Setengah dari Perempuan Ilmuwan di Dunia Pernah Dilecehkan secara Seksual
Hampir separuh dari perempuan ilmuwan di dunia telah menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja selama karier mereka. Banyaknya pelecehan ini memengaruhi minimnya perempuan berkarier dalam sains.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/AHMAD ARIF
Para peneliti MRIN melakukan pemeriksaan gula darah, lipid, dan malaria terhadap orang Punan Batu yang hidup di Hutan Sajau Benau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, beberapa waktu lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Hampir separuh dari perempuan ilmuwan di dunia telah menjadi korban pelecehan seksual di tempat kerja selama karier mereka. Survei yang melibatkan lebih dari 5.000 peneliti di 117 negara ini menyebutkan, 49 persen perempuan ilmuwan melaporkan mereka pernah mengalami setidaknya satu situasi pelecehan.
Survei internasional ini dilakukan perusahaan polling Ipsos atas nama L’Oreal Foundation dan diterbitkan pada Kamis (16/3/2023). Survei dilakukan Ipsos dengan metode konsultasi pada 26 Juli hingga 12 September 2022.
Responden kuesioner bekerja di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika. Mereka bekerja di lebih dari 50 institusi publik dan swasta di seluruh dunia.
Survei ini menegaskan bahwa sains belum cukup mengalami revolusi sejak gerakan MeToo.
Hampir setengah dari kasus pelecehan seksual ini terjadi setelah gerakan MeToo muncul pada 2017. Mayoritas pelecehan terjadi pada awal karier para korban.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Teknologi Sumatera Khairurrijal didampingi tim peneliti meninjau budidaya melon di rumah kaca berbasis sistem pertanian pintar di Kebun Raya Itera, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, Selasa (13/12/2022).
Bagi 65 persen perempuan, pelecehan berdampak negatif terhadap karier mereka. Meski demikian, hanya satu dari lima korban yang melaporkan pelecehan tersebut ke institusi mereka.
Seperempat responden mengatakan bahwa mereka pernah berada dalam situasi ketika seseorang memanggil mereka secara tidak pantas dan berulang kali berbagai panggilan yang dinilai melecehkan. Sebanyak 24 persen mengatakan mereka telah ditanya ”pertanyaan mengganggu dan berulang tentang kehidupan pribadi atau seks yang membuat merasa tidak nyaman”, sebut survei tersebut.
Sekitar setengah dari mereka mengatakan, telah menghindari anggota staf tertentu di organisasi mereka, sementara satu dari lima mengatakan mereka merasa tidak aman di tempat kerja mereka.
Hampir 65 persen responden mengatakan, upaya yang ada saat ini untuk memerangi seksisme dan pelecehan seksual di tempat kerja tidaklah cukup.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Sejumlah peneliti mengecek spesimen dalam proyek Kolaborasi Riset Jerman-Indonesia CRC990-EFForTS, 30 Desember 2021, di Universitas Jambi.
”Survei ini menegaskan bahwa sains belum cukup mengalami revolusi sejak gerakan MeToo,” kata Alexandra Palt dari L’Oreal Foundation kepada AFP.
Yayasan tersebut, yang bekerja sama dengan UNESCO untuk mendukung perempuan ilmuwan, meminta lembaga akademik dan penelitian untuk mengadopsi kebijakan tanpa toleransi terkait pelecehan dan membuat komitmen anggaran untuk mengatasi masalah tersebut.
”Perlu ada sistem pelaporan internal yang efektif dan transparan,” kata Palt.
Hanya 33 persen peneliti ilmiah di seluruh dunia adalah perempuan dan hanya 4 persen pemenang Hadiah Nobel sains adalah perempuan, kata yayasan itu. ”Jika kita ingin memanfaatkan sepenuhnya potensi perempuan dalam penelitian, mereka harus merasa aman,” kata Palt.
Perempuan meninggalkan sains
Sebelumnya, sejumlah studi juga menemukan bahwa pelecehan di tempat kerja dapat berkontribusi pada masalah yang lebih luas dari kurangnya perempuan dalam sains. Studi yang dipimpin antropolog Kathryn Clancy dari University of Illinois di Urbana-Champaign dan dipresentasikan di American Association of Physical Anthropologists pada 2013 menyebutkan, fenomena ini setidaknya salah satu mekanisme yang mendorong perempuan menjauh dari sains.
RHAMA PURNA JATI
Peneliti dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan sedang mengidentifikasi benda bersejarah yang diduga berasal dari masa Kerajaan Sriwijaya di Museum Sriwijaya, awal Juni 2021.
Saat itu, tim Clancy menyurvei 122 peneliti yang melakukan kerja lapangan dalam antropologi biologi, baik melalui telepon maupun daring. Mereka menemukan 59 persen perempuan melaporkan mengalami komentar seksual yang tidak pantas saat bekerja di lapangan dan 18 persen melaporkan pelecehan atau penyerangan fisik.
Clancy kemudian melakukan survei di internet dengan melibatkan lebih dari 600 ilmuwan lapangan, 142 laki-laki dan 516 perempuan mengisi survei. Responden berasal dari berbagai disiplin ilmu, termasuk antropologi, arkeologi, dan geologi. Pertanyaan pun mencakup ruang lingkup yang lebih luas.
Laporan yang dipublikasikan Clancy di PLOS One pada Juli 2014 menyebutkan bahwa 44 persen responden mengatakan mereka pernah mengalami pelecehan seksual dan lebih dari 20 persen melaporkan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan seksual. Mayoritas dari mereka yang melaporkan pelecehan adalah peserta magang, yang dalam penelitian ini didefinisikan sebagai mahasiswa sarjana atau pascasarjana dan peneliti pascadoktoral, sementara lima dari mereka duduk di sekolah menengah atas saat kejadian.
Sasaran utamanya adalah perempuan peserta magang dan pelakunya mayoritas berada di posisi yang lebih senior. Dalam banyak kasus, para korban tidak melaporkan pelecehan tersebut pada saat itu. Responden jarang melaporkan bahwa mereka diberi kode etik dan kebijakan pelecehan seksual sebelum kerja lapangan dilakukan sehingga banyak korban tidak mengetahui proses penanganan insiden pelecehan.
Dari mereka yang mengajukan keluhan formal, hanya sedikit yang puas dengan hasilnya. Akibatnya, efek negatif dari penyalahgunaan tersebut berlangsung sedemikian rupa sehingga beberapa peneliti meninggalkan sains sama sekali.