Kurangi Emisi Karbon dengan Material Konstruksi Hijau
Pada 2060, Indonesia menargetkan nol emisi bersih. Untuk mencapai target tersebut, pembangunan infrastruktur berbasis material konstruksi hijau dapat menjadi pendukung.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Emisi gas rumah kaca atau GRK terus meningkat sehingga memicu terjadinya bencana hidrometeorologi. Material konstruksi hijau dianggap mampu menjadi salah satu inovasi untuk mengerem tingkat emisi tersebut. Maka, penggunaan material tersebut perlu diatur dalam regulasi yang tegas.
Sejak 2000 sampai 2018, tingkat emisi karbon dioksida di Indonesia di luar kebakaran hutan dan kebakaran gambut meningkat hampir 80 persen. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Inventarisasi GRK dan Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi (MPV) Tahun 2020, sektor energi yang meliputi kegiatan pengadaan energi dan penggunaan energi menjadi penyumbang terbesar atas peningkatan emisi GRK selama 18 tahun terakhir.
Ketua Indonesia Water Institute (IWI) Firdaus Ali menyampaikan, bertambahnya populasi turut menambah jumlah emisi GRK dan karbon dioksida yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia. Peningkatan jumlah emisi tersebut menyebabkan pemanasan global yang kemudian memicu bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia.
Bencana hidrometeorologi merupakan bencana akibat aktivitas cuaca, seperti siklus hidrologi, curah hujan, temperatur, angin, dan kelembaban. Selama satu tahun terakhir, Firdaus mencatat sejumlah bencana hidrometeorologi berupa banjir besar, seperti di Korea Selatan, Texas, Afghanistan, Pakistan, dan Mekkah.
”Tahun 2022 merupakan tahun terpanas. Hal itu menyebabkan bencana hidrometeorologi yang sering terjadi di Indonesia. Maka, pemerintah harus terus bekerja keras dalam upaya mitigasi dan adaptasi melalui berbagai kebijakan pembangunan dengan mengedepankan keberlanjutan lingkungan,” ujar Firdaus dalam pembukaan acara bertajuk ”Sustainable Infrastructure Forum” di Auditorium Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, Indonesia menargetkan penurunan sebesar 41 persen pada 2030 sebagaimana kesepakatan dalam kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC). NDC merupakan komitmen dari berbagai negara dalam penanganan perubahan iklim global dalam rangka Persetujuan Paris atas Konvensi Perubahan Iklim.
Mengacu pada laman resmi KLHK, Indonesia kembali meningkatkan target pengurangan emisi GRK pada 23 September 2022. Peningkatan NDC itu menjadi 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Firdaus menambahkan, upaya pengurangan emisi GRK itu terimplementasi dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 9 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan. Salah satu ketentuan dalam regulasi tersebut ialah penggunaan material konstruksi hijau (green material) yang terbuat dari bahan-bahan berdampak lingkungan lebih rendah dibandingkan dengan material konvensional sehingga ramah lingkungan.
”Produksi material konstruksi hijau masih terbatas di Indonesia, tidak sebanyak material konvensional. Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya lingkungan, permintaan dan produksi material konstruksi hijau di Indonesia diharapkan dapat meningkat di kemudian hari,” ujar Firdaus.
Dari data KLHK, proses industri dan penggunaan produk merupakan salah satu penyumbang emisi GRK di Indonesia sebesar 60.175 gigagram CO2 atau setara 60 juta ton CO2 pada 2019. Dari jumlah tersebut, emisi terbesar berasal dari semen, yakni 52,42 persen.
Firdaus menyebut, sejumlah material konstruksi hijau itu, antara lain, non-ordinary portland cement (NOPC), kayu daur ulang, batu bata daur ulang, bambu, atap rumput laut, dan cat rendah komponen kimia volatile organic compund (VOC) atau senyawa yang mudah menguap. Terkait semen rendah emisi atau NOPC, sebelumnya telah diterbitkan Instruksi Menteri PUPR Nomor 04/IN/M/2020 Tahun 2020 tentang Penggunaan Semen NOPC pada pekerjaan konstruksi di Kementerian PUPR.
Semen rendah emisi
Bagian konstruksi yang paling banyak berkontribusi terhadap emisi GRK adalah beton atau semen. Di dalam proses produksi semen, penggunaan bahan baku portland cement menyumbangkan sedikitnya 700-800 kilogram C02 setiap per ton.
Ketua Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) Iswandi Imran menyampaikan, 8 persen dari emisi yang ada berasal dari portland cement. Upaya mengurangi penggunaan portland cement adalah menggunakan bahan lain atau supplementary cement materials (SCMs).
”SCMs digunakan untuk mengoptimalkan beton dengan menggunakan bahan-bahan limbah seperti pada fly ash (FA), silica fume (SF), dan ground granulated blast furnace slag (GGBFS). Bahan-bahan tersebut dapat menggantikan atau menjadi bahan campuran portland cement,” ujar Iswandi.
Upaya mengurangi emisi di bidang konstruksi atau disebut dengan beton hijau (green concrete) dapat menurunkan sekitar 11 persen emisi yang dihasilkan dari industri semen. Beberapa contoh jenis semen rendah emisi itu, di antaranya portland composite cement (PCC), portland pozzoland cement (PPC), dan portland slag cement (PSC).
Material konstruksi hijau memang sudah digunakan dalam proyek pembangunan di Indonesia meskipun belum secara masif. Beberapa proyek pembangunan dan renovasi rumah juga sudah menerapkannya. Namun, hal itu masih belum menjadi standar di Indonesia, dan sebagian besar bangunan masih menggunakan material konvensional.
Menurut Iswandi, kekuatan dari semen-semen tersebut setara dengan semen konvensional. Dalam beberapa kasus, semen rendah emisi telah digunakan di beberapa mega proyek seperti Jembatan Suramadu, Jalan Tol Bali Mandara, kereta cepat Bandung-Jakarta, dan Pelabuhan Patimban.
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam sambutan tertulisnya yang disampaikan oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Sumber Daya Air Jarot Widyoko menyampaikan, sektor konstruksi berperan penting untuk mengurangi emisi GRK yang dihasilkan melalui aktivitas konstruksi. Oleh sebab itu, PUPR akan mengurangi karbon melalui konstruksi berkelanjutan dan pengembangan infrastruktur hijau.
”Kita perlu bekerja keras dan bekerja dengan turut menyosialisasikan dan mengembangkan pemakaian material konstruksi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan,” ucap Jarot.
Implementasi konstruksi berkelanjutan salah satunya dengan menggunakan semen NOPC. Jarot menambahkan, sebagai instansi yang mengemban pembangunan infrastruktur Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan konsep Smart Forest City, Kementerian PUPR juga memanfaatkan inovasi teknologi yang mengedepankan penurunan emisi karbon.
”Upaya penurunan emisi karbon dan zero waste meliputi pengelolaan sistem tata air perkotaan, penyediaan air minum dengan sistem daur ulang grey water, pemanenan air hujan yang penggunaannya dapat dipantau dengan aplikasi, serta pengelolaan sampah dan limbah di IKN berbasis 3R (reduce, reuse, recycle),” kata Jarot.
Firdaus menambahkan, upaya tersebut akan dapat memberikan dampak pengurangan emisi secara signifikan bila dilakukan secara komprehensif. Oleh sebab itu, penggunaan material konstruksi hijau perlu dilakukan lebih masif dan terintegrasi dengan membuat regulasi yang tegas di tingkat otoritas lebih tinggi.
Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, sampai saat ini, belum ada regulasi yang secara tegas mewajibkan penggunaan material konstruksi hijau.
”Material konstruksi hijau memang sudah digunakan dalam proyek pembangunan di Indonesia meskipun belum secara masif. Beberapa proyek pembangunan dan renovasi rumah juga sudah menerapkannya. Tetapi, hal itu masih belum menjadi standar di Indonesia, dan sebagian besar bangunan masih menggunakan material konvensional,” ujar Firdaus.