Pengurangan emisi di tahun 2030 membutuhkan biaya sebesar Rp 343 triliun per tahun. Anggaran yang dialokasikan oleh Indonesia untuk mitigasi pengurangan karbon baru sebesar 13 persen atau Rp 44,59 triliun.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Sesi tanya jawab dalam forum diskusi Thought Leadership Forum ke-27 bertajuk Membuka Investasi Swasta untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Hijau di Indonesia: Peran Pembiayaan Berkelanjutan”, di Jakarta, Jumat (24/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masih membutuhkan pendanaan mitigasi penurunan emisi karbon agar dapat mencapai target penurunan emisi sebesar 32 persen pada 2030. Pendanaan di luar Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau APBN, seperti investasi dari pihak swasta, perlu didorong untuk mencapai target tersebut.
Indonesia kembali meningkatkan target pengurangan emisi GRK pada 23 September 2022. Peningkatan Nationally Determined Contribution (NDC) atau enhanced NDC itu sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Pengamat kebijakan fiskal, Ayudya Rachman, dalam forum diskusi Thought Leadership Forum ke-27, Jumat (24/3/2023), menyampaikan, pendanaan hijau atau green financing merupakan salah satu elemen yang dapat menunjang tercapainya target NDC. Namun, pendanaan hijau di Indonesia dinilai masih minim.
”Indonesia masih memerlukan pendanaan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini karena alokasi dari APBN baru sebesar 13 persen,” katanya dalam forum diskusi bertajuk ”Membuka Investasi Swasta untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Hijau di Indonesia: Peran Pembiayaan Berkelanjutan” yang diadakan oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) di Jakarta.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Para pembicara berfoto bersama dalam forum diskusi Thought Leadership Forum ke-27 bertajuk Membuka Investasi Swasta untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Hijau di Indonesia: Peran Pembiayaan Berkelanjutan, di Jakarta, Jumat (24/3/2023).
Padahal, anggaran yang dibutuhkan pemerintah untuk penurunan emisi karbon adalah sebesar Rp 343 triliun per tahun. Berdasarkan APBN 2020 baru, alokasi dana untuk mitigasi pengurangan karbon baru sebesar 13 persen. Artinya, pemerintah perlu menghimpun dana sebanyak Rp 298,41 triliun.
Lead Financial Sector Economist World Bank Francesco Strobbe menjelaskan, pendanaan hijau di Indonesia masih belum ideal. Angka kredit berdasarkan pendapatan domestik bruto di Indonesia baru sekitar 38 persen dari rata-rata dunia sebesar 200 persen.
”Dari angka tersebut, untuk alokasi pendanaan hijau hanya 2 persen. Itu masih sangat jauh sekali karena minimalnya, untuk pendanaan hijau, alokasi suatu negara ada di angka 10 persen,” katanya.
Investasi hijau itu sangat mahal dan kita harus detailkan lagi apa saja instrumen di dalamnya. Pasar secara global gagal untuk menerapkannya. Oleh sebab itu, peran dari Bank Dunia dalam meminimalkan risiko investasi hijau itu sangat penting.
Executive Director YKAN Herlina Hartanto mengatakan, komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon harus didorong dengan dana swasta. Dana swasta dapat terkumpul baik melalui regulasi yang dibuat oleh pemerintah maupun peran lembaga keuangan internasional.
”Kemitraan adalah kunci untuk mencapai keberhasilan. Kemitraan itu bisa dilakukan dengan menggandeng lembaga filantropi yang berperan untuk mengurangi risiko investasi, pemerintah yang berperan untuk memberikan insentif, dan lembaga swadaya masyarakat yang dapat turut meningkatkan kapasitas dan memberikan informasi kepada masyarakat,” tutur Herlina.
Herlina menambahkan, pemerintah dan pelaksana proyek perlu meningkatkan perhatiannya terhadap pemantauan dan pengukuran. Ini karena pemantauan merupakan hal yang esensial dalam berbagai proyek pembangunan hijau terkait seberapa besar implementasinya terhadap dampak lingkungan.
Tantangan
Untuk menghimpun dana sebesar itu, pemerintah perlu membangun kerja sama dengan berbagai pihak, seperti lembaga nonpemerintah pemerhati lingkungan, perusahaan swasta, dan masyarakat. Hal itu disampaikan oleh Global Head, Impact Finance and Markets The Nature Conservancy Matt Arnold.
Menurut Arnold, penghimpunan dana tersebut memiliki beberapa kendala, baik dari investasi hijau yang cenderung berisiko tinggi, kemampuan sumber daya manusia yang terbatas, maupun keterbatasan teknologi. Sementara bagi beberapa perusahaan, teknologi dalam investasi hijau masih gagal dalam mengurangi konsumsi energi.
”Investasi hijau itu sangat mahal dan kita harus detailkan lagi apa saja instrumen di dalamnya. Pasar secara global gagal untuk menerapkannya. Oleh sebab itu, peran dari Bank Dunia dalam meminimalkan risiko investasi hijau itu sangat penting,” ujar Arnold.
Mengacu pada Laporan Net Zero Investment in Asia Third Edition yang dirilis Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC), terdapat kendala dalam pendanaan investasi hijau. Kendala tersebut antara lain minimnya peralatan untuk mengukur dampak hijau, minimnya permintaan klien atas investasi hijau dan peluang yang tidak sebanding dengan risiko karena pembiayaan memakan waktu lama.