Penggunaan bahan organik untuk pupuk kian diperlukan demi mencapai pertanian berkelanjutan. Kasgot bisa menjadi salah satu pilihan untuk menjaga kesuburan tanah, melindungi persediaan air, dan adaptasi perubahan iklim.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Contoh larva maggot dewasa yang dibudidayakan di Laboratorium Maggot Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Kramat Jati, Jakarta Timur, Kamis (18/11/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Kasgot atau bekas belatung maggot dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik dalam pertanian karena memiliki unsur nitrogen, fosfor, dan kalium. Unsur hara tersebut bisa membuat pertanian beradaptasi dengan adanya perubahan iklim, menjaga kesuburan tanah, dan melindungi persediaan air. Penggunaan bahan-bahan organik seperti ini semakin didorong sebagai inovasi dan teknologi untuk mencapai pertanian berkelanjutan.
Peneliti Muda Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Gina Aliya Sopha, menjelaskan, pupuk ini dihasilkan dari sisa makanan larva lalat black soldier fly (BSF) atau biasa dikenal dengan maggot yang dikumpulkan dari sisa makanan manusia.
Sisa-sisa larva tersebut disaring atau diayak halus, kemudian maggotnya dikeringkan untuk pakan ternak dan hasil sisa tersebut dijadikan pupuk kasgot. Maggot sendiri bermanfaat mendegradasi sampah lebih cepat dan tidak berbau. Larvanya dapat menjadi sumber protein bagi pakan unggas dan ikan.
Pemanfaatan kasgot bisa menjadi solusi bagi petani yang bergantung pada pupuk kimia. Para petani bisa membuat pupuk sendiri yang lebih ramah lingkungan. Selama ini penggunaan pupuk dan pestisida kimia tidak ramah lingkungan karena menurunkan kesuburan tanah, membuat hama semakin banyak dan kebal, serta berdampak buruk bagi kesehatan manusia.
”Beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil yang positif penggunaan kasgot sebagai campuran untuk media semai, media tumbuh, dan bahan organik sebagai campuran pupuk organik cair. Ini karena kandungan hara yang dimiliki kasgot dan juga bakteri yang terdapat di dalam kasgot,” kata Gina dalam diskusi HortiEs Talk BRIN, Rabu (15/3/2023).
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Rm Tiburtius Catur Wibawa Pr menunjukkan maggot (belatung) black soldier fly (lalat tentara hitam) yang ia kembangkan untuk mengurai sampah organik di Griya Ekologi Kelir, Banyuwangi, Kamis (19/11/2020). Selain untuk mengurai sampah, maggot juga dapat dijadikan pakan untuk ternak ayam ataupun ikan lele sehingga mengurangi pengeluaran para peternak.
Kasgot mengandung 42 persen karbon organik (C-organik), 2,16 persen nitrogen total dalam tanah (N-total), 2,73 persen difosfor pentaoksida (P2O5), 2,68 persen kalium oksida (K2O), 0,32 persen kapur tohor (CaO), 0,55 persen magnesium oksida (mgO) dan 1.59 persen sulfur (S).
Gina mencontohkan, hasil penggunaan 100 gram kasgot pada 3 kilogram tanah dapat meningkatkan tinggi dan bobot basah tanaman sawi. Selain itu, pupuk organik cair berbahan dasar kasgot juga meningkatkan produktivitas cabai pelangi, yakni waktu muncul bunganya menjadi 31,7 hari, bobot buah menjadi 17 gram, tinggi tanaman menjadi 30,5 cm, jumlah helai daun menjadi 25 helai dan jumlah cabang produktif menjadi 12 cabang.
Selain kasgot, bahan dasar organik untuk membuat pupuk organik cair juga bisa menggunakan kotoran kelinci dan petai cina. Kedua bahan ini juga kaya dengan unsur nitrogen, fosfor, dan kalium yang baik untuk tanaman.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Ati menunjukkan tomat yang dipanen di Sekolah Alam Wangsakerta, Dusun Karangdawa, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (6/2/2023). Sekolah Alam Wangsakerta mengolah tanaman dengan ramah lingkungan, seperti menggunakan pupuk organik.
Peneliti Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, Hanudin Balithi, menambahkan, cara lain untuk menyelamatkan lahan pertanian adalah dengan memanfaatkan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR). Rhizobakteri adalah kelompok bakteri yang bisa mengikat nitrogen bebas dari alam, lalu mengubahnya menjadi amonia untuk tanaman.
PGPR berperan menyediakan berbagai unsur hara dalam tanah, mengontrol konsentrasi berbagai hormon pemacu pertumbuhan tanaman, melindungi tanaman dengan cara menghambat aktivitas patogen, memperbaiki struktur tanah, serta mengikat logam berat yang terdapat di dalam tanah.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil yang positif penggunaan kasgot sebagai campuran untuk media semai, media tumbuh, dan bahan organik sebagai campuran pupuk organik cair.
Dari sisi biaya, kata Hanudin, rasio laba rugi jika petani menggunakan pupuk hayati PGPR hanya 1,31. Sementara kalau masih menggunakan bahan-bahan kimia, rasionya bisa mencapai 1,61.
”Ini sangat berbeda sekali, contohnya pada budidaya tanaman krisan, kalau menggunakan pupuk kimia, total biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 3,5 juta, sedangkan kalau menggunakan pupuk hayati, hanya sekitar Rp 2,8 juta,” kata Hanudin.
Meski begitu, penggunaan pupuk organik bukan tanpa tantangan. Peneliti Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, Kurnia Dewi Sasmita, memaparkan, kandungan hara pada pupuk organik rendah dan tidak stabil. Pupuk organik juga bisa membawa penyakit bagi tanaman dan manusia karena membawa telur atau larva hama. Selain itu, kebutuhan pupuk organik cukup besar, sementara ketersediaannya terbatas sehingga mendatangkan bahan dari luar yang memerlukan biaya transportasi lebih.
Solusinya, perlu memilih bahan pupuk organik yang memiliki kandungan hara tinggi, seperti kotoran hewan, sisa panen, atau limbah industri pertanian. Bisa juga memanfaatkan sumber bahan organik di sekitar lahan pertanian sehingga tidak perlu memakan biaya yang besar. Pengolahan pupuk organik juga harus berkualitas sehingga bisa menghasilkan unsur hara yang baik.