah Konstitusi, tidak didengar. Bahkan, suara masyarakat dibungkam dengan surat telegram Kepala Polri yang menginstruksikan anggota kepolisian untuk melawan narasi anti-UU Cipta Kerja di masyarakat.
”Kekuasaan hari ini semakin culas dan mereka tidak butuh rakyat. Yang mereka butuhkan hanya investasi, tetapi mengorbankan aspek yang lebih besar, yaitu persoalan kemanusiaan yang adil dan sejahtera,” kata Nining.
STEPHANUS ARANDITIO
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan potensi dampak UU Cipta Kerja terhadap masyarakat desa dan buruh dalam peluncuran buku modul untuk rakyat berjudul Memahami dan Melawan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Jakarta, Jumat (24/3/2023).
Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi aktif masyarakat, maka tidak akan berbuah baik untuk masyarakat. Studi Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) tahun 2020 di lima negara, yakni Selandia Baru, Jerman, Kanada, Amerika Serikat, dan Inggris, menunjukkan, metode omnibus law membuat kelompok kritis di parlemen dan masyarakat tidak mempunyai ruang untuk memberi masukan.
”Metode omnibus ini sudah ditinggalkan di beberapa negara. Kalau dipakai, ya dipakai untuk tujuan yang buruk karena menyembunyikan potensi dampaknya dan membuat pembahasannya tidak partisipatif,” kata Bivitri.
Dia menilai, seharusnya aturan hukum dibuat untuk menyetarakan kelompok masyarakat, bukan hanya condong berat sebelah bagi sekelompok masyarakat saja. Sikap pemerintah dan DPR yang terus mengesahkan UU Cipta Kerja dengan berbagai cara meski dinyatakan inkonstitusional oleh MK juga membuktikan suara masyarakat tidak dipertimbangkan dalam undang-undang ini.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) menyerahkan pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani saat rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/3/2023). DPR menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk disahkan menjadi undang-undang. Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menolak pengesahan itu. Rapat dihadiri 75 anggota DPR secara fisik, sebanyak 210 anggota hadir secara daring, dan 95 orang tidak hadir dan izin.
Pengesahan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU ini tidak disetujui secara bulat karena mendapat penolakan dari dua fraksi, yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Rapat paripurna dipimpin langsung Ketua DPR Puan Maharani bersama Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Rahmat Gobel, dan Lodewijk F Paulus, Selasa (21/3/2023). Rapat juga dihadiri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai wakil pemerintah.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang sejak awal menolak Perppu Cipta Kerja memutuskan walk out, meninggalkan ruang rapat paripurna di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, setelah suara mereka tak didengarkan mayoritas fraksi lain. Sementara sejumlah anggota Fraksi Partai Demokrat menghujani rapat paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023 itu dengan interupsi saat Ketua DPR Puan Maharani akan mengesahkan persetujuan Perppu Cipta Kerja menjadi UU.