Keragaman Hayati di Kepulauan Wallacea dalam Ancaman
Kepulauan Wallacea menjadi inspirasi bagi kelahiran teori evolusi. Namun, kawasan ini terancam degradasi dan deforestasi.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Anakan anoa (Bubalus depressicornis), Raden (2 minggu), tinggal di kandang penangkaran Anoa Breeding Center Manado, Sulawesi Utara, Kamis (2/2/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kepulauan Wallacea merupakan wilayah dengan keragaman hayati dan endemisitas sangat tinggi, yang pernah menjadi inspirasi bagi kelahiran teori evolusi. Namun, wilayah yang meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Maluku Utara ini kini terancam degradasi dan deforestasi, terutama karena kegiatan pertambangan, pertanian, dan perkebunan.
Berbagai kajian dan laporan terbaru mengenai keragaman hayati serta masa depan Kepulauan Wallacea ini dipaparkan oleh para ilmuwan dari Indonesia dan Inggris, dalam seminar di Jakarta, Kamis (16/3/2023). Acara diselenggarakan Institute for Sustainable Earth and Resources-Universitas Indonesia (ISER-UI) bekerja sama dengan Durrell Institute of Conservation and Ecology (DICE) University of Kent, Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dan Wildlife Conservation Society-Indonesia (WCS Indonesia).
Ahli biologi molekuler dari AIPI, Sangkot Marzuki, mengatakan, tahun ini bertepatan dengan 200 tahun kelahiran Alfred Russel Wallace, botanis Inggris yang menulis buku klasik The Malay Archipelago pada 1859. ”Surat Wallace yang ditulis dari Ternate menjadi inspirasi bagi teori evolusi Charles Darwin,” kata Sangkot.
Sulawesi adalah zona hibrida. Banyak binatang hibrida ditemukan di banyak tempat di pulau ini.
Surat berjudul ”On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type” yang ditulis Wallace itu memberi jawaban atas pertanyaan paling mendasar bagi evolusi, yaitu the fittest would survive (individu inferior akan mati dan individu superior akan bertahan). Pemahaman ini didapatkan Wallace setelah menjelajah Nusantara, terutama saat berada di Sulawesi dan Maluku di mana dia melihat beragamnya variasi individu dalam setiap spesies.
”Jadi, teori evolusi sebenarnya diinspirasi dari keragaman hayati di Nusantara, yang ditulis Wallace dari Ternate,” kata Sangkot.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Kawanan babirusa (Babyrousa babyrussa) berendam di Kubangan Adudu di Hutan Nantu, Juni 2019. Kubangan di Suaka Margasatwa Nantu Boliyohuto, Kabupaten Boalemo, Gorontalo, itu mengandung mineral sehingga menjadi tempat favorit bagi babirusa dan satwa endemik Sulawesi lainnya.
Saat di Ternate, Wallace juga menemukan perbedaan karakteristik flora dan fauna berdasarkan lempeng Bumi. Sebuah garis maya dibuatnya untuk memisahkan antara flora-fauna di Indonesia bagian timur yang ada di Lempeng Australia dan Indonesia bagian barat yang berada di Lempeng Eurasia. Garis yang kemudian dikenal sebagai Garis Wallace ini terentang sepanjang Selat Makassar dan memanjang ke Selat Lombok.
Lebih lanjut, ahli biologi konservasi dari ISER-UI Jatna Supriatna memaparkan kekayaan hayati di Zona Wallacea. Selain sangat beragam, Wallacea juga memiliki spesies endemik sangat tinggi dan banyak di antaranya dalam kondisi terancam.
”Sulawesi, pulau terbesar di Wallacea, merupakan laboratorium terbaik untuk memahami evolusi. Sebanyak 70 persen mamalianya endemik dan semua primata endemik dan unik,” katanya.
Keunikan spesies di Sulawesi ini dipengaruhi oleh proses geomorfologi jutaan tahun lalu yang membentuk pulau ini dengan unsur batuan sebagian dari Australia, Pasifik, dan Asia. Selain itu, proses spesiasi di pulau kecil berbeda dengan daratan besar.
”Sulawesi adalah zona hibrida. Banyak binatang hibrida ditemukan di banyak tempat di pulau ini,” katanya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Tarsius keluar dari sarangnya di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan, Juni 2019.
Jatna mencontohkan spesies tarsius, primata kecil pemakan serangga. Sumatera dan Kalimantan yang merupakan zona Western hanya memiliki satu spesies tarsius, yaitu Tarsius bancanus. Zona Filipina juga hanya punya satu spesies tarsius, yaitu Tarsius syrichta.
Namun, Sulawesi memiliki 10-16 spesies tarsius yang tersebar di setiap wilayah berbeda. Dua spesies baru tarsius di Sulawesi, yaitu Tarsius spectrumgurskyae dan Tarsius supriatnai, baru ditemukan Jatna bersamaSharon Gursky, profesor antropologi di Universitas Texas A & M, di Amerika Serikat pada 2017.
”Tarsius di Sulawesi merupakan hibridisasi dari Sumatera dan Filipina. Fenomena ini juga terjadi juga pada monyet. Ada delapan spesies monyet di Sulawesi yang menyebar di tiap wilayah berbeda. Kadal terbang juga sama, terjadi hibridisasi dan menyebar di tiap wilayah Sulawesi dan sekitarnya dengan pola yang sama dengan monyet,” kata Jatna.
Mengalami degradasi
Jatna mengatakan, keragaman dan kekhasan hayati di Kepulauan Wallacea saat ini terancam karena degradasi dan deforestasi yang masif dalam beberapa dekade terakhir. ”Hal ini disebabkan pertanian, pertambangan, dan migas, selain juga perkebunan sawit,” katanya.
Tambang nikel saat ini menjadi menjamur di Wallacea, khususnya di Sulawesi dan Maluku Utara. ”Di Sulawesi juga ada bushmeat, yang berpotensi memicu zoonosis dan harus dikontrol untuk mencegah pandemi di masa depan,” katanya.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Seekor komodo berjalan menyusuri pesisir pantai di Pulau Komodo, Kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Kamis (28/7/2022).
Ancaman lain terhadap Kepulauan Wallacea, menurut Jatna, juga bisa berasal dari perubahan iklim. Beberapa studi menunjukkan, pemanasan global akan berdampak terhadap kehidupan di pulau kecil, salah satunya komodo.
Pada 2021, International Union for the Conservation of Nature (IUCN) telah menetapkan komodo dalam status ”terancam punah” atau Daftar Merah IUCN. Penetapan status ini di antaranya karena dampak perubahan iklim. Naiknya permukaan laut diperkirakan akan menggerus habitat komodo hingga 30 persen dalam 45 tahun ke depan.
Nurul Winarni, biolog dari Research Center for Climate Change (RCCC) UI, menyampaikan tentang homogenisasi burung di Kepulauan Wallacea, terutama di Seram, Buru, Talaud, dan Sangihe. Homogenisasi merupakan proses yang menyebabkan komunitas biologis dapat menjadi semakin mirip.
Konversi hutan menjadi lahan pertanian dinilai memengaruhi pola homogenisasi biotik di pulau-pulau ini. Konversi hutan yang berkelanjutan ini menyebabkan penggantian spesies endemik oleh sekelompok kecil spesies yang ada di mana-mana dengan potensi konsekuensi negatif terhadap fungsi dan ketahanan ekosistem.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Bekas areal tambang nikel terpantau di Desa Hakatutobu, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, awal November 2017.
Asri A Dwiyahreni, dari FMIPA UI, menyampaikan tentang deforestasi di sejumlah taman nasional di Kepulauan Wallacea dalam periode 2012-2017. Total deforestasi yang tercatat dari lima taman nasional di Pulau Sulawesi dalam kurun ini mencapai 0,84 hektar dan hutan primer 0,41 ha. Sementara penyusutan hutan di dua taman nasional yang ada di Maluku sebesar 0,24 ha dan di hutan primer 7,19 ha.
”Penyusutan hutan di taman nasional Sulawesi dan Maluku ini cukup tinggi sekalipun dalam waktu pemantauan singkat, tetapi kemungkinan juga karena ada El Nino pada 2015 yang memicu kebakaran hutan di mana-mana,” katanya.
Asri menambahkan, jejak pembukaan hutan di luar taman nasional cenderung sama dengan di dalam. Untuk di kawasan Manusela (Maluku) ada food estate padi, menyebabkan pembukaan hutan.