Penularan Kian Meluas, Pastikan Cakupan Imunisasi Ulang Optimal
Kasus penularan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi kian meluas. Sejumlah daerah pun telah menetapkan status KLB untuk difteri dan campak. Penanggulangan harus dilakukan dengan memastikan semua anak terlindungi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Maria Samaor (3) digendong ayahnya saat menunggu pembagian makanan tambahan berupa biskuit untuk anak-anak dari Tim Terpadu Penanggulangan KLB Campak dan Gizi Buruk di Kampung Atat, Distrik Pulau Tiga, Kabupaten Asmat, Papua, Sabtu (13/1).
JAKARTA, KOMPAS — Laporan kasus campak dan difteri semakin meluas. Sejumlah daerah bahkan sudah menetapkan status kejadian luar biasa. Upaya penanggulangan dengan imunisasi ulang pun harus segera dilakukan dengan memastikan cakupan yang optimal.
Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) per 27 februari 2023, sebanyak lima kabupaten/kota di tiga provinsi telah menetapkan kejadian luar biasa (KLB) campak. Selain itu, dilaporkan satu kabupaten menetapkan status KLB ganda campak-rubela dan 14 kabupaten/kota menetapkan KLB suspek campak. Pada 7 Maret 2023, kasus campak pun dilaporkan di tujuh kabupaten di Papua Tengah, yakni Kabupaten Nabire, Paniai, Mimika, Dogiyai, Puncak, Intan Jaya, dan Deiyai. Sebanyak 78 anak terinfeksi campak, dengan 15 anak di antaranya meninggal dunia.
Ketua Umum IDAI Piprim Basarah Yanuarso dalam temu media secara daring bertajuk ”Mengapa Difteri dan Campak Harus Diwaspadai” di Jakarta, Jumat (10/3/2023), mengatakan, campak dan difteri merupakan penyakit yang memiliki risiko kematian yang tinggi. Namun, kedua penyakit tersebut seharusnya bisa dicegah dengan baik melalui imunisasi.
”Situasi saat ini sudah mengkhawatirkan. Alarm sudah berbunyi, jadi jangan ada lagi anak kita yang meninggal karena penyakit yang sebetulnya bisa kita cegah. Ini sudah darurat sehingga jangan menunggu ada lagi anak yang menjadi korban,” katanya.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Petugas kesehatan dari Tim Khusus Penanggulangan KLB Campak dan Gizi Buruk memberikan vaksin campak bagi anak-anak di Kampung Atat, Distrik Pulau Tiga, Kabupaten Asmat, Papua, Sabtu (13/1/2018).
Piprim mengimbau seluruh lapisan masyarakat, termasuk dinas kesehatan di seluruh daerah dan Kementerian Kesehatan, untuk kembali menggalakkan cakupan imunisasi yang selama ini masih rendah. Kantong-kantong daerah dengan cakupan imunisasi yang rendah harus segera didorong untuk segera melengkapi imunisasi pada setiap anak di wilayahnya.
Situasi saat ini sudah mengkhawatirkan. Alarm sudah berbunyi, jadi jangan ada lagi anak kita yang meninggal karena penyakit yang sebetulnya bisa kita cegah.
Masyarakat juga diharapkan tidak ragu untuk memberikan imunisasi kepada anak. Penolakan imunisasi seharusnya tidak terjadi. ”Jika karena persoalan haram, imunisasi yang diberikan kepada anak ini seharusnya tidak menjadi persoalan. MUI (Majelis Ulama Indonesia) sudah menerbitkan fatwa bahwa imunisasi hukumnya wajib,” ujarnya.
Menurut Piprim, anak yang tidak mendapatkan imunisasi bisa berisiko mengalami penyakit yang berat hingga kematian. Pada penularan difteri, misalnya, satu dari empat anak yang tertular difteri akan meninggal. Angka tingkat kematian akibat difteri di Garut bahkan sangat tinggi. Dilaporkan, dua dari tiga anak yang tertular difteri di kabupaten tersebut meninggal.
Per 27 Februari 2023 ada tujuh kabupaten/kota dengan KLB difteri, antara lain Lampung Tengah, Kota Jakarta Utara, Sukabumi, Garut, dan Malang. Sementara kasus suspek difteri juga dilaporkan di lima provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, dan Banten.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Petugas perawat jaga mengecek kondisi pasien difteri di ruang isolasi khusus di Gedung Edelweis, RSUD Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (6/12). Saat ini ada tiga pasien difteri yang dirawat di ruang isolasi RSUD Kabupaten Tangerang.
Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Penyakit Tropik IDAI Anggraini Alam menyampaikan, kasus difteri yang dilaporkan saat ini merupakan situasi gunung es. Kasus yang sebenarnya terjadi di masyarakat lebih besar dari yang dilaporkan. Penularan difteri seharusnya bisa dicegah dengan baik karena risiko kematiannya yang tinggi.
Anak dengan difteri tidak hanya bisa mengalami dampak buruk ketika penularan terjadi, tetapi juga pada kondisi selanjutnya. Anak dengan difteri dapat mengalami henti jantung, gangguan mata yang mengakibatkan mata juling, sulit menelan, dan gangguan fungsi ginjal. Sebagian anak dengan difteri pun bisa mengalami gangguan fungsi berjalan.
”Pengobatan untuk difteri membutuhkan waktu yang panjang. Belum lagi jika perlu dilakukan terapi pada komplikasi yang terjadi. Biaya yang dibutuhkan juga sangat mahal,” kata Anggraini.
Hal tersebut juga berlaku pada infeksi campak. Penyakit campak dapat menular dengan cepat. Satu kasus campak diperkirakan dapat menular setidaknya ke 17 orang lainnya. Itu sebabnya, ketika ada satu laporan, campak perlu dilakukan penanggulangan yang cepat. Dampak campak akan semakin buruk pada anak dengan gizi buruk.
Perlindungan melalui imunisasi ulang melalui Outbreak Response Immunization (ORI) harus segera dilakukan di wilayah yang telah berstatus KLB. ”Imunisasi serentak di satu wilayah ini harus dilakukan dalam satu masa setidaknya bisa selesai dalam satu minggu. Cakupan pun harus optimal setidaknya 95 persen untuk mencegah penularan agar tidak meluas,” ujar Anggraini.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Petugas menyiapkan vaksin difteri yang akan disuntikkan saat vaksinasi difteri di RS Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan, Rabu (27/12/2017). Vaksinasi hingga 29 Desember 2017 itu tidak dipungut biaya.
Ia mengatakan, pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Nasional yang telah dilakukan untuk meningkatkan cakupan imunisasi di Indonesia belum berjalan baik. Cakupan yang diharapkan belum tercapai. Selain itu, banyak orangtua yang tidak membawa anaknya untuk diimunisasi di fasilitas kesehatan.
Dihubungi terpisah, Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine menuturkan, cakupan imunisasi yang turun saat ini disebabkan berbagai faktor. Antara lain, fasilitas kesehatan yang tutup selama masa pandemi, letak geografis yang sulit di daerah sehingga layanan imunisasi tidak bisa rutin dilakukan, kurangnya dana operasional, kurangnya sosialisasi, dan kurangnya sumber daya manusia.
Selain itu, faktor lainnya ialah adanya hoaks tentang imunisasi, sebagian masyarakat juga takut anaknya mengalami kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI), anggota keluarga yang tidak mendukung, faktor agama, ketidaktahuan manfaat imunisasi, dan tidak mengetahui jadwal imunisasi.
Prima menuturkan, upaya yang dilakukan pada daerah yang sudah menetapkan KLB dengan melakukan respons cepat. ”Kita sudah mengadakan rapat koordinasi bersama daerah serta tim ahli dan WHO untuk melihat gambaran kasus secara lebih jelas. Berikutnya kamu akan melakukan penguatan surveilans dan ORI dengan cakupan wilayah yang sudah ditentukan,” ujarnya.