Indonesia Bisa Hemat 4 Triliun Dollar AS jika Mempercepat Akhir PLTU Batubara pada 2040
Indonesia bisa berhemat banyak jika mempercepat upaya mengakhiri PLTU Batubara pada 2040 dan mencapai emisi nol bersih pada 2050.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Aktivitas petugas di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ropa di Desa Keliwumbu, Kecamatan Mourole, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/10/2021). PLTU Ropa yang beroperasi sejak tahun 2012 ini memiliki kapasitas 2x7 megawatt (MW). PLTU Ropa memiliki kontribusi sebesar 20 persen terhadap sistem kelistrikan di pulau Flores.
JAKARTA, KOMPAS — Transisi ke emisi nol bersih tidak hanya mengatasi krisis iklim, tetapi juga menawarkan peluang ekonomi yang signifikan bagi Indonesia. Jika mau mempercepat upaya pengakhiran pembangkit listrik batubara pada 2040 dan menargetkan emisi nol bersih pada 2050, Indonesia dapat menghemat 3,8 triliun dollar Amerika Serikat.
Temuan ini dilaporkan Komisi Kebijakan Tingkat Tinggi Menuju Asia Emisi Nol Bersih dengan inisiator Asia Society Policy Institute, Kamis (16/3/2023). Komisi ini mengumpulkan beragam pemimpin Asia dan global untuk segera mempercepat transisi Asia menuju emisi nol bersih, dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, dengan anggota mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, mantan Menteri Keuangan Indonesia Muhamad Chatib Basri, dan sejumlah tokoh lain.
Laporan terbaru Getting Indonesia to Net Zero itu meneliti berbagai biaya, manfaat, dan dampak pilihan Indonesia menerapkan strategi resminya mencapai emisi nol bersih pada 2060. Laporan ini mengeksplorasi skenario pengakhiran pembangkit listrik batubara di Indonesia menjadi tahun 2040 dan mencapai emisi nol bersih pada 2050.
Kevin Rudd mengatakan, ”Dengan memprioritaskan tenaga surya dan angin serta berinvestasi dalam teknologi baru, Indonesia dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan neraca perdagangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Laporan ini memberi peta jalan bagi Indonesia mewujudkan manfaat dari transisi.”
Pada 2021, Pemerintah Indonesia mengumumkan target untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060. Pemodelan baru dalam laporan ini menunjukkan, jika Indonesia mencapai target emisi tahun 2060, investasi yang dibutuhkan mencapai 5 triliun dollar Amerika Serikat (AS) dan mengarah pada puncak emisi paling cepat 2030.
Produk domestik bruto (PDB) Indonesia bakal meningkat dalam jangka menengah sebanyak 5 persen tahun 2032, menciptakan hingga dua juta pekerjaan baru pada 2039, dan meningkatkan neraca perdagangan 48 miliar dollar AS.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Selang isi ulang terpasang pada mobil listrik di charging station Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Green Energy Station, di Kota Denpasar, Bali, Selasa (30/8/2022). Sebagai rangkaian Energy Transition Working Group (ETWG) G20 Presidensi Indonesia di Bali, pekan ini, SPBU Green Energy Station itu Pertamina itu diresmikan.
Namun, jika Indonesia menerapkan kebijakan dekarbonisasi yang lebih ambisius, investasi yang harus dikeluarkan bisa berkurang signifikan. Memajukan target nol emisi bersih ke tahun 2050 sambil menghapus subsidi tenaga batubara secara bertahap dapat mengurangi investasi ekonomi yang dibutuhkan menjadi 3 triliun dollar AS sambil mendorong PDB hingga 5,3 persen di atas basis data tahun 2031.
Jika melakukan hal itu sambil memprioritaskan energi terbarukan berbiaya rendah seperti matahari dan angin, Indonesia dapat mengurangi biaya investasi hingga 1,2 triliun dollar AS dan memungkinkan emisi mencapai puncaknya lebih cepat lagi pada 2027.
Dalam skenario terakhir, dampak buruk dari transisi nol bersih pada pengeluaran rumah tangga juga dapat dikurangi setengahnya. Rencana 2060 dapat menyebabkan penurunan pengeluaran rumah tangga sebesar 189 miliar dollar AS karena harga dan inflasi yang lebih tinggi. Sementara penerapan rencana tahun 2050 dengan fokus yang lebih kuat pada energi matahari dan angin dapat semakin mengurangi pengeluaran menjadi hanya 63 miliar dollar AS.
Kelompok rentan
Ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan Indonesia Muhamad Chatib Basri, mengatakan, percepatan transisi ke energi bersih juga bisa membantu kelompok rentan. "Misalnya, dengan menggunakan kembali subsidi bahan bakar fosil, mengalihkan insentif dari sektor kotor ke sektor terbarukan, dan mempercepat penerapan pajak karbon, pemerintah dapat menggunakannya untuk membantu populasi yang rentan mengatasi kenaikan biaya hidup,” ujar Chatib.
Menurut Chatib, program sosial pemerintah dapat memberi dukungan pendapatan dan melatih kembali pekerja bahan bakar fosil untuk memanfaatkan peluang dalam ekonomi rendah karbon.
Jika Indonesia menerapkan kebijakan dekarbonisasi yang lebih ambisius, investasi yang harus dikeluarkan bisa berkurang signifikan.
Laporan ini juga menawarkan tiga rekomendasi utama untuk dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan di Indonesia. Pertama, pemerintah dapat fokus pada kebijakan yang memanfaatkan transisi energi Indonesia untuk memberi manfaat nyata bagi rumah tangga lokal. Kedua, pemerintah dapat memprioritaskan energi terbarukan yang berbiaya lebih rendah, khususnya tenaga surya dan angin. Ketiga, pemerintah dapat berinvestasi dalam pengembangan industri dan pekerjaan hijau.
Sementara Ban Ki-moon mengatakan, ”Pemerintah Indonesia juga dapat mengirimkan sinyal kuat atas komitmennya untuk mencapai nol bersih dengan memastikan bahwa proyek-proyek industri baru yang besar benar-benar hijau.”