Sebagian orang rela menghabiskan uang untuk membeli tiket konser, membeli mainan, atau untuk makan enak. Muaranya satu, yakni mencicipi kebahagiaan duniawi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Aparatur sipil negara yang akan segera pensiun dan yang sudah pensiun tertawa lepas saat komedian Cak Lontong dan Nur Akbar menghibur mereka dalam acara Program Wirausaha ASN dan Pensiunan di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, pertengahan Januari 2019.
Orang-orang bijak dan agama mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan dari harta, melainkan hati yang senantiasa bersyukur. Namun, jika hati sedang tak mampu bersyukur, bisakah uang membeli sececap kebahagiaan?
Setelah melewati minggu-minggu yang melelahkan, pekerjaan Dian Gloria (28) akhirnya selesai dan dia bisa mengambil cuti. Hari cutinya dibuat bertepatan dengan konser Seventeen, grup musik Korea Selatan, yang digelar di Indonesia Convention Exhibition (ICE), kawasan BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, 24-25 September 2022. Ia ingin menikmati tiap detik penampilan Seungcheol dan kawan-kawan tanpa diganggu pekerjaan yang selama ini menyita waktu dan pikirannya.
Menonton konser Seventeen sudah lama ada di bucket list Dian. Jadi, ia tak ragu menghabiskan waktu berjam-jam untuk berburu tiket konser secara daring. Walau sempat gagal, tiket konser akhirnya didapat dengan bantuan teman. Ia senang bukan kepalang. Rasa senangnya berlipat ganda setelah Seventeen memberi penampilan epik berdurasi 2,5-3 jam.
”Aku happy banget! Happy-nya overload, enggak habis-habis!” kata konsultan manajemen proyek ini di Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Membeli kebahagiaan
Dian lantas memutuskan menonton lagi konser Seventeen pada Desember 2022 di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Jakarta. Konser ini hanya berselang tiga bulan setelah konser pertama di September 2022. Ia mengaku menghabiskan Rp 6 juta untuk menghadiri dua konser.
FAKHRI FADLURROHMAN
Sejumlah kipas bergambar para personel Blackpink dijual di sekitaran Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu (11/3/2023). Orang rela mengeluarkan uang untuk menonton konser artis yang diidolakan.
”Rp 6 juta itu gede banget buatku, tetapi worth it,” katanya tanpa ragu. ”Setelah nonton jadi senyum dan semangat terus. Efeknya bahkan sampai 1-2 bulan setelah konser. Habis capai seharian kerja, aku bisa senang lagi setelah lihat video-video konser di galeri handphone,” tambahnya.
Pengalaman nonton konser juga jadi motivasi bekerja dan menabung dengan giat agar kelak bisa membeli tiket konser lagi. Walau sebagian tabungannya telah habis untuk konser, hati Dian penuh dengan tabungan baru, yakni kebahagiaan. Rasa bahagia itu mendorongnya hidup dan bekerja secara bermakna.
Kebahagiaan juga dirasakan karyawan bank, Clandestine Cipta (28), setelah menonton konser Tulus pada 3 Maret 2023 di Jakarta. Konser diibaratkan sebagai sarana healing dari jalanan macet, jam kerja yang panjang, dan tenggat waktu yang datang silih berganti.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE) 06-02-2019
Konser Monokrom Tulus di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Sejak bekerja beberapa tahun lalu, Clandestine jarang melakukan hal yang disukai. Ia tenggelam dalam pekerjaan dan akhirnya tersesat di sana. Clandestine lantas menukar Rp 550.000 dengan tiket konser yang dipercaya bisa memulihkan kebahagiaannya.
”Aku senang banget pas konser! Benar-benar enggak berhenti nyengir selama dua jam,” ujarnya. ”Ternyata aku bisa se-happy itu, ya. Aku seperti menemukan hidup baru,” tambahnya.
Sementara itu, ASN di Gorontalo, M Riza Pahlevi (26), mewujudkan kebahagiaan melalui berbagai jenis koleksi barang. Riza mengoleksi setidaknya 200 die-cast, 30 earphone, 15 album, dan dua pisau. Masing-masing barang memberi kebahagiaan tersendiri sehingga Riza sulit menyebut koleksi favoritnya.
Kebahagiaan sintetis bukan berarti dia hidup dalam kepalsuan. Dia benar bahagia, tetapi kebahagiaannya mesti diatur dulu.
Koleksi die-cast, misalnya, dimaknai sebagai upaya memulihkan inner child Riza. Istilah inner child merujuk pada sisi kanak-kanak seseorang yang masih ada saat dewasa. Saat masih bocah, Riza sering mengamati jejeran die-cast di toko dan berharap orangtuanya bersedia membelikan. Namun, orangtuanya mendorong Riza untuk membeli die-cast saat ia bisa menghasilkan uang sendiri.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Anak-anak memililh die cast Tomica dalam pameran otomotif Tokyo Motor Show (TMS) 2019 yang digelar oleh Japan Automobile Manufacturers Association, Inc (JAMA), di Aomi, Tokyo, Jepang, Oktober 2019.
”Sekarang jadi seperti balas dendam. Memuaskan hasrat yang dulu tidak terpenuhi, ha-ha-ha,” kata Riza.
Kebahagiaan sintetis
Menurut psikolog Universitas Tarumanagara, Meiske Yunithree Suparman, ada yang namanya kebahagiaan alami dan sintetis. Kebahagiaan alami dialami tanpa dibuat-buat, sementara kebahagiaan sintetis dihasilkan dari sesuatu yang diupayakan atau dirancang. Contoh kebahagiaan sintetis adalah sengaja mendatangi teman-teman yang jadi sumber kebahagiaan atau meminta pacar datang menjemput.
”Apa ini salah? Tidak sama sekali. Kebahagiaan sintetis bukan berarti dia hidup dalam kepalsuan. Dia benar bahagia, tetapi kebahagiaannya mesti diatur dulu,” kata Meiske. ”Tidak semua orang beruntung merasakan kebahagiaan seenak-enaknya.”
Sementara itu, psikolog Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Eunike Sri Tyas Suci, mengatakan, masing-masing individu memaknai kebahagiaan secara berbeda. Walau demikian, mereka sama-sama menginginkan kebahagiaan karena hal itu memberi kenyamanan, kepuasan, dan kesejahteraan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Anak-anak yang senyum dan tertawa gembira melihat pentas kesenian tradisional saat mereka mengikuti karnaval memeriahkan HUT Ke-77 RI di Kampung Waru, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (7/8/2022).
Saking pentingnya kebahagiaan, Amerika Serikat bahkan menjamin hak mengejar kebahagiaan di Deklarasi Kemerdekaan AS. ”Ini berarti kebahagiaan adalah hal yang sangat menyenangkan sehingga setiap individu menginginkannya,” kata Tyas.
Pada akhirnya, tidak masalah jika seseorang menukar uang untuk mencecap kebahagiaan. Di beberapa negara paling bahagia di dunia, menurut Laporan Kebahagiaan Dunia, yakni negara Skandinavia dan Nordik, kebahagiaan bahkan erat kaitannya dengan kesejahteraan.
W Somerset Maugham dalam novel Of Human Bondage menulis, ”Money is like a sixth sense without which you cannot make complete use of the other five.” Artinya, uang seperti indera keenam yang tanpanya, Anda tidak dapat menggunakan lima indera lain secara utuh. Mungkin, Maugham tidak salah.