Koalisi Sipil Desak Bank BUMN Berhenti Mendanai Investasi Energi Kotor
Bank-bank BUMN ditengarai masih mendanai energi kotor, seperti industri batubara. Padahal, Indonesia masih membutuhkan dana Rp 1.917 triliun untuk pembiayaan energi terbarukan dan konservasi energi.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO,
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Aktivis Jeda untuk Iklim aksi bersih-bersih energi kotor dari batubara di depan Kantor Pusat Bank Mandiri, Jakarta, Selasa (25/1/2022). Aksi ini mengingatkan kepada lembaga keuangan untuk segera melepaskan diri dari lingkaran bisnis energi batubara. Salah satu target aksi iklim Pemerintah Indonesia untuk net zero emission lebih cepat dari tahun 2060, tetapi sejumlah bank masih tetap memberikan pembiayaan pada sektor energi penyumbang emisi terbesar, yaitu batubara.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mempertanyakan komitmen bank-bank milik pemerintah yang dinilai belum berkontribusi besar membantu Indonesia mengurangi emisi karbon. Bank-bank nasional hingga kini masih mendanai industri sektor energi kotor, seperti perusahaan batubara. Sementara porsi pendanaan untuk mendukung energi bersih minim sehingga upaya mengatasi krisis iklim lambat.
Dalam laporan koalisi sipil Bersihkan Bankmu tahun 2022 menunjukkan, Bank Mandiri masih mendanai sindikasi kredit pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa 9 dan 19, serta pinjaman pada perusahaan batubara terbesar kedua di Indonesia, Adaro Energy. Bank BRI masih mendanai sejumlah proyek PLTU Pangkalan Susu, Tarahan II, dan PLTU 2 Riau-Selat Panjang. BRI juga mendanai pembangunan PLTU Ultra Super Critical yang merupakan bagian dari proyek 35.000 megawatt.
Kemudian, BNI terlibat dalam pemberian kredit pada Adaro Energy dan perusahaan tambang batubara ABM Investama. Pertambangan batubara juga masuk dalam sepuluh besar sektor usaha dalam debitor grup BNI. Selain itu, mereka menyoroti bank swasta nasional, Bank Central Asia, juga memberikan pinjaman kepada United Tractors, perusahaan sektor alat berat dan tambang batubara.
Padahal, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral per akhir 2022 menyatakan, Indonesia memerlukan dana Rp 60,61 triliun untuk pembiayaan energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE). Namun, dana yang terpenuhi baru Rp 23,6 triliun atau hanya 38,94 persen dari target 2022. Adapun total rencana investasi EBT yang dibutuhkan Indonesia sampai 2030 sebesar Rp 1.917 triliun.
”Sebenarnya bank-bank ini mau meninggalkan batubara, tetapi pemerintah setengah hati meninggalkan batubara. Maka, mereka tak akan pernah berhenti mendanai batubara. Seharusnya wajah pemerintah jelas, tidak setengah hitam setengah hijau seperti sekarang,” kata juru kampanye 350 Indonesia, Suriadi Darmoko, dalam diskusi media bertajuk ”Pesan Krisis Iklim untuk Pemegang Saham dan CEO di Rapat Umum Pemegang Saham Bank BUMN” di Jakarta, Senin (13/3/2023).
STEPHANUS ARANDITIO
Juru kampanye 350 Indonesia, Suriadi Darmoko (tengah), memaparkan materia dalam diskusi media bertajuk Pesan Krisis Iklim untuk Pemegang Saham dan CEO di RUPS Bank BUMN di Jakarta, Senin (13/3/2023).
Selain itu, kata Suriadi, sikap bank badan usaha milik negara (BUMN) yang hanya memberikan komposisi kredit batubara hanya sebesar 2 persen dari total kredit juga tidak berpengaruh besar. Sebab, sepanjang portofolio kreditnya naik, pembiayaan untuk perusahaan batubaranya juga akan naik.
Juru Kampanye Keuangan dan Energi Market Forces, Binbin Mariana, mengungkapkan, kondisi ini berbanding terbalik dengan tren bank-bank di negara lain yang mulai berhenti mendanai energi kotor. Hal itu disebabkan pemerintah negara lain sudah menyadari bahwa energi kotor memiliki risiko transisi yang tinggi dan dapat menyebabkan kerugian finansial.
”Bank-bank nasional harus segera mengambil peran lebih signifikan untuk menghindari kerugian. Mereka harus memiliki kebijakan untuk berhenti membiayai energi batubara. Celakanya, di Indonesia, belum ada bank yang punya kebijakan seperti itu,” tutur Binbin.
Analis Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Lilia Purnamawati, menambahkan, minimnya pendanaan dari bank untuk energi bersih disebabkan oleh contoh sukses industri energi bersih di Indonesia masih sedikit. Sebab, kebanyakan bank melihat risiko yang kecil dan proyeksi keuntungan jelas sebelum mendanai industri.
Bank-bank nasional harus segera mengambil peran lebih signifikan untuk menghindari kerugian. Mereka harus memiliki kebijakan untuk berhenti membiayai energi batubara. Celakanya, di Indonesia, belum ada bank yang punya kebijakan seperti itu.
”Emisi nasional akan terus meningkat jika tidak diimbangi dengan peningkatan pembiayaan EBT. Nantinya juga akan sulit bagi Indonesia untuk memenuhi target pengurangan emisi di tahun 2030 dan net zero emission pada tahun 2060,” ujar Lilia.
Dalam laporan keberlanjutan terbaru dari bank-bank tersebut mengaku sudah melakukan berbagai upaya penanganan perubahan iklim, termasuk selektif memberi pembiayaan pada sektor energi kotor. BNI, misalnya, memberikan pembiayaan kepada 65 perusahaan yang memiliki Program Pengungkapan Publik untuk Kepatuhan Lingkungan (Proper), rehabilitasi daerah aliran sungai dengan menanam 200.000 pohon, rehabilitasi garis hijau pesisir Pantai Anyer dengan menanam 100.000 pohon.
KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD
Ashok Lavasa, Wakil Presiden untuk Operasi Sektor Swasta dan Kemitraan Pemerintah-Swasta Bank Pembangunan Asia (ADB), berbicara mengenai ekosistem pembiayaan hijau (green financing) yang perlu digalakkan untuk bisa menangani krisis iklim saat KTT T20 di Nusa Dua, Bali, Senin (5/9/2022). Pembiayaan iklim dari sektor swasta dan filantropis dibutuhkan untuk membantu mendorong transisi energi di Asia Pasifik yang masih belum terjangkau.
Kemudian, Bank BRI telah mengoperasikan puluhan mobil dan sepeda motor listrik, menyerukan kampanye nol sampah ke tempat pembuangan akhir, program bersih-bersih sungai, hingga mendorong debitur untuk mengontrol produksi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas industri untuk pengurangan emisi.
Sementara Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin menjelaskan, Bank Mandiri secara konsisten berupaya menerapkan aspek ESG dan praktik sustainable banking dalam rangka mendukung transisi menuju emisi nol bersih (net zero emission) dan tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
”Upaya tersebut salah satunya diwujudkan melalui dukungan Bank Mandiri terhadap pembiayaan berkelanjutan,” ujar Siddik.