Banyak lulusan kedokteran hewan tidak fokus pada kesehatan masyarakat veteriner sehingga jumlah ahli kesmavet di Indonesia terbatas. Padahal peran mereka dibutuhkan untuk menjaga keamanan pangan dan mencegah zoonosis.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Dokter hewan bersiap menyuntikkan vaksin untuk sapi di kandang Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rabu (29/6/2022). Ternak yang dipelihara di kandang itu pada hari tersebut mendapat suntikan vaksin untuk mencegah penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK). Hingga 28 Juni 2022, tercatat 7.046 ternak di DI Yogyakarta telah tertular PMK. Sebanyak 68 hewan ternak di antaranya mati dan 65 hewan lainnya harus dipotong paksa.
JAKARTA, KOMPAS — Peran dokter hewan dalam menanggulangi masalah tengkes atau stunting dinilai masih minim. Padahal, para dokter hewan bisa turut menjaga kualitas protein hewani yang dikonsumsi ibu hamil dan anak-anak. Jalur produksi hingga konsumsi hewan mesti aman agar tidak terjadi penularan penyakit.
Koordinator Pengawasan Keamanan Produk Hewan Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian Imron Suandy menambahkan, peran dokter hewan tak hanya menyembuhkan hewan sakit. Dokter hewan juga memikirkan dampak kesehatan masyarakat dari hewan yang sakit untuk pencegahan dini.
Menurut dia, ahli kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) di Indonesia terbatas. Hal itu mengakibatkan sosialisasi mengenai cara pengelolaan rumah potong hewan yang baik tidak sampai ke masyarakat.
Mayoritas lulusan Fakultas Kedokteran Hewan memilih berpraktik sebagai dokter hewan, dan amat jarang yang mau mendalami mengenai ilmu kesehatan masyarakat veteriner.
”Makin sedikit orang mau berpikir tantangan besar seperti zoonosis,” kata Imron dalam diskusi daring yang digelar Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner Indonesia (Askesmaveti), di Jakarta, Sabtu (11/3/2023).
Dalam struktur pemerintahan, hanya ada dua kementerian yang memiliki fokus pada kesehatan masyarakat veteriner, yakni Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian. Padahal, masalah stunting melibatkan banyak sektor untuk bertanggung jawab. Stunting adalah gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis.
”Tantangan kita jangankan yang darurat, yang di depan mata saja bukan perkara mudah misalnya rabies. Belum lagi dengan kondisi otonomi daerah. Kita semua setuju dengan pendekatan one health, tetapi tidak semua orang tahu bagaimana pendekatan ini diterjemahkan, karena kita sangat terkotak-kotak antarsektor,” ucapnya.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Petugas dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Surabaya melakukan pemeriksaan kondisi mulut sapi yang dijual di salah satu penjual di Jalan Dr Ir H Soekarno, Kota Surabaya, Jawa Timur, Jumat (1/7/2022). Dari pemeriksaan ditemukan satu sapi kurban terduga terjangkit penyakit mulut dan kuku dengan gejala ringan.
Gerakan bersama
Imron menegaskan, perlu ada gerakan bersama semua pihak untuk menjaga keamanan pangan bermuara pada tujuan pengentasan ternak dari tengkes. Sebagai contoh, gerakan melawan Covid-19 saat semua orang bisa menerapkan kampanye 3M (mencuci tangan, menjaga jarak, dan memakai masker) yang berhasil membuat pandemi jadi terkendali dalam tiga tahun.
Tantangan kita jangankan yang darurat, yang di depan mata saja bukan perkara mudah misalnya rabies. Belum lagi dengan kondisi otonomi daerah.
Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nancy Dian Anggraeni menambahkan, pemerintah sudah melakukan mitigasi atau pengurangan risiko kedaruratan kesehatan secara nasional.
Langkah mitigasi itu melalui penerbitan Instruksi Presiden RI nomor 4 tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.
Instruksi ini ditujukan kepada 22 kementerian dan lembaga,serta semua pemerintah daerah. Dalam Inpres itu disebutkan bahwa semua pihak terkait harus segera melaporkan kasus penularan penyakit pada hewan yang berisiko menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Untuk itu kapasitas sumber daya manusia perlu ditingkatkan agar bisa mendeteksi dini sebelum terjadi wabah zoonosis.
Hasilnya, mengacu pada hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 yang dirilis Kementerian Kesehatan, angka tengkes turun dari 24,4 persen pada 2021 menjadi 21,6 persen pada 2022. Kementerian Kesehatan optimistis prevalensi stunting bisa turun hingga 14 persen pada tahun 2024. Pemerintah akan terus mengupayakan penurunan stunting sebanyak 2,7 persen setiap tahunnya.
”Walaupun sudah turun dibanding 2021, ini masih termasuk kategori tinggi. Jadi secara prevalensi masih termasuk tinggi, harus di bawah 10 persen,” kata Nancy.
Menurut Nancy, perlu mitigasi yang kuat terhadap potensi kontaminasi penyakit dalam jalur pangan mulai dari produksi, panen, pengolahan, penyimpanan, pemasaran, hingga dikonsumsi masyarakat. Setiap pangan harus aman, sehat, utuh, dan halal.
”Pada saat produksi, sangat mungkin terjadi infeksi terkait zoonosis, penyakit yang bersumber dari binatang, termasuk dalam proses produksi adalah yang sedang kami soroti, yaitu penggunaan antimikroba tidak secara bijak. Hal ini seharusnya bisa kita cegah,” ucapnya.
Oleh sebab itu, kampanye konsumsi sumber protein hewani, terutama telur dan daging ayam, perlu ditingkatkan demi mengentaskan ternak dari stunting. Pemberian protein hewani tidak harus mengeluarkan biaya mahal.
Setidaknya ada empat sumber protein hewani yang baik dikonsumsi dan mudah didapat di antaranya susu, telur, ikan dan daging ayam. Dalam satu butir telur, misalnya, mengandung komponen zat gizi mulai dari mineral, lemak, dan vitamin yang dibutuhkan satu orang anak.