Kesadaran multikultural harus tumbuh dalam diri tiap warga negara, yang dapat dilakukan di lingkungan sekolah. Guru diajak untuk memperkuat perannya dalam mengatasi intoleransi di negara ini.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
DOKUMENTASI INSTITUT LEIMENA
Para guru madrasah di bawah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dan para guru dari Sekolah Kristen Tritunggal Semarang mengikuti lokakarya Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Semarang, Jawa Tengah, yang digelar Institut Leimena pada 17-19 Maret 2023.
JAKARTA, KOMPAS – Kesadaran multikultural harus dikuatkan di lingkungan sekolah karena setiap orang dengan latar belakang apa pun memiliki persamaan dalam haknya sebagai warga negara. Di sinilah peran guru untuk dapat menumbuhkan dan mendorong kesadaran multikultural dengan membangun semangat empati, kesetaraan, dan toleransi kepada peserta didik.
Dukungan bagi para guru untuk dapat membangun kesadaran multikultural di sekolah dilakukan lewat kegiatan lokakarya Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) Keenam pada 17-19 Maret 2023. Lokakarya yang digelar Institut Leimena Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) ini kali ini berfokus pada program dan rencana pelaksanaan pembelajaran untuk memperkukuh kebebasan beragama dan supremasi hukum.
Lokakarya secara luring dan daring dari Semarang, Jawa Tengah, ini diikuti sebagian besar guru madrasah di bawah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dan guru dari Sekolah Kristen Tritunggal Semarang. Para guru peserta lokakarya diajak mengunjungi dua tempat ibadah di Semarang, yaitu Masjid Agung Kauman dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Stadion, untuk berdialog lintas agama.
Pendidikan multikultural harus mampu mendorong sikap yang inklusif, toleransi, dan terbuka terhadap berbagai keragaman,
”Bapak ibu guru di sini adalah lilin-lilin agar kita bisa bersama-sama menerangi bangsa ini kepada penegakan hukum,” kata Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho, Minggu (19/3/2023).
Direktur Penguatan dan Diseminasi Hak Asasi Manusia Kemenkumham Sri Kurniati Handayani Pane mengakui, keragaman di Indonesia sering kali menumbuhkan konflik dan kekerasan. Karena itu, pendidikan harus mampu mendorong adanya etika untuk membangun konsensus dalam masyarakat.
”Kebutuhan akan konsensus ini bertujuan untuk menghormati perbedaan tanpa melanggar prinsip dari kesamaan dan hak individu. Selain itu, pendidikan multikultural harus mampu mendorong sikap yang inklusif, toleransi, dan terbuka terhadap berbagai keragaman,” katanya.
Menurut Sri Pane, tidak boleh satu kelompok mendominasi dan melanggar hak kelompok yang lain. Kelompok mayoritas tidak boleh melakukan hegemoni kepada kelompok minoritas.
”Semua ini menjadi penting dalam pendidikan sehingga tidak ada diskriminasi atas dasar ras, etnis, agama, maupun jender,” ujarnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mural bertema rumah ibadah lintas agama tergambar di sebuah gang di Kedawung, Depok, Jawa Barat, Minggu (15/1/2023).
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden sekaligus Guru Besar HAM dan Gender Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Siti Ruhaini Dzuhayatin menekankan pentingnya pembelajaran di sekolah yang mengedepankan sensitivitas terhadap hak kebebasan beragama dan supremasi hukum. Sebab, tantangan untuk menjaga kemajemukan bangsa semakin kompleks, terlebih dengan masifnya media sosial yang berpotensi sebagai sarana menyuburkan diskriminasi dan stigmatisasi.
Waspadai intolernasi
Ruhaini menilai penting bagi guru untuk mewaspadai gejala intoleransi yang kadang dianggap lazim dalam kehidupan bermasyarakat. Dokumen UNESCO berjudul ”Tolerance: The Threshold of Peace” menyatakan, gejala atau perilaku intoleransi antara lain bahasa penghinaan atau bahasa yang merendahkan, stereotipe, menggoda/mengejek, prasangka, pengambinghitaman (menyalahkan peristiwa traumatis atau masalah sosial pada kelompok tertentu), pengasingan (berperilaku seolah-olah orang lain tidak ada), diskriminasi, dan segregasi (pemisahan paksa orang-orang dari berbagai ras, agama, dan jenis kelamin, biasanya merugikan satu kelompok, termasuk apartheid).
”Pemanfaatan di ruang publik harus sama antara agama dan keyakinan berbeda, jender berbeda, ras berbeda. Ini penting sekali kita sampaikan kepada anak-anak didik kita,” kata Ruhaini.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA (
Orangtua siswa yang menunggu anaknya pulang sekolah dengan latar belakang lukisan mural di SD Candi 1, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (1/11/2022).
Ruhaini mengatakan, upaya menumbuhkan sensitivitas bisa dimulai dengan mengembangkan kemampuan guru dalam LKLB. Ada tiga kompetensi LKLB, yaitu mendorong seseorang memahami agamanya sendiri terutama dalam relasinya dengan orang yang berbeda agama (kompetensi pribadi); mengenal agama lain dan pandangan agama tersebut terhadap orang yang berbeda agama (kompetensi komparatif); serta mencari titik temu agar dapat berkolaborasi dengan orang yang berbeda agama (kompetensi kolaboratif).
”Literasi Keagamaan Lintas Budaya adalah sesuatu yang mestinya diwajibkan di seluruh sekolah karena sifatnya sangat Indonesia dan menjadi modalitas kita sebagai bangsa yang beragam,” ucap Ruhaini, yang pernah menjabat Staf Khusus Presiden Joko Widodo Bidang Keagamaan Internasional.
Kebebasan beragama, ujar Ruhaini, bukan berarti bebas seenaknya, melainkan harus berpedoman pada supremasi hukum. Itulah sebabnya, narasi-narasi LKLB juga dibutuhkan sebagai pintu masuk untuk menegakkan supremasi hukum.
”Misalnya, kita mengajar Matematika, jadikan LKLB sebagai pintu masuk seperti dalam soal cerita. Di kampung ada 10 orang pergi ke gereja, 25 orang pergi ke masjid, lalu sekian ke Pura, dan lainnya. Tujuannya agar anak-anak sensitif terhadap perbedaan dan melihatnya sebagai keniscayaan,” tutur Ruhaini.